OPUS DEI: MENGGELORAKAN HIDUP SUCI DALAM SEKULARITAS DUNIA

1. Pengantar
Dalam sejarah, Gereja telah mengalami pasang surut dalam menjaga dan menjalankan eksistensinya sebagai komunitas beriman yang meneruskan pewartaan tentang peristiwa Kristus. Saat masih seumur jagung, Gereja pun harus mengalami masa “inkubasi” iman dan dengan setia bertahan serta bertumbuh dalam suasana penganiayaan dari “musuh-musuhnya”, diwakili oleh Romawi di sisi politis, dan Yudaisme di sisi religius. Pada perkembangan selanjutnya, saat Gereja mulai menapaki kejayaannya yang diawali oleh Edik Milan, persoalan justru muncul dari tubuh Gereja sendiri, yang mempertanyakan dan meragukan pokok-pokok iman sehingga melahirkan intrik-intrik iman dan politik. Namun, Gereja mampu bertahan dan berdiri tegar di tengah serangan bertubi-tubi, bahkan mulai melebarkan sayap, dan akhirnya membangun sebuah komunitas beriman yang kuat dan tangguh untuk menjadi pewarta di seluruh penjuru dunia, sesuai perintah Sang Guru (bdk. Mat 16:15). Saat Gereja mengalami kemunduran dan pengingkaran terhadap kesetiaan iman, justru dari rahim Gereja, tak henti-hentinya lahir para pembela iman yang tangguh, tidak saja dalam pengajaran iman yang diwartakan, tapi juga penghayatan iman sesuai dengan konteks jamannya. Iman Gereja tetap bertahan meski Gereja mendapat serangan, baik dari musuh-musuhnya maupun dari anak-anak yang dikasihi, yang seringkali menimbulkan luka. Putera-puteri Gereja yang mencintai Gereja, mencoba untuk menghidupi pokok imannya dan mempertahankan ke-ortodoksi-annya sekaligus senantiasa memperbaharui ungkapan iman sesuai dengan konteks jamannya sehingga selalu aktual dan segar.

Namun, pada perkembangannya, tidak semua usaha para putera Gereja yang setia ini, dapat diterima tanpa dinamika, dan harus melalui berbagai kontroversi, kritikan, tudingan, tuduhan, atau bahkan sampai berujung pada tercurahnya darah kemartiran yang justru menyuburkan Gereja. Salah satu putera Gereja yang lahir dari rahimnya, dan mengalami dinamika demikian adalah Opus Dei. Ada yang berpendapat bahwa lembaga ini merupakan salah satu dari beberapa lembaga Gereja paling kontroversial sepanjang sejarah Gereja. Meski lembaga ini baru lahir pada abad ke-20, namun telah melahirkan banyak komentar, tidak hanya dari tubuh Gereja sendiri tetapi juga dari dunia. Lembaga ini semakin dikenal dan didiskusikan khalayak ramai, sejak Dan Brown, menyebut nama lembaga ini sebagai sebuah lembaga ultrakonservatif, dalam novelnya yang menggemparkan dunia, The Da Vinci Code.

Dari suasana demikian, penulis mencoba memperdalam ada apa di balik semua itu. Penulis mencoba membatasi ranah pembahasan dalam beberapa rumusan masalah; Apa Opus Dei itu dan bagaimana mereka menjalankan hidup panggilan mereka? Penulis ingin mencoba menemukan fakta, di balik kekeruhan mitos dan kebencian.


2. Selayang Pandang Opus Dei

2.1 Opus Dei dan Jose Maria Escrivá
Pembicaraan tentang Opus Dei, tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari sang pendirinya, di mana semangat hidupnya sangat kental dalam tubuh Opus Dei. Opus Dei adalah sebuah lembaga dalam Gereja yang didirikan pada tanggal 2 Oktober 1928 di Madrid oleh Jose Maria Escrivá. Jose Maria Escrivá sendiri lahir pada tanggal 9 Januari 1902 di Barbastro, Spanyol Utara. Saat berumur 15 tahun, ia mulai merasa dipanggil Tuhan secara khusus. Ia mengawali masa pendidikan religiusnya di Seminari Logrono pada tahun 1918, kemudian melanjutkan studi di Seminari Santo Fransiskus dari Padua di Saragossa pada tahun 1920. Mulai tahun 1922 ia ditunjuk menjadi pengajar pembantu (tutor) dan setahun kemudian belajar tentang hukum sipil di Universitas Saragossa. Ia akhirnya ditahbiskan menjadi imam diosesan pada tanggal 28 Maret 1925 di Saragossa, dan selanjutnya mengawali karya pastoralnya di dusun Perdiguera, kawasan Keuskupan Saragossa. Pada musim semi 1927, dengan ijin Uskup Agung Saragossa, ia pindah ke ibukota Madrid. Di sanalah ia mengembangkan karya pastoral yang “option to the poor and the weakness”, sebagai seorang imam Patronato de Enfermos (yayasan bagi orang-orang sakit). Di samping itu, ia juga masih mengajar dan melanjutkan studi doktoralnya pada bidang Hukum Sipil di Universitas Madrid.

Titik balik kehidupan Jose Maria, terjadi pada tanggal 2 Oktober 1928, saat ia mengikuti retret di kediaman imam-imam Vincentius di Madrid. Ia mengalami pengalaman mistik dan mendapat inspirasi ilahi, yang mengilhami dirinya untuk membangun Opus Dei, sebuah gerakan baru bagi kaum awam, agar mereka belajar menguduskan diri tanpa harus meninggalkan kehidupan sekulernya. Gerakan ini awalnya hanya menerima kaum pria, dan pada perkembangan selanjutnya tanggal 14 Februari 1930, Jose Maria membuka peluang bagi wanita untuk ambil bagian dalam pengudusan diri melalui Opus Dei. Selanjutnya, pada tanggal 14 Februari 1943, Jose Maria mendirikan Serikat Imam Salib Suci yang tidak terpisahkan dari Opus Dei.

Sebenarnya Jose Maria enggan menyatakan diri sebagai pendiri Opus Dei. Ia selalu menyebut ini adalah karya Tuhan sendiri dan Ia menggunakan dirinya sebagai sarana. Maka tidaklah heran, perkembangan Opus Dei yang sangat cepat dianggap sebagai karya Tuhan sendiri.

Pada tanggal 26 Juni 1975 ia wafat secara tiba-tiba. Pada saat ia meninggal, Opus Dei telah berkembang si lima benua, dengan memiliki anggota lebih dari 60.000 anggota. Kesuciannya yang luarbiasa, menghantarnya pada proses kanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada 6 Oktbober 2002.

2.2 Struktur organisasi Opus Dei, keanggotaan dan kedudukan dalam Gereja
Opus Dei merupakan sebuah prelatura, terdiri dari kelompok klerikal dan awam, baik pria maupun wanita. Tidak ada kategori yang berbeda dari anggota Opus Dei. Hanya ada jalan hidup berbeda secara sederhana dalam panggilan Kristiani yang sama, berdasarkan keadaan berbeda dari masing-masing anggota: menikah atau tidak menikah, sehat atau sakit dan sebagainya. Mayoritas orang beriman dari Prelatura Opus Dei (sekitar 70% dari total keanggotaan) adalah Supernumeraries. Umumnya mereka adalah pria atau wanita yang menikah, di mana pengudusan atas tugas-tugas mereka dalam keluarga adalah bagian paling penting dalam hidup Kristiani mereka. Mereka tetap tinggal di rumah mereka masing-masing. Menurut para anggota Opus Dei, justru karya Opus Dei tampak paling nyata dalam supernumeries, karena inti dan prinsip Opus Dei bukanlah mendirikan sekolah, panti asuhan atau karya amal lainnya, tetapi memaknai dan mengubah hidup harian setiap pribadi menjadi lebih kudus dan religius.

Kategori keanggotaan lainnya adalah anggota pria dan wanita yang membuat komitmen pribadi untuk selibat, dengan alasan kerasulan. Kategori ini terdiri dari dua jenis, Associates dan Numeraries. Para anggota Associates hidup bersama keluarga mereka, atau di mana saja yang sesuai dengan alasan professional. Sedangkan anggota Numeraries biasanya hidup di kantor pusat-pusat Opus Dei, dan dapat secara penuh hadir untuk kegiatan-kegiatan apostolik dan formatio dari anggota Prelature lainnya. Hanya anggota Numeraries yang dapat menjadi pemimpin Center of Opus Dei. Anggota Numeraries dibantu oleh Assistants Numeraries, yang tinggal di pusat-pusat Opus Dei dan mengabdikan diri untuk bertanggungjawab atas pekerjaan rumah tangga di kantor pusat Opus Dei serta mendapat gaji atas kerja mereka ini.

Kategori lainnya adalah Para Imam dalam prelatura yang disebut The Clergy of Prelature dan bersama anggota imam diosesan tergabung dalam The Priestly Society of the Holy Cross, di mana Uskup Opus Dei otomatis berperan sebagi Presiden. Para imam The Clergy of Prelature berasal dari kaum awam Opus Dei, yaitu anggota numeraries dan associates pria yang secara bebas dan atas kemauannya sendiri ingin menjadi imam setelah beberapa tahun bergabung dengan Prelatura dan menyelesaikan studi yang dituntut sebagai syarat imamat, dan diminta Prelatura untuk menerima tugas suci ini. Pelayanan pastoral utama mereka adalah melayani anggota beriman Prelatura dan mempromosikan aktivitas-aktivitas apostolik mereka. Selain itu ada imam-imam diosesan (bukan anggota tarekat) yang bekerja dalam Prelatura, yang secara khusus membantu upaya peningkatan kualitas spiritualitas anggota lain dan berusaha mencapai kekudusan dalam pewartaan sesuai dengan semangat Opus Dei. Para imam diosesan ini masih tetap terikat oleh hirarki di keuskupannya, dan melaksanakan tugas pastoral di keuskupannya. Ada pula kelompok lain yang ikut mendukung kegiatan Opus Dei, namun tidak bergabung ke dalam prelatura. Kelompok ini adalah Cooperators Opus Dei, yang juga dapat membantu prelatura lewat kerja mereka atau bantuan finansial. Sebagai imbalan, mereka menerima penghargaan spiritual yang diberikan Gereja melalui kerjasama dengan Opus Dei.

Dalam strukturnya tidak ada perlakuan diskriminasi terhadap anggota wanita. Mengenai pemegang otoritas tertinggi memang adalah pria, namun ini lebih menyangkut pada peran dalam otoritas yang juga dapat dijumpai pada kelompok lain. Ini lebih menyangkut pada urusan klerikal dengan Tahta suci. Jadi bukan mutlak milik Opus Dei saja!

Opus Dei mempunyai kedudukan yang khas dan cukup istimewa dalam Gereja Katolik, yaitu berbentuk Personal Prelature atau Prelatura Personal. Pemberian Status Prelatura Personal pada Opus Dei dilaksanakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 28 November 1982. Apa sebenarnya Prelatura Personal itu? Ide mengenai struktur yuridis Prelatura Personal pertama kali diperkenalkan oleh Konsili Vatikan II. Dekrit Konsili Presbyterorum Ordinis 10, menyatakan bahwa, di antara banyak institusi-institusi dalam Gereja dapat didirikan “diosis-diosis atau prelatura-prelatura personal yang khusus… menyebarkan karya-karya pastoral yang khas untuk bermacam-macam kelompok sosial, yang perlu dilaksanakan di kawasan atau negara tertentu atau di daerah manapun juga”. Bapa Suci mengatur struktur dan aktivitas Prelatura Opus Dei, dengan tetap menghormati hak-hak para Uskup setempat. Meski tidak memiliki keterikatan formal dengan gereja setempat, namun Prelatura tetap wajib untuk menjalin hubungan baik dengan para rohaniwan dan Gereja setempat. Prelatura berada langsung di bawah Kongregasi Suci untuk Para Uskup, dan wajib memberi laporan lima tahun sekali kepada Bapa suci, mengenai perkembangan Prelatura dan karya kerasulannya.

3. Ajaran Jose Maria sebagai Rahasia Hidup Panggilan Opus Dei
Seluruh kehidupan dan realitas Opus Dei sangat dipengaruhi oleh ajaran dan gaya hidup Jose Maria. Semangat dan usahanya dalam mencapai kesucian memberi warna yang tidak jauh berbeda pada Opus Dei. Jose Maria pernah mengatakan” beritakan kepada semua pria dan wanita di setiap negara dan segala situasinya, ras, bahasa, lingkungan pergaulan, dan bagian hidup… bahwa mereka dapat mencintai dan melayani Tuhan tanpa meninggalkan hidup biasa mereka, hidup berkeluarga, dan hubungan-hubungan sosial normal mereka”. Ajakan ini tercermin dalam beberapa ajaran hidup Jose Maria yang menjadi spiritualitas dan gerak hidup Opus Dei dalam mencapai kesucian di tengah sekularitas dunia.
3.1 Pengudusan Kerja
Konsep tentang pengudusan kerja berada dalam inti ajaran Jose Maria dan ini mendekati “perintah utama” yang ada dalam Opus Dei. Semua jenis pekerjaan adalah tempat di mana Kristus dihadirkan dan drama penebusan dosa manusia ditampilkan dengan cara yang berbeda-beda. Berkat baptisan orang Kristen dijadikan “rohaniwan-rohaniwan eksistensi diri kita sendiri”. Sebagaimana seorang rohaniwan mempersembahkan roti dan anggur kepada Tuhan dalam perayaan Ekaristi, setiap orang Kristen harus mengangkat dan mempersembahkan kerja hariannya kepada Tuhan. Jose Maria mendasarkan pandangannya ini pada kitab Kejadian 2:5 yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk mengusahakan tanah (bekerja), sehingga kerja adalah lingkungan yang tepat untuk menemukan Tuhan. Dalam arti inilah, ia menolak pemahaman teologi abad pertengahan yang mengajarkan bahwa kerja merupakan konsekuensi dosa asal dan sebuah bentuk hukuman. Menurutnya hanya sisi membosankan kerjalah yang merupakan buah dari dosa; kerja itu sendiri mulia adanya.
Pengudusan kerja berarti bekerja dengan semangat Yesus Kristus, bekerja secara kompeten dan beretika, dengan maksud untuk mencintai Tuhan dan melayani sesama, selanjutnya ikut menguduskan dunia dengan membuat Injil hadir di setiap kegiatan tanpa memperdulikan menjadi terkenal atau tidak sama sekali. Di mata Tuhan pertama-tama cintalah yang diletakkan dalam bekerja, dan bukan keberhasilan manusiawinya.

3.2 Kontemplatif di Tengah Dunia

Inti ajaran Opus Dei selanjutnya adalah konsep tentang kontemplatif di tengah dunia. Konsep kontemplatif di tengah-tengah dunia ini mau mengatakan bahwa seluruh hidup hendaknya dihayati dalam dimensi kontemplatif sekaligus dimensi kontemplatif dihayati dalam seluruh hidup. Bagi Jose Maria, orang tidak harus hanya menyepi ke tempat-tempat religius khusus untuk berdoa, namun bisa dilakukan di mana saja dan dalam kesempatan apa saja, di mana mereka bekerja, bermain dan hidup. Dalam arti ini, bekerja merupakan bagian alami dan kehidupan sehari-hari. Seluruh kehidupan manusia adalah doa, tidak ada ruang terpisah eksistensi antara “yang kudus dan yang profan” atau “yang religius dan yang sekuler”. Hal ini bukan berarti bahwa orang (khususnya anggota Opus Dei) tidak memerlukan lagi gereja atau kapel, bahkan mereka merayakan perayaan liturgi resmi Gereja dengan sangat ketat, dalam gereja atau kapel. Yang ia maksudkan di sini adalah mengisi dan memaknai segala pekerjaan profan dalam dimensi religius-kontemplatif. Maka tak heran anggota Opus Dei selalu berdoa, Rosario misalnya, saat menyetir mobil, di jalan, di tempat-tempat kerja dan sebagainya. Kesucian tidak hanya didapat seseorang dengan berkutat dalam gedung gereja, biara atau tempat-tempat ziarah, tetapi juga dalam kerja dan hidup nyata, di mana ia bersatu dengan Tuhan dalam situasi konkret.

Sesungguhnya doa dan sekularitas saling berhubungan secara intim, karena hanya dalam doa dunia dan realitas sekular dapat dilihat apa adanya-tidak hanya menjadi tempat di mana hidup berlangsung melainkan sesuatu hal di mana mempunyai andil dalam nasib kita dan melaui hidup sekular nasib kita mengambil bentuk hingga mencapai tujuan dan nilai yang pasti. Dengan demikian, konsep kontemplatif di tengah-tengah dunia berarti orang tidak tahu kapan doa berakhir dan kehidupan bermula karena sepanjang hidupnya adalah doa.

3.3 Kebebasan Kristen: Ubi auten Spiritus Domini, ibi libertas

Dalam struktur organisasi Opus Dei, tetap ada jabatan hirarkial yang bertujuan untuk mengatur organisasi layaknya organisasi-organisasi pada umumnya. Namun, Opus Dei mempunyai kekhasan yaitu diakuinya kebebasan penuh anggotanya untuk menjalankan kehidupan hariannya. Di luar bimbingan dan formasi spiritual yang ditawarkan Opus Dei, organisasi ini tidak mempunyai acara yang sungguh mengikat, dan para anggotanya benar-benar bebas melakukan apa yang menurut mereka cocok, bertanggung jawab penuh atas pilihan mereka.

Opus Dei juga tidak menentukan anggotanya untuk berkarya atau bekerja pada bidang tertentu seperti organisasi (tarekat) religius lainnya, tetapi membebaskan anggotanya untuk menikmati kemerdekaan dalam menjalankan tugas atau karya dengan penuh tanggung jawab pribadi. Kemerdekaan atau kebebasan pribadi dan tanggung jawab pribadi dapat menjadi jaminan terbaik bagi tujuan ilahi karya Tuhan. Dalam Opus Dei, peran rohaniwan dan pembimbing awam adalah membimbing para anggota dalam kehidupan spiritual mereka, menanamkan pengertian tentang doktrin ajaran Gereja Katolik, lain tidak. Maka, para pembimbing tidak diperkenankan menelisik pilihan pribadi anggota atau kreativitas professional mereka. “Tuhan menghendaki agar kita melayani dengan bebas -ubi auten Spiritus Domini, ibi libertas- ‘Di mana ada Roh Tuhan di situ ada kemerdekaan’– dan oleh sebab itu sebuah kerja kerasulan yang tidak menghormati kemerdekaan nurani bisa dipastikan salah”.

Dari uraian di atas, tidak dapat disimpulkan bahwa anggota Opus Dei sungguh-sungguh bebas dalam berpikir dan bertindak. Tetap ada batasan yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun dari anggota Opus Dei. Batasan bagi kemerdekaan berpikir dan bertindak dalam Opus Dei adalah Ajaran Gereja Katolik. Anggota Opus Dei tidak dapat membebaskan dirinya untuk menganut paham atau pendirian yang berbenturan dengan iman dan moral Gereja.

3.4 Filiasi Ilahi
“Filiasi Ilahi adalah fondasi dari spiritualitas Opus Dei” kata Jose Maria. Gagasan Filiasi Ilahi muncul dari hasil refleksi pribadi Jose Maria saat mengalami pencerahan ilahi dalam sebuah perjalanan dengan kereta api di Madrid tahun 1931. Dalam perjalanan itu, Jose Maria mengalami kepenuhan rahmat ilahi sehingga ia tidak sanggup mengendalikan diri untuk berteriak sekeras-kerasnya “Abba, Bapa, Bapa!”. Jose Maria memaknai pengalaman itu sebagai pengalaman kepenuhan ilahi yang melimpah menjadi seorang anak Allah, Filiasi Ilahi. Menurutnya, dengan menciptakan kita, Allah menjadikan kita makluk-makluknya; tetapi dengan menebus kita dalam pribadi Yesus Kristus dan pengorbanannya di kayu salib, Allah menjadikan kita “anak-anak” Allah, dengan segala cinta dan kasih sayang yang terkandung dalam relasi itu. Sebenarnya berkat luhurnya sakramen Pembabtisan orang Kristen sudah diangkat menjadi anak-anak Allah. Namun cara hidup Opus Dei memberi tekanan lebih agar orang Kristen menjadi sadar akan rahmat istimewa ini.

Dalam usahanya melaksanakan konsep filiasi ilahi, Opus Dei menyediakan proses formatio yang membantu setiap orang Kristen (khususnya Opus Dei) untuk membantu perkembangan iman dan kesadaran yang lebih mendalam sebagai anak-anak Allah dan membantu mereka bertindak sesuai dengan cara hidup anak-anak Allah. Kesadaran sebagai anak Allah membantu perkembangan kepercayaan pada karya atau penyelenggaraan Ilahi, kesederhanaan dalam berdialog dengan Tuhan, serta kesadaran mendalam akan martabat setiap manusia dan kebutuhan untuk menjalin persaudaraan di antara semua orang. Konsep filiasi Ilahi juga mendorong berkembangnya cinta Kristiani yang sejati bagi dunia dan bagi seluruh realitas kemanusian yang tercipta oleh Allah, dan menumbuhkan rasa tenang dan optimisme dalam menjalani hidup.

4. Memisahkan Fakta dari Mitos
Dalam perkembangannya, Opus Dei tidaklah selalu dapat diterima sebagai gerakan yang membawa pembaharuan dalam hidup. Orang-orang yang kurang suka dengan kehadiran dan cara hidup yang jalankan oleh Opus Dei, mencoba mencari-cari hal yang kiranya dapat digunakan untuk menjatuhkan kelompok ini. Beberapa cara hidup dan situasi kokret lembagai ini dijadikan sarana untuk menyerang Opus Dei.

Banyak orang menuduh Opus Dei adalah gerakan ultrakonservatif, yang disinyalir lahir karena kekecewaan terhadap hasil Konsili Vatikan II. Mereka juga mengecam tindakan mortifikasi tubuh para anggotanya, yang dianggap stidak menghargai tubuh dan melanggar hak asasi manusia. Selanjutnya, kelompok ini dianggap sebagai “Octopus Dei” (Gurita Allah) yang mempunyai kekayaan yang luar biasa untuk mendanai gerakannya. Opus Dei juga dituduh sebagai kelompok yang melaksanakan diskriminasi wanita dalam organisasinya, perekrutan besar-besaran secara rahasia dan memaksa, serta gerakan kaum elitis dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan agama.
Penjelasan sekaligus tanggapan muncul tidak hanya dari lingkungan Opus Dei sendiri, tapi juga orang-orang yang pernah hidup, terlibat, atau yang melakukan investigasi seperti John L. Allen Jr., seorang koresponden Natonal Chatolic Reporter (NCR). Mereka mencoba memisahkan fakta yang ada pada Opus Dei dengan mitos-mitos yang seringkali dicampur adukkan oleh orang yang mengkritik Opus Dei.

Menanggapi tuduhan mengenai kekecewaan atas hasil Konsili Vatikan II, Opus Dei menyatakan anggapan itu tak berdasar, bahkan salah besar. Justru Opus Dei telah menawarkan cara hidup yang baru yang selaras dengan gerakan pembaharuan, di mana medan atau jalan menuju kesucian tidak hanya berkutat pada urusan kebiaraan atau klerikal, namun semua orang termasuk awam dipanggil untuk menjadi suci dalam keadaannya masing-masing. Konsep mengenai Pengudusan kerja, dan Kontemplatif dalam dunia menjadi bukti, bahwa ini selaras dengan gerakan yang diperjuangkan oleh Konsili Vatikan II.

Mengenai praktek mortifikasi tubuh, bukanlah sesuatu yang baru dan aneh dalam Gereja Katolik. Jauh sebelum Opus Dei lahir, praktek mortifikasi (penyesahan) tubuh mempunyai sejarah panjang dan dapat diterima dengan alasan teologis. Para Mistikus kristiani dan para pertapa awal telah melaksanakan praktek mortifikasi sebagai jalan untuk membebaskan diri dari nafsu-nafsu yang menghambat persatuan manusia dengan Allah. Praktek mortifikasi merupakan hal umum sebelum Konsili Vatikan II khususnya dalam biara-biara. Oleh karena itu, Opus Dei tidak boleh dan tidak dapat dipersalahkan jika mereka memelihara tradisi gerejani khususnya dalam mencintai Allah secara lebih nyata.

Opus Dei yakin, cara hidup yang mereka tawarkan merupakan sumbangsih bagi Gereja. Mereka tidak pernah terpikir memanfaatkan lembaga keagamaan ini menjadi ajang politis, ekonomi atau diskriminasi. Semua adalah Anak-anak Allah yang dipanggil untuk menghadirkan Gereja di tengah dunia. Meski tidak selalu diterima, dan seringkali menimbulkan polemik, namun Opus Dei boleh yakin, Karya Allahlah yang mereka perjuangkan, dan Allah berkarya bersama mereka.

5. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Opus Dei merupakan gerakan cara hidup yang baru yang menawarkan sebuah gerakan pembaharuan hidup, dimana pentingnya pengudusan hidup oleh semua orang termasuk awam dalam suasana sekularitas dunia di mana ia hadir. Orang tidak lagi harus berkutat pada tataran pemikiran bahwa hidup suci hanya melalu hidup religius atau klerikal, namun lewat pekerjaan mereka, mereka mampu menghadirkan Kristus di tengah dunia dalam konteks hidup harian. Meski tidak semua orang cara hidup Opus Dei dengan berbagai praduga dan ketakutan mereka, Opus Dei mampu membuktikan karya Tuhanlah yang paling utama, di mana setiap orang dipanggil untuk terlibat di dalamnya. Dengan demikian, Opus Dei mencoba memberi warna baru yang lahir sebagai anak kandung Gereja, yang mencintai Gereja juga, dan ingin menghadirkan Gereja di tengah dunia, sehingga semua orang dapat mencecap betapa manisnya kasih Allah bagi semua orang.

DAFTAR PUSTAKA

Allen Jr., John L.,
2007 Opus Dei Sepak Terjang Kelompok Misterius Katolik, Pustaka Alvabet, Jakarta.
Jost Kokoh,
2010 XXi Interupsi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

R. Hardawiryana SJ. (terj.),
1993 Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit OBOR, Jakarta.

Rodriguez, Pedro, Fernando Ocariz, Jose Luis Illanes,
1993 Opus Dei in the Church, Four Courts Press LTD, Dublin.

Shaw, Russell,
1982 “The Secret of Opus Dei, How Can Each Individual Do God’s Work” dalam majalah Chatolic Position Paper.

Tim Penulis OBOR,
2006 Opus Dei dan Da Vinci Code, penerbit OBOR, Jakarta.

Sumber internet:
http://www.opusdei.us/art.php?p=12224,