MENGGALI GAGASAN TEOLOGI MINJUNG DALAM BUKU MINJUNG THEOLOGY PEOPLE AS THE SUBJECTS OF HISTORY

 

  1. Pengantar

Konsili Vatikan II telah membuka suasana baru dalam berteologi. Teologi yang sifatnya kontekstual menjadi semacam kebutuhan Gereja dewasa ini. Bahkan para teolog menyatakan bahwa saat ini tidak ada “teologi” – semacam ungkapan “iman yang mencari pemahaman” dengan “satu ukuran yang cocok untuk semua”, yang berlaku secara universal dan dapat diterapkan secara universal juga. Sebaliknya, satu-satunya teologi yang ada adalah “teologi kontekstual” yang mencari pemahaman iman dalam situasi, tempat waktu dan budayanya sendiri.[1] Teologi ini selalu menempatkan pengalaman iman masa lalu para leluhur kita dalam  iman sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci dan Tradisi sekaligus mengaktualisasikan pengalaman mereka sehingga kesaksian Kitab Suci dan Tradisi tetap hidup dan relevan bagi semua bangsa. Bevans juga menambahkan bahwa teologi dewasa ini tidak memerlukan lagi sebuah Summa Theologiae atau sebuah Church Dogmatics yang mungkin mengklaim berlaku dalam segala situasi manusia di dunia dewasa ini. Sebaliknya, apa yang Gereja butuhkan ialah mekarnya aneka teologi di setiap penjuru dunia, di setiap situasi historis di antara setiap kelompok sosial.[2]

Teologi Minjung adalah salah satu teologi kontekstual yang berusaha merefleksikan iman Kristiani dalam konteks Korea. Salah satu referensi tentang teologi minjung adalah buku Minjung Theology People as the Subjects of History. Dalam Buku Minjung Theology People as the Subjects of History, para teolog minjung memaparkan bagaimana pengalaman kaum minjung di Korea menjadi langkah pertama dalam berteologi, dan selanjutnya mengkaitkannya dengan teks Kitab Suci.

 

 

  1. Latar Belakang Buku Minjung Theology People as the Subjects of History

 

Penulisan buku Minjung Theology People as the Subjects of History ini tidak dapat dilepaskan dari sebuah pertemuan konsultasi teologis pertama yang digagas oleh Theological Commission of National Council of Churches in Korea di Seoul tanggal 22-24 Oktober 1979. Buku ini adalah sebuah dokumentasi hasil pertemuan konsultasi teologi ini.

Pertemuan ini dihadiri oleh tujuh belas orang dari beberapa negara di Asia ini dan mengusung tema umum “The People of God and the Mission of the Church”. Menurut kesaksian Suh Kwang-sun David, tema ini sebenarnya hanya cover name atau bukan tema sesungguhnya agar pertemuan ini tidak menarik banyak perhatian pemerintah atau para penguasa diktator yang akan mengawasi ketat khususnya para partisipan lokal atau orang-orang Korea.

Kata “People of God” diangkat karena merupakan jargon Gereja Korea, sedangkan “mission” bagi para penguasa hanyalah sebuah rumusan yang tidak berbahaya (cliché). Sebenarnya, tema konsultasi teologis itu adalah “minjung” dan perkembangan teologis dewasa ini di Korea dari kategori minjung. Namun penggunaan istilah minjung nampak disamarkan karena kata minjung sendiri adalah sebuah kata yang berbahaya.

 

  1. Pengertian Minjung

Minjung adalah kosakata bahasa Korea tetapi berakar dari bahasa Cina. Menurut Suh Kwang-sun David, minjung merupakan sebuah kata hasil kombinasi dari dua karakter Cina: min (民) dan jung (衆). Min dapat diterjemahkan sebagai “orang-orang atau rakyat” dan jung sebagai “massa”. Oleh karena itu, “Minjung” berarti massa rakyat, massa, atau cukup rakyat saja.[3]

Minjung adalah sebuah kata yang tumbuh dari pengalaman-pengalaman orang-orang Kristen Korea dalam perjuangan politis demi keadilan selama bertahun-tahun. “…Teologi minjung adalah sebuah akumulasi dan artikulasi dari refleksi teologis atas pengalaman-pengalaman para pelajar, kaum buruh, para pekerja media, profesor, petani, para penulis, dan kaum intelektual Kristen sama baiknya dengan para teolog di Korea selama dekade 1970an.”[4] Teologi ini adalah hasil refleksi murid-murid Kristus dalam penderitaan penjara, yang nampak dalam surat-surat mereka dari dalam penjara untuk keluarga dan para sahabat mereka. Wan San Han mengidentifikasikan minjung sebagai orang-orang yang tersingkir secara politis, dieksploitasi secara ekonomis, dialienasikan atau diasingkan secara sosiologis, dan yang dihilangkan secara akademis.[5]

 

  1. Sumber-Sumber Teologi Minjung

Menurut Bevans, Konsili Vatikan II memberi nasihat bahwa Kitab Suci harus menjiwai seluruh teologi (OT 16) sehingga gerak pertama dalam penyelidikan positif historis harus berupa penelitian atas Kitab Suci. Setelah menyelidiki Kitab Suci seorang teolog positif historis mempelajari berbagai karya teolog dari awal Gereja atau tradisi Bapa-bapa Gereja dan Magisterium.[6]

Teologi minjung mempunyai metode yang berbeda. Meskipun teologi minjung tidak melepaskan Kitab Suci sebagai sumber teologinya, namun bukan pada gerak pertama dalam berteologi. Teologi minjung justru menempatkan pengalaman manusia sebagai titik tolak refleksi. Refleksi atas pengalaman penderitaan rakyat Korea yang terungkap dalam bahasa-bahasa mereka yang khas yaitu bahasa han dan seni pertunjukan tari topeng, dan memadukannya dengan refleksi biblis, melahirkan sebuah teologi minjung. Tugas hermeneutis dasar teologi minjung bukanlah menafsirkan teks-teks Kitab Suci dalam terang situasi dan konteks Korea, tetapi menafsirkan pengalaman penderitaan kaum minjung Korea dalam terang teks Kitab Suci. Ini bukan berarti bahwa minjung lebih penting dari Kitab Suci, namun hanya mau menegaskan bahwa minjung adalah titik awal dari sebuah hermeneutika biblis.[7]

Sumber teologi minjung bertitik tolak dari pengalaman penderitaan, kemudian pengalaman itu direfleksikan dalam terang Kitab Suci, dan membentuk sebuah teologi melalui  perjumpaan dengan tradisi lokal khususnya berkaitan dengan gerakan-gerakan mesianik lokal. Akhirnya teologi ini mendorong berkembangnya teologi yang mengusung tema gerakan pembebasan.

4.1 Pengalaman Penderitaan sebagai Dasar Teologi Minjung

Teologi minjung merupakan sebuah hasil refleksi kaum tertindas di Korea atas pengalaman penderitaan mereka dalam terang iman Kristiani. Para teolog tidak melepaskan begitu saja pengalaman konkret mereka dengan akar dan tradisi leluhur mereka yang telah terbangun selama berabad-abad, sekaligus memadukannya dengan nilai-nilai pembebasan Kristiani. Dalam konteks ini, realitas minjung menjadi penting. Pada bagian ini, tulisan-tulisan yang ada mencoba menguraikan secara singkat mengenai realitas minjung dalam kehidupan rakyat Korea.

 

4.1.1 Realitas Han Kaum Minjung

Dalam makalahnya yang berjudul “Toward a Theology Han”, Suh menjelaskan bahwa bahwa inti dari teologi minjung adalah refleksi atas perasaan han kaum minjung Korea. Secara etimologis, han adalah sebuah istilah psikologis. Han adalah sebuah kata yang menunjukkan perasaan menderita dari seseorang yang tertekan baik oleh dirinya sendiri maupun penindasan dari orang lain. Perasaan penderitaan dan penindasan yang tanpa harapan sama sekali semacam ini ada dalam hati setiap orang Korea yang tertindas.[8]

Suh Nam-dong merujuk dua peristiwa untuk menjelaskan realita han agar gambaran mengenai pengertian han dapat dipahami secara tepat oleh para peserta konsultasi non-Korea sama seperti yang dirasakan bangsa Korea. Suh menggunakan dua buah peristiwa aktual pada saat itu yaitu kematian nona Kim dan peristiwa Bruder Oh Won-choon.

Kim Kyong-suk atau nona Kim, gadis berusia 21 tahun, adalah seorang anggota komisi eksekutif Persatuan Buruh T.H Company (T.H Trade Union), sebuah  perusahaan yang memproduksi rambut palsu atau wig. Ia mati tertembak ketika 200 buruh wanita perusahaan itu mengelar aksi demostrasi di depan gedung Partai Demokratis Baru (New Democratic Party) pada tanggal 9 Agustus 1979. Mereka menuntut partai penguasa ini mengeluarkan sebuah solusi yang adil menyangkut upah mereka yang tidak dibayarkan oleh pihak perusahaan.

Peristiwa kedua adalah Bruder Oh Won-chun, anggota Dewan Federasi Keuskupan Andong dari Asosiasi para Petani Katolik (the Andong Diocese Federation of Catholic Farmers’ Association). Dia seorang aktivis gerakan perjuangan hak-hak kaum petani, khususnya dalam kampanye menuntut ganti rugi penghancuran lahan pertanian kentang manis. Pada tanggal 5 Mei 1979 dia ditangkap oleh “oknum penguasa”. Ketika berapa imam berhasil menemukan Br. Oh dalam tahanan isolasi, kondisinya amat memprihatinkan. Br. Oh tidak mampu menceritakan situasi yang sesungguhnya. Beberapa orang yakin bahwa selama dalam tahanan, Br. Oh mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan paksaan untuk tidak meneruskan perjuangannya.

Suh Nam Dong menegaskan bahwa dua peristiwa itu merupakan salah satu bentuk han para buruh dan petani Korea. Ia melihat bahwa dari dua peristiwa itu tampak adanya struktur politik dan ekonomi Korea yang menindas dan melahirkan han dalam diri delapan juta buruh waktu itu. Karena itu dapat dikatakan bahwa han adalah perasaan umum dari rakyat Korea yang tidak berdaya. Ini adalah akumulasi pengalaman penindasan yang tertekan dan dipadatkan, yang diwariskan dan diteruskan yang mendidih dalam darah kaum minjung.

Han adalah sebuah perasaan mendalam yang bangkit dari minjung yang tertindas dan menderita. Di satu sisi, han adalah perasaan dominan tentang kekalahan, kemunduran, dan ketiadaan yang dapat disublimasikan dalam bentuk eskpresi-ekspresi artistik yang hebat. Syair-syair kuno Korea, Pansori dan tari topeng (T’alchum), merupakan bentuk sublimasi artisitik dari han yang lemah dan frustasi itu. Namun, di sisi lain, han adalah perasaan kegigihan kehendak untuk hidup yang datang dari orang-orang yang lemah. Kegigihan ini melahirkan sebuah tendensi pada revolusi sosial sebagai perlawanan atau pemberontakan atas situasi yang menindas mereka.

Dia mengembangkan kata dan dalam teologi minjung sebagai jawaban atas han kaum minjung.[9] Kata Dan berarti “memotong”. Dia menjelaskan dua dimensi dari dan untuk memperdalam uraiannya tentang dan. Pertama, dan adalah penyangkalan diri. Orang yang tertindas melepaskan diri impian-impian:

Aku memisahkan tubuh dan pikiranku dari segala kehidupan yang nyaman dan mudah, lingkaran mimpi-mimpi borjuis yang kecil, rawa sekular tanpa kematian. Inilah isi keseluruhan dari imanku- aku tahu bahwa hanya penyangkalan diri yang hebatlah jalanku… inilah revolusi yang harus aku tunjukkan dan wujudkan  dengan hidupku sendiri. Khayalan itu sudah berakhir.[10]

Dimensi kedua adalah dimensi sosial yaitu mencoba memutus belenggu lingkaran han. “Dan adalah untuk mengatasi han. Secara personal, dan adalah penyangkalan diri. Secara kolektif atau sosial dan adalah untuk memotong lingkaran setan balas dendam.”[11] Artinya, jika han kaum minjung meledak tak terkendali dan destruktif, mereka akan membenci, membunuh, dan membalas dendam pada para penindas mereka tanpa henti. Dan berfungsi untuk mencegah munculnya sifat destruktif han dan lingkaran setan balas dendam itu.

Sistem pemikiran dan ini terdiri dari  empat tahap. Pertama, menyadari Allah dalam hati kita. Karena kesadaran ini kita terdorong untuk memuliakan Allah dalam pikiran (Shichonju). Kedua, memelihara tubuh Allah-membiarkan Allah (kesadaran Ilahi) tumbuh dalam diri kita (Yangchonju). Ketiga, melaksanakan perjuangan untuk mewujudkan Allah dan mempraktekkan apa yang kita percayai ada dalam Allah (Haengchonju). Tahap ini menandai perjuangan kita untuk mengalahkan ketidakadilan dunia dengan daya kuasa Allah. Keempat, mentransendensikan kematian dan kehidupan sebagai sebuah pejuang yang dibangkitkan untuk rakyat atau hidup sebagai para minjung pemenang yang rendah hati dan dibangkitkan mengatasi kematian (Sangchonju). Tahap ini orang mengalahkan ketidakadilan dengan mentransendensikan dunia.[12]

Para teolog minjung memandang serius han sebagai “bahasa” kaum minjung dan menjadikannya titik kontak dalam pencariannya sebagai basis teologis dalam rangka memulihkan kedudukan kaum minjung sebagai subyek sejarah.

 

4.1.2 Tari Topeng (T’alchum)

Bahasa han kaum minjung itu tidak hanya terungkap dalam cerita-cerita dan puisi, namun juga dalam seni pertunjukan tari Topeng (T’alchum). T’alchum adalah salah satu cara untuk mencapai dan pada tingkat pribadi.[13] Hyun Young-Hak dalam tulisannya yang berjudul “A Theological Look at the Mask Dance in Korea” menguraikannya bagaimana tari topeng menjadi semacam bahasa yang digunakan kaum minjung untuk mengungkapkan realitas penderitaannya.

Tari topeng adalah sebuah kesenian yang berakar pada festival atau pertunjukan desa kuno. Sebelum tanggal 15 Januari menurut kalender lunar, biasanya penduduk pedesaan menampilkan berbagai macam bentuk upacara religius memohon berkat kepada para dewa untuk hasil panenan yang lebih baik. Upacara-upacara itu biasanya diikuti dengan berbagai macam pertunjukan yang di dalamnya orang memasukkan unsur-unsur satiris terhadap kehidupan aristokrat. Namun ketika kelas-kelas perdagangan mulai muncul pada tahun 1700-an dan melahirkan kota-kota, unsur satiris dalam tari topeng semakin kuat dan berani. Seni pertunjukan yang awalnya bersifat religius,  justru bergeser menjadi media untuk mengungkapkan rasa ketertindasan mereka, dengan mengejek atau mengkritik para penindas mereka.

Tari topeng bukan hanya tarian semata, namun juga musik instrumental ritmik, lagu-lagu, dan dialog antara para pemain dengan pemusik dan para pemain dengan para penonton atau audiens. Tari topeng penuh dengan lelucon, sindiran, dan ekspresi vulgar berupa kata-kata kotor yang berkaitan dengan seks.

Tari topeng terdiri atas 11 adegan. Hyun Young-hak menyebutkan tiga adegan yang menurutnya penting berkaitan dengan minjung, yaitu Nojang (Biksu Budha Tua), Tiga Yangban (tiga orang aristokrat atau bangsawan), dan Miyal Halmi (Wanita Tua Miyal).[14]

Nojang adalah sebuah kritikan terhadap agama yang cenderung menjadi spiritualitas yang kuno dan agama metafisis yang jauh terpisah dari dunia nyata sehingga tidak bermakna dan tak produktif bagi rakyat.[15] Kisah Tiga Yangban ini mau menunjukkan bagaimana realitas kehidupan Kelas yangban. Kelas ini adalah kelas elit penguasa menganggap diri terpelajar, terhormat dan terpisah dari dunia fana rakyat jelata. Namun, dalam kisah ini mereka terlihat bodoh. Mereka begitu menikmati dunia mereka sendiri dan eksistensi sistem yang memberikan previlese dan prestise khusus bagi posisi mereka. Sikap ini membuat mereka buta akan realitas dunia. Kisah ketiga adalah Miyal-Malmi, yang menggambarkan seorang perempuan tua yang mencari suaminya. Dia terpisah dari suaminya selama bertahun-tahun karena perang di pulau Cheju, tempat tinggal mereka dulu. Kisah ketiga ini mau mengungkapkan kenyataan dunia di mana kaum bangsawan memerintah sekaligus kritik terhadap penindasan laki-laki atas kaum perempuan.

Tari topeng menjadi sarana untuk mentransendensi pengalaman mereka. Dalam dan melalui tari topeng, minjung mengalami dan mengekspresikan sebuah transendensi kritis melampaui dunia ini dan menertawakan absurditasnya.[16]

Menurut Hyun Young-hak, pengalaman transendensi ini mempunyai pengaruh baik secara positif maupun negatif. Ketika penindasan menjadi-jadi, kemarahan kaum minjung dapat saja meledak dan memberontak, namun tanpa mempunyai visi untuk mengubah sistem sosial dalam masyarakat. Untuk mencegah pecahnya pemberontakan, para pemimpin yang cerdas dan licik biasanya memanipulasi dan “mencuci otak” kaum minjung. Mereka mengijinkan dan bahkan membantu kaum minjung mengadakan festival-festival dan pertunjukan tari topeng yang berarti menyebarkan perasaan minjung yang terpendam. Mereka juga mengilahikan penglihatan minjung supaya perwujudan harapan mereka terjadi dalam “dunia lain” bukan dalam dunia nyata. Dalam hal inilah pengalaman transendental menjadi sesuatu yang negatif, karena membuat minjung menjadi pasif dan terjebak oleh pengharapan dan utopia belaka.

Namun, pengalaman transendensi itu juga mempunyai pengaruh positif. Pertama, pengalaman itu membangun dalam diri kaum minjung sikap bijaksana dan mempunyai daya untuk bertahan hidup dalam dunia yang tidak menghargai martabat mereka. Keyakinan bahwa dunia yang ada sekarang tidak berpihak dan mereka mampu mengatasi dunia itu, membuat mereka mampu menanggung beratnya kehidupan di dunia nyata ini dengan humor yang baik tanpa jatuh ke dalam keputusasaan. Kedua, pengalaman ini mendukung kaum minjung untuk berjuang demi perubahan dan kebebasan.

  1. Dasar Biblis Teologi Minjung

Setelah diskusi teologis dan sosio-politis dalam teologi minjung, diskusi bergerak pada diskusi biblis. Dalam diskusi selama konsultasi itu, muncul pertanyaan fundamental: Apa dasar-dasar biblis teologi minjung? Apakah kita menemukan minjung dalam Kitab Suci? Dapatkah kita merumuskan sebuah teologi biblis seputar gagasan tentang minjung?

Dua orang tokoh Korea mempresentasikan makalah penelitian biblis sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, Moon Hee-suk Cyris yang memusatkan pada kitab Kejadian 1:26-28 dalam makalahnya yang berjudul “An Old Testament Understanding of Minjung.” Kedua, Profesor Ahn Byung-mu mempresentasikan makalahnya yang berjudul “Jesus and the Minjung in the Gospel of Mark” yang meneliti kata “ochlos” dalam Injil menurut Markus sebagai sebuah jalan untuk memahami minjung dalam hubungannya dengan Yesus.[17]

 

5.1 Minjung dalam Perjanjian Lama

Moon Hee-suk Cyris berusaha menarik sebuah teologi Perjanjian Lama tentang hak-hak asasi manusia berdasarkan bagian ini dan melihat kitab Keluaran sebagai sebuah usaha untuk merestorasi sebuah rakyat. Dari kisah naratif Keluaran itu, Moon menemukan sebuah fakta penting: YHWH tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam gerakan pembebasan. Menurutnya, manusia diundang untuk bertindak sebagai partner Allah. Selain itu, perjumpaan Allah dengan Musa dikaitkan dengan para Bapa bangsa, terkait dengan janji Allah kepada mereka. Allah bukanlah Allah yang ingkar janji, namun selalu menepati janjiNya.[18] Sejak semula atau sejak penciptaan Allah telah memberkati mereka dan menjadikan mereka penguasa atas karya ciptaanNya. Dengan kata lain, Allah mempercayakan tanggung jawab kepada manusia untuk menjadi subyek atas sejarah. Ini jelas terungkap dalam Kej 1:28 “…Beranakcuculah dan bertambah banyak: penuhilah bumi dan takluklah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Oleh karena itu, menurut Moon, minjung adalah mereka yang membentuk sejarah manusia dengan menaklukkan dan menguasai bumi, yang memenuhi tujuan Allah dalam penciptaan.

Saat mengalami penindasan, berkat yang diberikan Allah dan hak minjung untuk menjadi penguasa atas dunia dan sejarah disangkal. Sejarah Keluaran merupakan sebuah sejarah restorasi martabat manusia sebagai yang diberkati oleh Allah.[19] Para teolog minjung memahami peristiwa Eksodus sebagai penegasan akan kedudukan sebagai subyek. Sebagaimana bangsa Israel diselamatkan Allah, demikian pula kaum minjung di Korea akan dibebaskan oleh Allah yang sama, sehingga mereka memperoleh kembali kedudukannya kembali sebagai subyek dalam sejarah.

Moon melihat bahwa realitas minjung dibicarakan juga dalam tulisan-tulisan Kenabian. Para nabi tampil sebagai orang-orang yang menyuarakan tangisan atau han kaum minjung. Para nabi tampil dengan berani membuka topeng kesalahan para anggota keluarga kerajaan dan memohon kesadaran mereka mengenai situasi realitas kaum minjung. Para nabi tidak berbicara mengenai sesuatu yang jauh di masa depan, namun mereka berbicara mengenai situasi sosio-ekonomi dan politik yang konkret terjadi saat ini.

Moon memusatkan perhatiannya pada dua pewartaan nabi yang terkenal yaitu Mikha dan Amos. Kedua nabi ini adalah nabi yang paling keras dan lantang menyuarakan kritikan terhadap sikap hidup para penguasa dan sekaligus menyuarakan jeritan penderitaan rakyat kecil.

Kritikan Amos terhadap kelas penguasa menunjuk sebuah titik dasar ketidakadilan yaitu penindasan. Penindasan ini terwujud dalam bentuk praktek jual beli budak, perampasan, pajak gandum dan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Para penguasa yang bersekongkol mengabaikan atau mendiamkan permintaan kaum minjung, kecuali mau memberi uang suap, menerapkan sistem kebijakan perdagangan yang korup dan merugikan kaum petani. Dalam Am 5:10-12, Amos mengecam praktek korupsi dalam sistem yang ada. Sistem pengadilan kacau dan kehilangan integritasnya.

Amos tidak hanya mengkritik keculasan para pemimpin dalam sistem sosial ekonomi dan politik  masyarakat Kerajaan Utara, namun juga mengkritik bobroknya sistem religius Israel. Dalam Am 7:10-17, Moon menunjukkan adanya bukti konfrontasi antara Amos dengan Amazia, seorang imam di Bethel. Amos mengkritik Amazia dengan berani dan keras yang dianggapnya melanggar Taurat dan mencoba menghentikan perkataan Allah meskipun kritikannya menyinggung raja.

Nabi lain yang tak kalah keras mengkritik ketidakadilan adalah Mikha. Moon menyatakan bahwa tulisan-tulisan kenabian Mikha memusatkan perhatian pada kata “my people atau umatKu” yaitu mereka yang tertindas. Mereka meyakini dirinya sebagai orang-orang yang dipilih sebagai gambar Allah dan seharusnya mereka menjadi subyek sejarah. Faktanya mereka kini tertindas, bukan oleh bangsa asing misalnya Mesir, namun oleh penguasa mereka sendiri, yang digambarkan oleh Mikha sebagai “ this people atau orang-orang ini” (Mi 2:7b-9).

Mikha melihat adanya dua kelas yang berbeda yaitu kelas orang miskin yang tertindas oleh para penguasa yang kaya. Lahan-lahan pertanian dan rumah-rumah yang bagus di Moresyet diambil alih oleh para penguasa secara paksa dan tidak adil dengan menggunakan kekerasan fisik. Mikha dengan lantang mengecam tindakan para pemimpin yang kejam dan tamak itu ibarat orang yang “memakan daging bangsaku, dan mengupas kulit dari tubuhnya” (Mi 3:3).

Mikha melihat juga perilaku para imam dan “nabi-nabi palsu” sama buruknya dengan para pemimpin yang tidak adil itu. “Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang” (Mi 3:10). Mikha menuduh mereka telah membangun iman dan teologi yang salah untuk membenarkan tindakan mereka sehingga melawan sabda Allah. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah cara untuk menjaga dan meningkatkan kekayaan pribadi mereka.[20]

Kata ”umatKu” menjadi semacam tema pusat atau inti ajaran dalam pewartaan nubuat Mikha. Mikha merasa bahwa seorang nabi sejati harus terlibat dalam penderitaan umatNya yang tertindas dan ikut merasakan betapa berat kesengsaraan mereka. Moon menegaskan bahwa dari tokoh Mikha, kita dapat belajar bahwa seorang nabi sejati selalu berdiri di samping dan bersama kaum minjung.[21]

Moon mencoba menarik sebuah benang merah yang menghubungkan realitas pewartaan nabi Mikha dengan  teologi minjung di Korea. Moon Hee-suk melihat bahwa situasi pada zaman nabi Mikha mempunyai kemiripan dengan kondisi kehidupan para petani, buruh, kelas pekerja, dan para pengangguran yang hidup seperti budak di Korea saat ini.[22] Sikap dan karakter nabi Mikha nampak dalam diri para teolog dan para pemimpin gerakan-gerakan pembebasan yang menyuarakan harapan dan keluhan kaum minjung di Korea.

5.2 Minjung dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru khususnya Injil Markus, juga mengungkapkan keberpihakan Yesus terhadap kaum minjung. Markus mengidentifikasi “ochlos” sebagai minjung pada jaman Yesus.

Dalam analisisnya, Ahn Byung-mu menemukan ada beberapa karakteristik dari ochlos ini.[23] Pertama, ochlos adalah orang-orang yang selalu berkumpul di sekeliling Yesus kemanapun Ia pergi (2:4,13; 3:9, 20, 32;  4:1; 5:21, 24, 31; 8:1; 10:1). Kedua, mereka kebanyakan adalah orang-orang yang disebut sebagai para pendosa, mereka yang disingkiri oleh masyarakat. Ketiga, kaum ochlos dibedakan dengan para murid. Dalam beberapa kesempatan, ajaran Yesus hanya ditujukan pada para murid (4:36; 6:46; 7:17; 33) sehingga ada kesan bahwa Yesus menempatkan para murid di atas kaum ochlos ini. Namun perlu diingat bahwa Yesus sering mengkritik sikap para murid, misalnya Yesus memarahi sikap mereka yang kurang memahami arti penderitaan Yesus (8:32; 9:32 dst). Sebaliknya Yesus tidak pernah memarahi kaum ochlos. Baginya, fakta ini seharusnya diingat ketika memandang para murid sebagai representasi Gereja.[24] Keempat, ochlos dikontraskan dengan para penguasa di Yerusalem yang menyerang dan mengkritik Yesus sebagai musuh mereka. Kelima, karena ochlos berlawanan dengan para penguasa, para penguasa takut terhadap mereka dan mencoba untuk tidak membangkitkan kemarahan mereka.

Ahn Byung-mu juga mengidentifikasi bagaimana sikap Yesus terhadap kelompok ochlos. Pertama, Yesus tergerak hatiNya oleh belaskasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala (6:34). Kedua, Yesus mewartakan bahwa mereka adalah ibuNya dan saudara-saudaraNya (Mrk 3:34) Dan menerima kaum ochlos ini sebagai anggota keluarga atau komunitas yang baru. Ketiga, Yesus mempunyai kebiasaan mengajar mereka (bdk Mat 10:1; 11:18). Ini berarti kaum ochlos kagum akan ajaran-ajaran Yesus.[25]

Bagi para teolog minjung, Yesus tidak hanya sekedar datang “untuk” kaum minjung, namun Yesus sendiri adalah bagian dari minjung itu sendiri. Bahkan Ia sendiri adalah personifikasi atau lambang kaum minjung. Yesus berjalan bersama mereka dan menjadi sahabat mereka. Justru pada titik inilah menurut Ahn, Yesus mewartakan kepada mereka bahwa “Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15).

Yesus mewartakan sebuah jalan dan pengharapan yang baru. Pada titik ini, Yesus berjuang bersama dengan minjung yang menderita. Bahkan Allah dipandang sebagai Allah yang ikut menderita, yang memandang serius penderitaan manusia sebagai akibat ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan. Dengan demikian, ada kesatuan antara “Allah dan Revolusi (unification of God and revolution)”. IdentifikasiNya dipandang sebagai jalan kaum minjung untuk mengadakan revolusi memperjuangkan status mereka sebagai subyek sejarah, yang menentukan sejarah mereka sendiri, bukan oleh kaum elit penguasa.

 

  1. Teologi Minjung: Sebuah Gerakan Mesianik dan Praksis Pembebasan

Teologi minjung tidak hanya berhenti pada refleksi teologis atas pengalaman penderitaan kaum minjung sepanjang sejarah dalam terang Kitab Suci.

Teologi minjung itu juga menghasilkan sebuah refleksi sebagai basis dan dasar bagaimana minjung harus menjadi subyek sejarah yaitu melalui perjuangan konkret menuju sebuah pembebasan kaum minjung. Makalah Kim Yong-bock yang berjudul “Messiah and Minjung: Discerning Messianic Politics over against Political Messianism”, menggali lebih luas mengenai transendensi diri kaum minjung.[26] Para teolog minjung mencoba merunut genealogi teologi minjung dalam pengalaman-pengalaman historis dan pembangunan komunitas Kristiani di Korea yang menghidupi perasaan han baik sifatnya personal maupun kolektif, yang termanifestasikan dalam berbagai macam bentuk seni dan pertunjukan seperti novel-novel, puisi-puisi, dan tari topeng. Refleksi itu bergerak menuju pada tindakan-tindakan yang mempunyai daya ubah bagi kaum minjung. Gagasan mesianik berkembang dengan mengkolaborasikan gagasan mesianik dalam Budha Maitreya, Donghak, dan Kristianitas. Proses kolaborasi itu mengarah pada terbentuknya Mesianisme Yesus atau mesianisme seorang Hamba yang menantang secara radikal semua bentuk mesianisme politis dan kekuasaan. Mesianisme Yesus akan membebaskan kaum minjung dari segala penderitaannya dan menempatkannya sebagai subyek sejarah, dan menciptakan sebuah umat Allah yang bersekutu (koinonia) dan dan damai (shalom). Pembebasan tidak hanya menyentuh unsur spiritual kaum minjung, namun juga secara sosio-ekonomis-politis.

Bagi Kim, ada beberapa tugas yang muncul atas situasi semacam itu di Korea. Pertama, orang-orang Kristen harus menyingkapkan sejarah panjang mesianisme politis yang memperbudak mereka dan dan berjuang untuk melawan mesianisme politis ini. Usaha ini melibatkan adanya evaluasi-evaluasi kritis terhadap nilai-nilai politis, struktur-struktur politis dan kepemimpinan politis. Kedua, mencoba menemukan kembali tradisi-tradisi mesianis populer yang diwariskan oleh Budhisme mesianik Maitreya dan agama Donghak, melalui sebuah penelitian literatur-literatur yang ada dan melalui dialog dengan para pemimpin Budhis dan Donghak yang mempunyai keprihatinan sama dengan orang-orang Kristen. Ketiga, terlibat dalam sebuah langkah konkret dalam perspektif politis seorang Kristen, berdasarkan gagasan-gagasan berikut ini: gagasan tentang kebangkitan umum rakyat (jasmani maupun spiritual) yang dipahami dalam istilah-istilah subyektivitas mesianis rakyat, shalom dalam hubungannya dengan proses unifikasi kedua Korea, dan koinonia (partisipasi) dan keadilan dalam hubungannya dengan pembangunan sosial politik orang-orang Korea. Untuk melaksanakan tiga hal ini, kita memerlukan sebuah pemahaman umum tentang sejarah Korea dan kita harus berdialog dengan kaum intelektual sekuler yang mencoba untuk melayani rakyat.[27]

 

  1. Relevansi Teologi Minjung terhadap Perkembangan Teologi di Asia

Teologi minjung mempunyai relevansi dalam pembangunan teologi kontekstual di Asia. Teologi minjung memberi contoh bagaimana teologi itu berangkat dari konteks realitas konkret rakyat Korea dan bagaimana mempribumikan refleksi teologi. Teologi minjung adalah sebuah hasil natural dari refleksi hermeneutik yang mendalam dan perjuangan mereka yang telah terlibat dalam praksis pembebasan kaum tertindas dan menderita, serta perjuangan humanisasi dari anak-anak Allah yang dihumanisasikan oleh para penguasa. Bagi teologi minjung, keselamatan berarti pembebasan, dan pembebasan berarti humanisasi mereka yang hak-haknya sebagai citra Allah dihilangkan.[28]

Penghargaan layak diberikan untuk minjung atas usahanya memberi contoh melakukan hermeneutik kreatif, atas kontribusinya dalam pembebasan teologis para teolog dan para pemimpin gereja lokal, atas usahanya membuka mata sejumlah orang Kristen pada dimensi sosio-politis dalam Injil, dan atas usahanya menampilkan makna universal dari Injil dalam usaha pembebasan manusia yang tertekan, tertindas dan menderita di Korea pada khususnya dan di Asia pada umumnya.[29] Teologi minjung menantang Gereja Korea dan Gereja Asia tradisional yang menekankan pertumbuhan Gereja dari segi kuantitas, namun kurang memperhatikan situasi sosial di sekitarnya. Teologi minjung menantang Gereja untuk memberi perhatian pada pertumbuhan dan kematangan Gereja yang seimbang, antara dimensi spiritual dan dimensi-dimensi sosial.[30]

Selain itu, pendekatan para teolog minjung, dengan perhatiannya pada cerita-cerita rakyat, tari topeng, dan pengharapan-pengharapan mesianik rakyat (kolaborasi mesianik dalam Budha Maitreya, agama Donghak, dan Kristianitas) juga memberi tekanan pada proses inkulturasi dalam teologi. Dengan menggunakan unsur-unsur budaya-religius setempat sebagai titik kontaknya, para teolog minjung mengembangkan sebuah “teologi pembebasan” sebagai hasil perjumpaan dan dialog antara realitas historis dengan segala konteks kulturalnya, iman Kristiani, dan inter-religius.[31] Inilah salah model teologi bagi Gereja Asia yang merindukan adanya teologi yang dibangun atas dasar kekhasan Asia: Kemiskinan, multi-kultural, dan multi-religius.

Teologi minjung juga membantu Gereja Asia untuk melaksanakan langkah-langkah apa yang ditawarkan oleh FABC dalam  mewujudkan teologi kontekstual Asia dengan metodologi teologis “See, Judge, and Act”. Pada tahap “See” teologi minjung melihat realitas penderitaan kaum minjung, tidak hanya dalam pengalaman konkret saat ini, tetapi juga dalam sejarah yang diwariskan dalam bentuk cerita atau narasi, Pansori, tari topeng (T’alchum). Narasi memainkan peran penting dalam budaya-budaya Asia. Mgr Luis Antonio G. Tagle (sekarang Kardinal dan Uskup Agung Manila) dalam First Asian Mission Congress menyatakan bahwa teologi diuntungkan dengan adanya kisah-kisah naratif itu karena cerita menyatakan identitas personal dan peristiwa-peristiwa yang mempertajam identitas itu.[32] Selanjutnya, pada tahap “Judge” teologi minjung membantu merefleksikan dan menafsirkan pengalaman itu dalam terang Kitab Suci yaitu Kisah Eksodus, nubuat profetis Amos-Mikha, dan kisah mesianis Yesus. Akhirnya pada tahap “Acts” teologi minjung mencoba membuat langkah-langkah konkret demi perjuangan untuk pembebasan kaum minjung yang miskin dan tertindas.

Oleh karena itu, tugas teologi minjung di Korea bersama-sama dengan teologi-teologi kontektual Asia lainnya seperti Teologi Akar Rumput di Filipina, Teologi Planeter di Sri Lanka, Teologi Kerbau di Thailand, dan teologi-teologi lainnya adalah membuat wajah-wajah Gereja khas Asia semakin tampak. Yewangoe mengutip gagasan Schillebeeckx yang menyatakan bahwa gereja-gereja Asia harus menjadi tempat pertemuan antara aksi dan kontemplasi. Dalam liturgi, pembebasan dan keselamatan Allah dirayakan, tetapi pada saat yang sama, liturgi pun harus menjadi tempat di mana praksis yang membebaskan itu mendapatkan makanannya.[33]

  1. Catatan Kritis terhadap Teologi Minjung

Beberapa teolog mengakui bahwa teologi minjung mampu memberi contoh dalam menghadirkan sebuah teologi yang kontekstual khas Gereja lokal. Namun, ini tidak berarti teologi ini langsung diterima begitu saja. Mayoritas orang-orang Kristen dan para teolog Korea tidak (belum) menerima teologi minjung sebagai sebuah teologi yang ideal. Bahkan ada beberapa teolog  seperti, Se Yoon Kim dan Eunsoo Kim secara ekstrim menyebut teologi minjung sebagai teologi heretik dalam terang Kitab Suci.[34]

  • Problem pada Hermeneutika Teologi Minjung

Dalam paper yang berjudul Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective, Eunsoo Kim mengkritik hermeneutika-hermeneutika teologi minjung dan kontekstualisasi teologi minjung. Menurutnya, teologi minjung hanya memperhatikan kultur homosentris dan bukan tentang keabsolutan dan transendensi Allah dan kebenaranNya. Sebagai sebuah teologi kontemporer yang berpusat pada manusia, menurut istilah Kim, teologi minjung memusatkan diri pada “sekarang-bukan masa depan atau kehidupan kekal, manusia- bukan Allah dan kondisi yang lebih baik dalam kebebasan-bukan kondisi esensi manusia.”  [35].

Eunsoo juga mengkritik hermenutika para teolog minjung yang menempatkan manusia (kaum minjung) sebagai subyek Kitab Suci, subyek sejarah dan subyek Gereja. Ia mengutip Kim Myung-hyuk yang mengatakan bahwa teologi minjung telah keluar dari batas teologis karena minat terbesarnya bukanlah Allah atau Yesus dalam Kitab Suci, melainkan pembebasan dan humanisasi kaum minjung.

  • Kedudukan Allah sebagai Sang Pembebas dalam Peristiwa Eksodus

A.A. Yewangoe memberi catatan pada gagasan teologi minjung tentang Allah yang membebaskan. Ia pada dasarnya dapat memahami sikap para teolog minjung yang mengkritik “spiritualisasi” peristiwa Eksodus sebagai sebuah pembebasan yang ada di luar kehidupan duniawi. Kritik itu dapat dibenarkan karena spritualisasi peristiwa Eksodus itu kadang digunakan sebagai alasan untuk mempertahankan status quo struktur sosial yang menindas rakyat dan menguntungkan kelas penguasa.[36]

Namun Yewangoe melihat masih ada masalah yang belum terjawab oleh para teolog Asia termasuk teolog minjung, berkaitan dengan karya penebusan Allah yang berkaitan dengan status khusus umat perjanjian Allah. Menurutnya, tekanan utama dalam peristiwa Eksodus adalah peristiwa pendamaian, yaitu dipulihkannya hubungan Israel dengan Allah. Oleh karena itu, faktor dosa harus dianggap serius dan penting. Melalui tindakan pendamaian, pengampunan dosa terjadi dan relasi dengan Allah dipulihkan. Allah tidak menutup mata terhadap Israel yang menjadi korban “kedosaan” Mesir dalam sistem sosialnya yang menindas. Allah menghukum dengan serangkaian bencana (bdk. Kel 7:14-12:42) sebagai tanda keprihatinan Allah akan situasi sosial ekonomi dan politik umatNya. Namun harus pula diingat bahwa Allah juga tidak menutup mata atas potensi “pemberontakan” Israel terhadap Allah. Oleh karena itu, pembebasan dari struktur-struktur sosial yang menindas tidaklah otomatis pembebasan dari dosa. Tindakan penebusan Allah dalam peristiwa Paskah harus selalu diingat. Tanpa pertobatan dan tanpa pengampunan dosa kaum tertindas dapat menjadi penindas, jika ada kesempatan. Itulah sebabnya Allah memperingatkan Israel agar tidak menghisap orang asing di negeri mereka, karena mereka pun dahulu orang asing di Mesir (bdk Im 19:33-34).[37]

Pendapat Yewangoe ini mau menjawab pemahaman Kim Yong-bock, seorang teolog minjung, yang menyatakan bahwa pemahaman tentang dosa tidak memainkan peran dalam teologi minjung di Korea. Yewangoe mengkritik para teolog minjung yang tidak seimbang dalam memperhatikan sisi pembebasan secara politis dan pembebasan secara spiritual. Mereka lebih menekankan makna politis dalam pembebasan kaum minjung dan kurang menekankan pada makna penebusannya. Para teolog minjung menafsirkan orang berdosa sebagai minjung. Orang berdosa hanyalah “cap atau gelar” yang dikenakan pada kaum minjung oleh kelas penguasa pada jaman Yesus. Oleh karena itu, gagasan apakah kaum minjung berdosa dan memberontak kepada Allah tidak memainkan peran apapun dalam teologi minjung.[38]

 

8.3 Gagasan tentang Allah yang Menderita

Yewangoe juga menyoroti tentang konsep Allah yang ikut menderita bersama minjung. Ia juga dapat memahami konsep itu. Ia yakin bahwa penekanan Allah yang berpihak pada orang tersingkir dan tertindas bukan hanya menguntungkan, tetapi sebuah keharusan, karena ini memberikan penekanan kepada orang-orang menderita sebuah kekuatan untuk menanggung penderitaannya.[39] Namun, teologi minjung harus memperhitungkan kedudukanNya sebagai “yang ikut menderita” sekaligus “kuasa dan kepemimpinan” Allah dalam sejarah. Choang Seng Song, memahami bahwa hakikat Allah bukanlah penderitaan, tetapi kasih. Justru karena kasihNya pada manusia, Allah mengosongkan diriNya (kenosis) demi keselamatan manusia (bdk. Flp 2:6-8).[40]

Yewangoe mengutip gagasan Choan Seng Song yang mengkritik pandangan teolog minjung yang menyatakan bahwa Allah menderita dan mati “bersama” dunia dan manusia. Song menegaskan bahwa Allah menderita dan wafat “untuk” dunia dan manusia.[41] Penekanan yang berlebihan pada Allah yang menderita dan mati “bersama” manusia dan enggan menggunakan kata “untuk” berarti mengabaikan keutuhan citra Yesus Kristus. Penggunaan mesianisme Hamba Yahwe yang menderita dalam teologi minjung, harus dimaknai pula sebagai jalan Allah yang menyelamatkan dengan cara menanggung dosa banyak orang, yang dari padaNya datang keselamatan bagi semua orang.[42]
[1] S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, Ledalero, Maumere 2010, 228-229.

[2] S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 259.

[3] Suh Kwang-sun David, ”A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 16.

[4] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 16.

[5] Wan Sang-han, Minjung dan Society, Sugak Publishing House, Seoul 1980, 26-27.

[6] Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 192-200.

[7] A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, dalam Pasific Theological Review 18:2 (1985), 10.

[8] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 25.

[9] A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, 3.

[10] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 64.

[11] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 64.

[12] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 65-67. Bdk. Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001, 7.

[13] Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 7.

[14] Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981,48-50.

[15] A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 136.

[16] Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, 50.

[17] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 33.

[18] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, Orbis Books, New York 1985, 6.

[19] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 34.

[20] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 47.

[21] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 48.

[22] “Saat ini” menunjuk pada situasi saat tulisan itu dibuat, yaitu pada tahun 1970an. Moon Hee-suk Cyiris “An Old Testament Understanding of Minjung”, 133.

[23] Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 140-141.

[24] J Gnilka, “Das Evangelium nach Markus, EKK I”, 1978, 279, dalam Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 139.

[25] Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 141-142.

[26] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 28.

[27] Kim Yong-bock, “Messiah and Minjung: Discerning Missianic Politics over against Political Mesianisme”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 192.

[28] Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in Korea”, dalam Inter-Religio 24 (1993), 52.

[29] Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in Korea”, 53.

[30] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, dalam Japan Christian Review 64 (1998), 62.

[31] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 310.

[32] Mario Saturnino Dias (ed.), Telling the Story of Jesus in Asia: A Celebration of Faith and Life at the First Asian Mission Congress, FABC- Office of Evangelization, Goa 2006, 133.

[33] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 363.

[34] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.

[35] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.

[36] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 332.

[37] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 335-336.

[38] David Mol, “Minjung Theologie-Zuidkoreaanse bevrij dingstheologie in een geïndustrialiseerde samenleving”, Wending, 1985, 21-22 dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 330-331.

[39] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 341-342.

[40]  Choan Seng Song, Third Eye Theology, Maryknoll, 1979, 69, dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 349-350.

[41] Choan Seng Song, Third Eye Theology, 165-166.

[42] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 357.