ALOYSIUS PIERIS: BERINKULTURASI DALAM KEMISKINAN DAN KERELIGIUSAN ASIA

 

 

  1. Pengantar

Inkulturasi adalah tantangan Gereja sepanjang masa yang menuntut dirinya sendiri untuk senantiasa memperbarui diri sesuai konteks jaman (ecclesia semper reformanda est). Apalagi, dalam situasi jaman ini, Gereja berada di tengah dunia dengan segala bentuk kemajemukan dan pluralitas di segala lini kehidupan: sosial, politik, budaya, religius. Bagaimana injil itu dapat dihayati, sesuai dengan konteks jaman dan realitas konkret di mana Gereja hadir termasuk di kawasan Asia. Salah satu tokoh yang mencoba membangun teologi dan inkulturasi dalam konteks Asia adalah Aloysius Pieris yang berusaha mempertemukan warta Injil dengan kemajemukan agama-budaya Asia dan realitas kemiskinan yang nyata.

Paper ini hendak memaparkan refleksi teologis Pieris dalam memandang inkulturasi dalam konteks realitas yang di hadapi oleh orang-orang Kristen di Asia, khususnya ketika berhadapan dengan kemiskinan yang masif-dominan, dan kemajemukan religiusitas di Asia.

 

  1. Riwayat hidup Pieris

Aloysius Pieris lahir di Ampitiya, Sri Lanka tahun 1934. Ia bergabung dengan Serikat Yesus pada usia 19 tahun dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan gelar licenciat filsafat di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India pada tahun 1959. Ia juga meraih gelar BA dalam Bahasa Sansekerta dan Pali dari Universitas London. Pada tahun 1972, Pieris berhasil menjadi orang Kristen pertama yang memperoleh gelar doktor dalam Filsafat Budha dari Universitas Sri Lanka. Kemudian ia mengajar Filsafat Budha di Universitas Gregoriana, Roma. Namun, ia memutuskan untuk kembali ke negaranya dan mendalami praksis hidup layaknya penganut ajaran Budha.

Pieris mulai membentuk komunitas sendiri dekat Universitas Budha di Kelayina, sebelah utara Kolombo. Kelompok ini berkembang pesat dan menjadi Pusat Riset dan Dialog Antaragama, yang dinamakan “Tulana”. Pusat riset ini bertujuan untuk mendorong dialog antara umat Budha dan Kristen pada basis tiga lapis. Pertama, penelitian mengenai cara umat biasa menghayati keberagamannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, studi teks-teks filosofis Budhisme dan membangun dialog dengan para pengajar dan mahasiswa. Ketiga, refleksi teologis, dalam konteks Budhisme demi tranformasi sosial.

Pieris memiliki beberapa karya berupa tulisan-tulisan berbentuk artikel dalam berbagai jurnal ilmiah. artikel-artikel itu kemudian dikumpulkan disatukan dalam bentuk buku. Ada buku penting yang menegaskan gagasan teologisnya. Buku pertama berjudul An Asian Theology of Liberation yang mengulas persoalan tentang banyaknya realitas kemiskinan di Asia dan kemajemukan religiusitas di Asia. Buku kedua berjudul Love Meets Wisdom: A Christian Experience of Buddhism yang menyajikan tema tentang kehidupan doa dan kontemplatif.

 

 

  1. Latar Belakang Pemikiran Pieris

Ada beberapa hal yang mempengaruhi sekaligus membentuk gagasan dan pemikiran Pieris. Pertama, pengalaman dan keterlibatan hidupnya. Pieris mengakui bahwa teologinya terinspirasi oleh dua pengalaman fundamental di Asia: pengalaman berkubang dalam studinya tentang Budha dan penelusurannya pada kemiskinan masif Asia.[1]

Kedua, pengaruh Konsili Vatikan II. Bagi Pieris, Konsili Vatikan II adalah titik tolak bagi refleksinya. Itulah yang muncul dalam pikirannya ketika ia bergabung dengan rekan-rekannya di Asia, yang berusaha menerapkan semangat aggiornamento dari ajaran-ajaran Konsili pada konteks Asia dan memberikan bentuk konkret kepada semangat konsili Vatikan II.[2]

 

  1. Realitas Kontekstual Asia dalam pemikiran Pieris

Dalam membangun teologinya, Pieris memusatkan perhatiannya pada realitas kontekstual Asia dengan membuat batasan yang jelas antara Asia dan negara-negara Ketiga lainnya dari sudut religi dan kebudayaan. Ia menemukan tiga ciri khas Asia yang membedakan dengan lainnya.

  • Bahasa yang beraneka ragam

Menurut Pieris, sekurang-kurangya ada tujuh wilayah bahasa besar di Benua Asia; wilayah bahasa Semitis di pinggir Asia Barat, Wilayah kelompok ural-altais di wilayah pecahan Uni Soviet bagian Asia dan di Asia Barat Laut, kelompok indo-iranis dan dravidis di Asia Selatan, wilayah melayu-polinesia di Asia Tenggara, bahasa Jepang di Asia  Timur, dan wilayah Sino-tibet yang paling luas, membentang dari Asia Tengah sampai Timur Jauh.[3]

Implikasi nyata dari keanekaragaman bahasa bagi teologi menyangkut pemahaman bahasa itu sendiri. Bagi Pieris, agama bukanlah pengalaman dari realitas dan bahasa adalah pengungkapannya; sebaliknya, bahasa merupakan pengalaman realitas dan agama merupakan pengungkapannya. Agama berawal dari bahasa. Oleh karena itu, Pieris dengan berani menduga bahwa bahasa merupakan theologia inchoativa, suatu permulaan teologi. Pieris menegaskan argumentasinya dengan menunjuk realitas mendasar yang diserap oleh suatu kebudayaan setempat di Asia melalui bahasa rakyat dan simbol-simbol mereka sendiri; melalui adat istiadat, upacara-upacara, kidung-kidung dan tarian mitos dan legenda mereka.

“bacalah apa yang telah dihasilkan oleh rakyat biasa Asia selama berabad-abad, bukan hanya tulisan-tulisan canggih semacam Veda dan Upanishad, Tripitaka, Torah atau Tao Te Ching. Pertama, pelajarilah bahasa rakyat. Hadirilah upacara dan ritual rakyat Asia; dengarkanlah nyanyian mereka; bergetarlah dengan irama mereka, ikutilah langkah tarian mereka, nikmatilah syair-syair mereka; tangkaplah mitos-mitos mereka; pahamilah mereka lewat legenda-legenda mereka. Anda akan menemukan, bahwa bahasa yang mereka gunakan menghubungkan mereka dengan kebenaran-kebenaran dasar, di mana setiap agama bergulat dengannya, tetapi masing-masing dengan cara yang berbeda…. Singkatnya, perjuangan demi kemanusiaan yang penuh.”[4]

 

  • Integrasi unsur kosmis dan metakosmis dalam Kereligiusan Asia

Pieris melihat bahwa kerangka institusional agama-agama di Asia terdiri dari dua unsur yang saling melengkapi: agama kosmis yang berfungsi sebagai pondasi atau dasar dan ajaran keselamatan (soteriologi) meta kosmis sebagai bangunan utamanya.

Dengan menyebut istilah agama kosmis, Pieris menunjuk macam-macam agama yang  ditemukan di Afrika, Asia, dan Oceania, dan secara peyoratif dianggap “animisme” oleh para antropolog Barat tertentu. Sejatinya agama kosmis merupakan bentuk sikap psikologis manusia sebagai homo religious yang secara tidak sadar diambil saat berhadapan dengan misteri kehidupan yang berkaitan dengan kekuatan kosmis (panas, api, dingin, angin ribut, gempa bumi dst). Asia mempunyai kekhasannya sendiri. Ciri khas kereligiusan Asia adalah, bahwa agama kosmis tidak tampil dalam bentuk murni dan purba, namun secara praktis telah dijinakkan dan diintegrasikan ke dalam salah satu dari ketiga agama soteriologi meta kosmis yaitu Hinduisme, Budhisme, dan Taoisme.

Agama-agama besar itu disebut “metakosmis” karena ada sesuatu yang lebih dalam agama-agama itu. Agama-agama itu merumuskan soteriologinya dalam pengertian sebuah daya “di seberang” alam semesta yang diterima sebagai yang menyelamatkan dan menebus pribadi manusia, dan membawa manusia pada suatu kebebasan dari ketakutan terhadap kuasa-kuasa tertentu di dunia, baik melalui jalan cinta kasih (agapeic path) maupun melalui jalan pengetahuan yang memerdekakan (gnostic way).[5] Maka, agama-agama soteriologis metakosmis ini tidak pernah ditemukan dalam bentuk teks yang abstrak, namun selalu berbentuk konteks realitas konkret, di dalam pandangan-dunia religi kosmis dari kebudayaan tertentu.[6]

 

  • Banyaknya ajaran mengenai keselamatan (soteriologi) non-Kristiani di Asia

Pieris sadar bahwa Asia adalah sebuah palungan tempat lahirnya semua agama besar di dunia yang memiliki Kitab Suci termasuk Kristen. Sayangnya, Kristianitas mengalami paradoks. Kristianitas lahir di Asia Barat dan dengan segera meninggalkan kawasan itu, untuk tumbuh besar di Barat, selanjutnya berabad-abad kemudian “memaksakan diri” kembali sebagai orang asing pendatang (bahkan ada yang menganggap “pengacau”) yang kurang diterima di Asia. Faktanya, orang-orang Kristen di Asia menjadi minoritas, tidak lebih dari 3% dari seluruh penduduk Asia. Maka Pieris mempertanyakan,” dapatkah agama Kristen yang telah kehilangan rasa Asianya itu berpikir menciptakan suatu teologi Asia?”[7]

Pieris mempunya harapan justru posisinya sebagai minoritas, Gereja mempunyai kesempatan menghadirkan diri secara lebih kreatif dengan berperan serta secara rendah hati dalam pengalaman pembebasan orang-orang bukan Kristen di Asia.

 

  1. Gagasan Pieris mengenai Inkulturasi

Pieris menegaskan bahwa  adalah sebuah kesesatan eklesiologis jika mengatakan bahwa suatu gereja diinkulturasikan di Asia kalau para uskup kulit putih sudah diganti dengan yang berkulit hitam, cokelat, atau kuning (para klerus bumiputera atau pribumi). Inkulturasi bukan soal mengganti bungkus atau mengganti rumus. Inkulturasi adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah dan tidak pernah dihasilkan secara artifisial. Inkulturasi merupakan hasil keterlibatan dengan umat, lebih dari pada target penyadaran suatu program aksi, karena umatlah yang menciptakan kebudayaan.[8] Pieris menyatakan, sebenarnya seluruh masalah inkulturasi di Asia berasal dari bagaimana perutusan dasariah gereja-gereja lokal yang harus menjadi kabar baik bagi kaum miskin di Asia.

Menurut Pieris ada 4 bentuk inkulturasi. Pertama, Model Latin yaitu penjelmaan atau inkarnasi dalam kebudayaan non Kristiani. Kedua, Model Yunani yaitu asimilasi filsafat non-Kristiani. Ketiga, Model Eropa Utara: penyesuaian pada kereligiusan non-Kristiani. Keempat, Model Monastik yakni dengan mengambil bagian dalam spiritualitas non-Kristiani. Pieris menguraikannya sebagai berikut:

  • Model Inkulturasi Greko-Romawi: Tidak cocok untuk Asia

Menurut Pieris, dari keempat model di atas, model Latin dan Model Yunani, paling tidak dapat diterapkan di Asia dewasa ini. Pieris menyebutkan beberapa alasan:

Pertama, teologi agama-agama yang meresapi tradisi Latin –Yunani tidak membantu di Asia, selain tidak sesuai dengan pandangan Konsili Vatikan II. Tradisi Patristik selalu memandang agama lain secara negatif. Dalam penilaian bapa Gereja, hanya kebudayaan Roma dan filsafat Yunani yang pantas diambil oleh Gereja yang telah ditebus oleh Kristus dari cenkeraman “iblis” agama kafir.

Kedua, memisahkan agama dari kebudayaannya (seperti dalam kristianitas Latin) dan agama dari filsafat (seperti dalam Kristianitas Yunani) tidak mungkin dilakukan dalam konteks Asia. Dalam konteks Asia selatan, misalnya, kebudayaan dan agama adalah dua unsur dari soteriologi yang tak terpisahkan, tak terbagi, yang saling bertautan, yaitu sebuah pandangan hidup sekaligus sebuah jalan pembebasan; agama adalah filsafat yang pada dasarnya merupakan sebuah pandangan (vision) religius, dan agama adalah filsafat hidup.  Kata inkulturasi sendiri adalah berakar dari dikotomi budaya dan agama orang-orang Latin. Inkulturasi dipahami sebagai usaha melepaskan agama Kristen dari kebudayaan Eropa dan masuk ke dalam kebudayaan Asia yang dilepaskan agama non Kristiani. Oleh karena itu, Pieris lebih menerima istilah “inreligiusisasi” Gereja dari pada inkulturasi untuk kawasan Asia Selatan. Pieris sadar bahwa istilah ini agak sensitif bagi Gereja Latin.

Ketiga, model Latin-Yunani telah mewariskan kepada Gereja sebuah “teori instrumental” inkulturasi yang begitu saja diterima dalam teologi Barat. Filsafat Yunani dikeluarkan dari konteks religiusnya dan dimanfaatkan untuk agama Kristiani sebagai alat untuk mengungkapkan ajaran yaitu, sebagai ancilla theologiae. Dalam konteks Asia, kebijakan ini kontra produktif, karena inkulturasi semacam ini menyepelekan secara tidak hormat terhadap acuan soteriologis dari simbolisme agama-agama non Kristen dan dengan mudahnya ditafsirkan sebagai bentuk imperialisme tersembunyi. Misalnya di Thailand, orag-orang Budha bereaksi keras melawan Gereja lantaran menganggap Gereja merampas lambang-lambang suci mereka untuk penggunaan Kristiani.[9]

 

  • Model Inkulturasi Eropa Utara: terlambat untuk Asia

Model ketiga yaitu model Eropa Utara pun, menurut Pieris, terlalu lambat untuk diterapkan di Asia. Situasi masyarakat “klan” Eropa Utara pada abad pertengahan nampaknya serupa dengan masyarakat “suku” di Asia, di mana ada pada mereka kebudayaan yang bersifat kosmis yang berlawanan dengan agama-agama metakosmis yang menuntut adanya realitas transfenomenal yang secara imanen bekerja dalam kosmos dan secara soteriologis ada dalam jangkauan manusia entah lewat agape (cinta yang menebus) atau lewat gnosis (pengetahuan yang menebus). Pieris menyebut Kristianitas dan Yudaisme adalah bentuk  agama agapeis, dan bentuk-bentuk monastik Hinduisme, Budhisme, dan Taoisme sebagai agamai gnosis. Pada abad pertengahan, Pieris mengutip Jean Delumeau, baik Gerakan Reformasi dan Kontra Reformasi merupakan pertobatan yang kaku berdasarkan kepercayaan bahwa rakyat petani Eropa Utara abad XVI belum sepenuhnya dipisahkan dari kekafiran non Kristiani.

Hal ini tidak berlaku di Asia. Agama-agama metakosmis lain telah mendahului Kristianitas dan mereka sudah lebih dulu berinkulturasi dengan budaya kosmis Asia. Misalnya, kepercayaan para dewa di Asia Selatan, Konfusianisme dan penghormatan kepada nenek moyang di Vietnam, Korea dan Cina, menjadi lahan subur bagi agama-agama monastik mengakarkan diri. Sejarah menunjukkan bahwa satu agama metakosmis yang sudah diinkulturasikan dalam masyarakat klan Asia tidak dengan mudah dapat dicabut oleh agama metakosmis lainnya kecuali dengan pertobatan massal yang tidak religius atau paksaan.[10]

 

  • Model Monastik: Suatu penafsiran baru Inkulturasi sesuai “Selera” Asia

Bagi Pieris, model keempatlah yang paling memungkinkan dan paling aplikatif untuk diterapkan di Asia, yaitu model monastik. Bagi Pieris, tradisi monastik justru menampakkan tradisi Timur yang secara kreatif diam dalam dunia Barat. Pieris dalam konteks ini menafsirkan Barat dan Timur pertama-tama bukan soal pembagian geografis atau teritorial, tetapi sebagai dua arah manusia yang tidak lengkap tanpa yang satu dengan yang lain dan secara fenomenologis masing-masing tampak dalam idiom agapeis dan gnostik agama biblis dan non biblis. Bahkan, Pieris yakin bahwa dalam ortodoksi Kristiani yang selalu bersifat agapeis, terdapat garis-garis gnostisisme yang sah.

Bagi Pieris, tradisi monastik dapat memperbaiki ketidakseimbangan dalam teologi Kristen yang disebabkan oleh sikap akademisme yang terlalu menekankan pada refleksi intelektual. Pieris menunjuk Thomas Merton sebagai contoh, yang telah merintis usaha mempertajam insting monastik Gereja yang ditumpulkan oleh kelalaian berabad-abad lamanya.

Menurut Pieris para rahib dan rubiah Barat telah belajar bahwa cita-cita (gnosis) untuk fuga mundi harus dilengkapi dengan keterlibatan (agapeis) dengan dunia kaum miskin yang mengantarai kehadiran Kristus di dunia. Maka, penyangkalan Kristiani terhadap kekayaan sejatinya selalu harus dipahami demi kaum miskin, dimana pencarian para rahib akan Allah tidak dapat dipisahkan dari tindakan pelayanan dan kesetiakawanan atau solidaritas terhadap orang miskin. Jika hubungan dua sisi ini, yaitu unsur-unsur spiritualitas gnosis dan agapeis ini dipisahkan bahkan dihilangkan, maka kebobrokan akan terjadi, sehingga cara hidup monastik ini akan menjadi seperti garam yang hambar, tanpa rasa, tak berguna, dan pantas diinjak-injak. Oleh karena itu, Gereja sebenarnya tidak berhak berbicara dengan dunia Asia, jika Gereja tidak belajar dari tradisi monastik Kristianinya sendiri mengenai bahasa gnosis yang dibicarakan oleh monastik non-Kristiani Asia dan mengenai bahasa agape, satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh kaum miskin Asia.

Monastik Asia berbicara tentang penerangan rohani yang mendorong terjadinya pembebasan batin manusia dari rasa ketamakan mereka, namun kaum miskin Asia menjerit untuk emansipasi sosial dari pranata yang menindas.

Kemiskinan sukarela yang dilaksanakan oleh monastik Asia tidak diarahkan secara positif menuju pelepasan manusia dari kemiskinan yang secara struktural dipaksakan pada orang-orang Asia, maka revolusi yang terjadi justru merugikan kehidupan monastik Asia yang bersifat feodal, seperti pertapaan di Tibet dan Mongolia. Dalam pertapaan-pertapaan itu, kemiskinan monastik yang dihidupi secara sukarela itu secara sosial tidak liberatif. Maka inkulturasi yang benar dan sejati bukanlah mewartakan Gereja Asia ke dalam dimensi liberatif kemiskinan sukarela. Bila pengikut Kristus memilih secara sukarela untuk menjadi meski demi Injil, mereka tidak hanya hidup dalam kesetiakawanan dengan rahib dan rubiah Asia dalam usaha pencarian realitas metakosmis, tetapi juga dalam solidaritas mereka dengan kaum miskin di Asia yang mengharapkan tatanan kosmis yang lebih suci dan adil.

Pieris menekankan bahwa Gereja yang berinkulturasi di Asia adalah Gereja yang dibebaskan dari kuasa mamon dan harus terdiri dari kaum miskin; miskin karena pilihan (sukarela) dan miskin karena keadaan (realitas).

 

  1. Dasar Teologi dan Inkulturasi Pieris: Hubungan Kemiskinan dan Religiusitas Asia

Berdasarkan pengalaman studinya dan pengalaman “exposure” dalam masyarakat Sri Lanka selama bertahun-tahun, Pieris menemukan benang merah yang penting dalam membangun teologinya. Menurutnya, teologi Asia harus bergerak di antara dua kutub, yaitu pertama Asia sebagai bagian dari Dunia Ketiga yang identik dengan kemiskinan yang bertumpah ruah (overhelming poverty), dan kedua adalah sifat Asia yang khas yang membedakan dengan Dunia Ketiga lainnya adalah kereligiusan yang majemuk (multifaceted religiousness).[11]

Pieris menegaskan bahwa kemiskinan di Asia tidak dapat direduksi hanya sebagai problem ekonomi semata. Kemiskinan di Asia adalah sebuah situasi yang lahir akibat adanya struktur sosial yang menindas, sehingga mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik. Kekhasan masyarakat Asia yang kedua adalah religiusitas yang beragam. Rasa keagamaan tertanam dalam hati mereka sehingga keseluruhan kehidupan, sikap dan pikirannya sangat diilhami dan diarahkan olehnya. Semua masalah manusia, termasuk pengalaman penderitaan dilihat dari perspektif agama. Mereka berusaha mencari jawaban atas realitas penderitaan yang menimpa mereka.

Pieris melihat usaha-usaha, strategi, dan program ideologis untuk mengatasi kemiskinan di Asia dengan sikap naif terhadap situasi religiusitasnya dan upaya-upaya teologis untuk berjumpa dengan agama-agama di Asia tanpa keprihatinan radikal akan kemiskinannya yang kuat akan berujung pada kegagalan dan kesia-siaan. Kristianitas tidak akan dapat mengatasi kemiskinan dengan tepat, tanpa melakukannya dalam kerangka dialog bersama agama-agama Asia; sebaliknya tidak ada dialog yang otentik dan berdaya guna antara agama-agama itu jika tanpa didasari rasa empati, keprihatinan terhadap orang miskin Asia.

Bagi Pieris, Kristianitas akan mencapai inkulturasi sejati di Asia dan menjadi Asia jika Kristianitas menerima baptisan rangkap: dalam “Yordan Religiusitas Asia” dan pada “Kalvari kemiskinan Asia”. Baptisan yang pertama bertujuan untuk memasuki perjumpaan mendalam dengan religiusitas Asia dan belajar padanya, sementara baptisan kedua adalah pilihan Gereja pada orang miskin dan tertindas di Asia. Inilah tema-tema dasar dalam karya-karya teologis Pieris.

  • Baptisan dalam Yordan religiusitas Asia

Menurut Pieris, ada 4 implikasi eklesiologis bagi gereja-gereja di Asia dari peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (Mrk 1:9-11).

Pertama, Yesus dalam melaksanakan perutusannya tidak memilih gerakan ideologis kaum Zelot, atau puritanisme sekte Esseni, atau bahkan semangat aristokratis Farisi dan Saduki, namun memilih tradisi asketis kenabian Yohanes Pembaptis. Opsi semacam inilah yang harus dibuat gereja di Asia di hadapan religiusitas di Asia.

Kedua, dalam peristiwa itu ada perjumpaan dua arus spiritual antara semangat pengingkaran dunia yang radikal dari Yohanes Pembaptis dengan semangat kesalehan yang sederhania dari pengikutnya yaitu kaum anawim dan kaum miskin yang tertarik oleh gaya hidup dan pewartaannya. Dalam diri Yesus, dua spiritualitas itu juga bertemu Yesus yang mengidentifikasi diri dengan kaum papa miskin datang kepada Yohanes untuk dibaptis dan kemudian Yesus memasuki pengalaman “padang gurun”. Maka, bagi Pieris, gereja-gereja Asia pun harus menjadi titik temu antara spiritualitas metakosmis dari agama-agama monastik dan spiritualitas kosmis dari kereligiusan kaum sederhana di Asia. Dengan demikian, Gereja menjadi tempat tumbuhnya daya-daya liberatif dari kedua tradisi itu yang saling mempengaruhi sehingga dapat mengatasi dimensi keagamaan yang memperbudak.

Ketiga, Sikap perendahan diri yang dibuat Yesus justru menguatkan kewibawaannya sendiri lewat kesaksian “Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan” (Mat 3:17). Gereja-gereja Asia  perlu diinisiasi ke dalam tradisi-tradisi sebelum keristenan. Gereja-gereja di Asia harus dibaptis dalam dua lapis tradisi yang liberatif dari kaum rahib dan kaum kecil yang saleh di Asia serta dengan rendah hati duduk bersimpuh dekat kaki “guru-guru” Asia. Gereja Asia harus tampil sebagai gereja yang belajar (ecclesia discens) bukan sebagai gereja yang mengajar (ecclesia docens).

Keempat, mengenai identitas gereja. Dengan menceburkan diri ke dalam Sungai Yordan, Yesus menegaskan prinsip pengosongan diri. Gereja Asia pun perlu menceburkan diri dalam arus spiritual di antara kaum sederhana dan kemudian keluar dengan sikap dan hidup yang baru. Jadi baptisan itu sendirilah yang memberikan identitas Kristianitas dan sikap Kekristenan baru yang dicari gereja-gereja Asia. Ketakutan akan hilangnya identitas tidak akan terjadi karena kekristenan yang bercorak Asia hanya akan muncul sebagai hasil keterlibatan total kita dalam kehidupan dan anspirasi kaum miskin religius (anawim) Asia.

 

  • Baptisan dalam Kalvari kemiskinan Asia

Sikap diri Yesus di Yordan membawa iplikasi kepada tindakan kenabianNya yang terakhir di Kalvari. Perutusan Yesus adalah perutusan dari kaum miskin dan perutusan untuk orang miskin. Hanya mereka yang miskin secara radikal layak untuk Kerajaan Allah dan hanya mereka yang miskin ditentukan untuk menerimanya. Tidak ada kompromi untuk mengabdikan diri kepada Allah sekaligus kepada Mamon. Yesus menentang mamon karena merupakan saingan Allah (Mat 6: 24), dan menyatakan bahwa Kerajaan Allah yang diwartakanNya bukanlah ditujukan kepada orang kaya (Luk 6:20-26). Bahkan Ia sendiri mengidentifikasikan diriNya terhadap mereka yang miskin, lemah, tersingkir dan tertindas (Mat 25:40). Perutusan ini Ia sempurnakan dalam peristiwa Salib (Luk 23:1-23) yang ditancapkan di Kalvari oleh suatu keagamaan massa yang terkontaminasi uang dan kekuasaan kolonial.

Oleh karena itu, ada kaitan antara peristiwa di Sungai Yordan dan di puncak Kalvari. Jika dalam peristiwa Yordan otoritas kenabian Yesus  dinyatakan Allah sebagai “Anak yang terkasih” pada baptisan di Kalvari ia diproklamasikan sebagai oleh “Anak Allah” bahkan oleh seorang aparat kolonial (Mrk 15:39). Saat perendahan diri melahirkkan suatu peninggian yang menarik semua orang kepada Yesus (Yoh 12:32-33).

 

  1. Inkulturasi dalam Liturgi

Inkulturasi Pieris tidak hanya berhenti pada gagasan teologis, dan praksis dalam hidup bersama agama-agama yang lain. Aloysius Pieris juga mencoba mengembangkan sebuah inkulturasi Liturgi khas Sri Lanka. Aloysius Pieris pernah merintis misa inkulturasi atas permintaan uskup Leo dan menandatanganinya sebagai permittatur ad experimentum  pada bulan Januari 1968. Uskup inilah yang bertanggung jawab penuh atas tata perayaan liturgi yang disusun oleh Pieris, dan tata perayaan liturgi kemudian dikenal sebagai “Pilimatawala experiment”.[12]

Dalam Liturgi ini, perayaan Ekaristi, bacaan-bacaan, mazmur tanggapan sabda, kidung persiapan  persembahan dan lagu komuni diambil dari Tripitaka -Kitab Suci Budha- yang mengambil tema mengenai “Kerajaan Yang Akan Datang”. Pieris melaksanakan eksperimen ini setelah mempelajari Tripitaka dan mengadakan konsultasi dengan para rahib dan sarjana Budhis. Bacaan pertama dan kedua mewartakan penantian kaum Budha akan “Dia Yang Akan Datang” (Buddha Metteyya yaitu Cinta) yang meraja dalam Kerajaan Yang Akan Datang. Bacaan ketiga menampilkan Asoka, sang raja adil, personifikasi dari Dia yang dinantikan itu. Bacaan Injil dari Lukas 7:18-23, tentang  pertanyaan dari mereka yang menantikan datangnya Mesias; “Adakah engkau orang yang dinanti-nantikan ataukah kami harus menantikan seorang yang lain?” ada semacam titik temu antara komunitas Budha yang menantikan Dia Yang Akan Datang (Buddha Metteyya) dengan orang-orang Kristiani yang telah dipanggil untuk menjadi tanda sakramental dari Dia Yang Akan Datang itu[13].

Selain itu, Pieris perhah mendukung komunitas basis, yaitu The Christian Workers Fellowship, sebuah gerakan kaum awam yang mengadakan perayaan “Misa Para Pekerja”, yang menghadirkan para pekerja baik orang beriman maupun tidak beriman. Bagi Pieris, dalam perayaan misa ini, Kristus diwartakan  sebagai Allah yang bekerja dalam diri semua orang yang bekerja dengan membangun  Kerajaan Allah yang damai dan penuh keadilan. Orang yangbertanggung jawab atas lirik lagu dan musik dalam perayaan itu adalah orang Budha.[14]

 

  1. Catatan Kritis Pieris dalam Proses Inkulturasi

Selama proses usahanya berinkulturasi dan berteologi selama bertahun-tahun, Pieris merangkum delapan hal yang ia temukan:[15]

  1. Pieris belajar  bahwa inkulturasi seharusnya tidak membuat orang lain tersiksa.
  2. Pieris sadar bahwa inkulturasi bukanlah soal mengganti Ritus Roma (Latin) dengan Ritus Pribumi. Pembaharuan liturgi yang diamanatkan Konsili Vatikan II adalah sebuah perubahan hidup (change of life) dan bukan perubahan ritus (change of rite).
  3. Pieris menemukan bahwa Ekaristi lebih sebagai sebuah tanda sebagai titik berangkat inkulturasi.
  4. Inkulturasi berawal bukan dengan liturgi Gereja (yaitu perayaan-perayaan sakramental seperti Ekaristi) namun dengan Liturgi Hidup yaitu hidup kita dalam Misteri Paskah yang kita hidupi dalam perjuangan pribadi dan apostolik dalam rangka antisipasi Kerajaan Allah yang hadir di antara kita.
  5. Liturgi hidup mengisyarakatkan sebuah usaha komunitas yang berkumpul  mendengarkan sabda Allah. Liturgi hidup tidak dapat dipisahkan dari Liturgi Sabda.
  6. Inkulturasi adalah sebuah proses alamiah dan tidak dapat dipaksakan. Inkulturasi terlaksana secara spontan dan begitu saja dalam perjuangan kita membawa Kerajaan Allah dalam konteks lokal kita.
  7. Inkulturasi adalah sebuah istilah yang tidak cocok: setiap Gereja menempa identitas eklesial lokalnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah Gereja kita masih “sebuah perluasan dari Gereja lokal Roma” atau sungguh “sebuah Gereja lokal dalam komunio dengan Gereja Roma?”
  8. Inkulturasi, dalam praksis, adalah proses di mana Gereja lokal menjadi pernyataan dalam hidup dan karyanya di hadapan dunia non Kristen, dalam hal ini Gereja menghidupi hidupnya dalam Kristus dan merayakannya secara sakramental dalam idion agama dan budaya dari tetangga-tetangga non-Kristen.

 

  1. Relevansi Gagasan Pieris terhadap Inkulturasi di Indonesia

Setelah melihat analisis dan gagasan Pieris terhadap proses inkulturasi di Asia, penulis mencoba menemukan relevansi gagasan itu terhadap Gereja di Indonesia. Tentu saja kita perlu melihat konteks di Indonesia. Konteks pertama adalah, posisi Gereja Indonesia yang minoritas. Kedua, posisi Gereja Indonesia yang hadir beriringan dengan Imperialisme, sehingga cenderung dianggap sebagai agama penjajah. Ketiga, perjumpaan dengan agama-agama lain. Konteks keempat, gereja hadir dalam situasi masyarakat yang miskin, menderita akibat struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil.

Gagasan Pieris dapat diterapkan di Indonesia tentu dengan penyesuaian, karena konteks di mana Pieris hidup berbeda dengan Indonesia. Gagasan dapat diaplikasikan di Indonesia dalam rangka membangun dialog antar agama dan suku sebagai bagian atau komponen bangsa Indonesia, khususnya dalam membangun dialog demi terwujudnya sebuah bonum commune yang berpihak pada mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan menderita. Gereja tidak boleh tinggal diam menutup mata terhadap situasi disekitarnya dan menyibukkan diri dalam perdebatan “liturgi” intern. Justru Gereja harus menyibukkan diri dalam mewujudkan liturgi kehidupan, yang justru mendapat kekuatannya dari Liturgi Gereja yang dirayakan. Ada kesinambungan antara Liturgi (Sabda) Ekaristi dengan Liturgi yang peduli padah kehidupan semua makluk. Inilah inkulturasi yang sejati sebagaimana telah ditunjukkan oleh Romo Mangunwijaya yang “membawa” Kristus dari altar menuju pelataran (pasar).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Pieris,

1988    An Asian Theology Of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, New York.

1993    “Inculturation: Some Critical Reflections” dalam Vidyajoti Journal of Theological Reflection, Vol. LVII, No. 11.

1996    Fire And water: Basic Issues In Asian Budhism And Christianity, Maryknoll, New York: Orbis Books.

1996    Berteologi dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta.

 

Alexander Hendra Dwi Asmara,

2014    “Multiple Religious Belonging and the New Way of doing Theology” dalam Jurnal Theology Vol 03, No. 02, Yogyakarta.

 

J.S. Hayon,

2006    Inkulturasi Yang Dijalankan Aloysius Pieris Di Sri Lanka, Ledalero, Maumere.

 

Martasudjita, E.,

2015    Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal Catatan kuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti Univeritas Sanata Dharma, Yogyakarta.

 

Vitus Rubianto,

1997    Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan Dalam Teologi Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta.

 

 

 

 

[1] Alexander Hendra Dwi Asmara, “Multiple Religious Belonging and the New Way of doing Theology” dalam Jurnal Theology Vol 03, No. 02, November 2014, Yogyakarta, 157.

[2] Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, Orbis Book Maryknoll, New York 1988, 5.

[3] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta 1997, 33.

[4] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta 1996, 116-117.

[5] Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, 98-99.

[6] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 36.

[7] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 41-42.

[8] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 72.

[9] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 72.

[10] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 99.

[11] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 41-42.

[12] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections” dalam Vidyajoti Journal of Theological Reflection, Vol. LVII, No. 11, November 1993, 641.

[13] Y. S. Hayon, “Inkulturasi Yang Dijalankan Aloysius Pieris Di Sri Lanka”, Ledalero, Maumere 2006, 169.

 

 

[14] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections,” 646.

[15] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections”, 643-644.