ALOYSIUS PIERIS: BERINKULTURASI DALAM KEMISKINAN DAN KERELIGIUSAN ASIA

 

 

  1. Pengantar

Inkulturasi adalah tantangan Gereja sepanjang masa yang menuntut dirinya sendiri untuk senantiasa memperbarui diri sesuai konteks jaman (ecclesia semper reformanda est). Apalagi, dalam situasi jaman ini, Gereja berada di tengah dunia dengan segala bentuk kemajemukan dan pluralitas di segala lini kehidupan: sosial, politik, budaya, religius. Bagaimana injil itu dapat dihayati, sesuai dengan konteks jaman dan realitas konkret di mana Gereja hadir termasuk di kawasan Asia. Salah satu tokoh yang mencoba membangun teologi dan inkulturasi dalam konteks Asia adalah Aloysius Pieris yang berusaha mempertemukan warta Injil dengan kemajemukan agama-budaya Asia dan realitas kemiskinan yang nyata.

Paper ini hendak memaparkan refleksi teologis Pieris dalam memandang inkulturasi dalam konteks realitas yang di hadapi oleh orang-orang Kristen di Asia, khususnya ketika berhadapan dengan kemiskinan yang masif-dominan, dan kemajemukan religiusitas di Asia.

 

  1. Riwayat hidup Pieris

Aloysius Pieris lahir di Ampitiya, Sri Lanka tahun 1934. Ia bergabung dengan Serikat Yesus pada usia 19 tahun dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan gelar licenciat filsafat di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India pada tahun 1959. Ia juga meraih gelar BA dalam Bahasa Sansekerta dan Pali dari Universitas London. Pada tahun 1972, Pieris berhasil menjadi orang Kristen pertama yang memperoleh gelar doktor dalam Filsafat Budha dari Universitas Sri Lanka. Kemudian ia mengajar Filsafat Budha di Universitas Gregoriana, Roma. Namun, ia memutuskan untuk kembali ke negaranya dan mendalami praksis hidup layaknya penganut ajaran Budha.

Pieris mulai membentuk komunitas sendiri dekat Universitas Budha di Kelayina, sebelah utara Kolombo. Kelompok ini berkembang pesat dan menjadi Pusat Riset dan Dialog Antaragama, yang dinamakan “Tulana”. Pusat riset ini bertujuan untuk mendorong dialog antara umat Budha dan Kristen pada basis tiga lapis. Pertama, penelitian mengenai cara umat biasa menghayati keberagamannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, studi teks-teks filosofis Budhisme dan membangun dialog dengan para pengajar dan mahasiswa. Ketiga, refleksi teologis, dalam konteks Budhisme demi tranformasi sosial.

Pieris memiliki beberapa karya berupa tulisan-tulisan berbentuk artikel dalam berbagai jurnal ilmiah. artikel-artikel itu kemudian dikumpulkan disatukan dalam bentuk buku. Ada buku penting yang menegaskan gagasan teologisnya. Buku pertama berjudul An Asian Theology of Liberation yang mengulas persoalan tentang banyaknya realitas kemiskinan di Asia dan kemajemukan religiusitas di Asia. Buku kedua berjudul Love Meets Wisdom: A Christian Experience of Buddhism yang menyajikan tema tentang kehidupan doa dan kontemplatif.

 

 

  1. Latar Belakang Pemikiran Pieris

Ada beberapa hal yang mempengaruhi sekaligus membentuk gagasan dan pemikiran Pieris. Pertama, pengalaman dan keterlibatan hidupnya. Pieris mengakui bahwa teologinya terinspirasi oleh dua pengalaman fundamental di Asia: pengalaman berkubang dalam studinya tentang Budha dan penelusurannya pada kemiskinan masif Asia.[1]

Kedua, pengaruh Konsili Vatikan II. Bagi Pieris, Konsili Vatikan II adalah titik tolak bagi refleksinya. Itulah yang muncul dalam pikirannya ketika ia bergabung dengan rekan-rekannya di Asia, yang berusaha menerapkan semangat aggiornamento dari ajaran-ajaran Konsili pada konteks Asia dan memberikan bentuk konkret kepada semangat konsili Vatikan II.[2]

 

  1. Realitas Kontekstual Asia dalam pemikiran Pieris

Dalam membangun teologinya, Pieris memusatkan perhatiannya pada realitas kontekstual Asia dengan membuat batasan yang jelas antara Asia dan negara-negara Ketiga lainnya dari sudut religi dan kebudayaan. Ia menemukan tiga ciri khas Asia yang membedakan dengan lainnya.

  • Bahasa yang beraneka ragam

Menurut Pieris, sekurang-kurangya ada tujuh wilayah bahasa besar di Benua Asia; wilayah bahasa Semitis di pinggir Asia Barat, Wilayah kelompok ural-altais di wilayah pecahan Uni Soviet bagian Asia dan di Asia Barat Laut, kelompok indo-iranis dan dravidis di Asia Selatan, wilayah melayu-polinesia di Asia Tenggara, bahasa Jepang di Asia  Timur, dan wilayah Sino-tibet yang paling luas, membentang dari Asia Tengah sampai Timur Jauh.[3]

Implikasi nyata dari keanekaragaman bahasa bagi teologi menyangkut pemahaman bahasa itu sendiri. Bagi Pieris, agama bukanlah pengalaman dari realitas dan bahasa adalah pengungkapannya; sebaliknya, bahasa merupakan pengalaman realitas dan agama merupakan pengungkapannya. Agama berawal dari bahasa. Oleh karena itu, Pieris dengan berani menduga bahwa bahasa merupakan theologia inchoativa, suatu permulaan teologi. Pieris menegaskan argumentasinya dengan menunjuk realitas mendasar yang diserap oleh suatu kebudayaan setempat di Asia melalui bahasa rakyat dan simbol-simbol mereka sendiri; melalui adat istiadat, upacara-upacara, kidung-kidung dan tarian mitos dan legenda mereka.

“bacalah apa yang telah dihasilkan oleh rakyat biasa Asia selama berabad-abad, bukan hanya tulisan-tulisan canggih semacam Veda dan Upanishad, Tripitaka, Torah atau Tao Te Ching. Pertama, pelajarilah bahasa rakyat. Hadirilah upacara dan ritual rakyat Asia; dengarkanlah nyanyian mereka; bergetarlah dengan irama mereka, ikutilah langkah tarian mereka, nikmatilah syair-syair mereka; tangkaplah mitos-mitos mereka; pahamilah mereka lewat legenda-legenda mereka. Anda akan menemukan, bahwa bahasa yang mereka gunakan menghubungkan mereka dengan kebenaran-kebenaran dasar, di mana setiap agama bergulat dengannya, tetapi masing-masing dengan cara yang berbeda…. Singkatnya, perjuangan demi kemanusiaan yang penuh.”[4]

 

  • Integrasi unsur kosmis dan metakosmis dalam Kereligiusan Asia

Pieris melihat bahwa kerangka institusional agama-agama di Asia terdiri dari dua unsur yang saling melengkapi: agama kosmis yang berfungsi sebagai pondasi atau dasar dan ajaran keselamatan (soteriologi) meta kosmis sebagai bangunan utamanya.

Dengan menyebut istilah agama kosmis, Pieris menunjuk macam-macam agama yang  ditemukan di Afrika, Asia, dan Oceania, dan secara peyoratif dianggap “animisme” oleh para antropolog Barat tertentu. Sejatinya agama kosmis merupakan bentuk sikap psikologis manusia sebagai homo religious yang secara tidak sadar diambil saat berhadapan dengan misteri kehidupan yang berkaitan dengan kekuatan kosmis (panas, api, dingin, angin ribut, gempa bumi dst). Asia mempunyai kekhasannya sendiri. Ciri khas kereligiusan Asia adalah, bahwa agama kosmis tidak tampil dalam bentuk murni dan purba, namun secara praktis telah dijinakkan dan diintegrasikan ke dalam salah satu dari ketiga agama soteriologi meta kosmis yaitu Hinduisme, Budhisme, dan Taoisme.

Agama-agama besar itu disebut “metakosmis” karena ada sesuatu yang lebih dalam agama-agama itu. Agama-agama itu merumuskan soteriologinya dalam pengertian sebuah daya “di seberang” alam semesta yang diterima sebagai yang menyelamatkan dan menebus pribadi manusia, dan membawa manusia pada suatu kebebasan dari ketakutan terhadap kuasa-kuasa tertentu di dunia, baik melalui jalan cinta kasih (agapeic path) maupun melalui jalan pengetahuan yang memerdekakan (gnostic way).[5] Maka, agama-agama soteriologis metakosmis ini tidak pernah ditemukan dalam bentuk teks yang abstrak, namun selalu berbentuk konteks realitas konkret, di dalam pandangan-dunia religi kosmis dari kebudayaan tertentu.[6]

 

  • Banyaknya ajaran mengenai keselamatan (soteriologi) non-Kristiani di Asia

Pieris sadar bahwa Asia adalah sebuah palungan tempat lahirnya semua agama besar di dunia yang memiliki Kitab Suci termasuk Kristen. Sayangnya, Kristianitas mengalami paradoks. Kristianitas lahir di Asia Barat dan dengan segera meninggalkan kawasan itu, untuk tumbuh besar di Barat, selanjutnya berabad-abad kemudian “memaksakan diri” kembali sebagai orang asing pendatang (bahkan ada yang menganggap “pengacau”) yang kurang diterima di Asia. Faktanya, orang-orang Kristen di Asia menjadi minoritas, tidak lebih dari 3% dari seluruh penduduk Asia. Maka Pieris mempertanyakan,” dapatkah agama Kristen yang telah kehilangan rasa Asianya itu berpikir menciptakan suatu teologi Asia?”[7]

Pieris mempunya harapan justru posisinya sebagai minoritas, Gereja mempunyai kesempatan menghadirkan diri secara lebih kreatif dengan berperan serta secara rendah hati dalam pengalaman pembebasan orang-orang bukan Kristen di Asia.

 

  1. Gagasan Pieris mengenai Inkulturasi

Pieris menegaskan bahwa  adalah sebuah kesesatan eklesiologis jika mengatakan bahwa suatu gereja diinkulturasikan di Asia kalau para uskup kulit putih sudah diganti dengan yang berkulit hitam, cokelat, atau kuning (para klerus bumiputera atau pribumi). Inkulturasi bukan soal mengganti bungkus atau mengganti rumus. Inkulturasi adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah dan tidak pernah dihasilkan secara artifisial. Inkulturasi merupakan hasil keterlibatan dengan umat, lebih dari pada target penyadaran suatu program aksi, karena umatlah yang menciptakan kebudayaan.[8] Pieris menyatakan, sebenarnya seluruh masalah inkulturasi di Asia berasal dari bagaimana perutusan dasariah gereja-gereja lokal yang harus menjadi kabar baik bagi kaum miskin di Asia.

Menurut Pieris ada 4 bentuk inkulturasi. Pertama, Model Latin yaitu penjelmaan atau inkarnasi dalam kebudayaan non Kristiani. Kedua, Model Yunani yaitu asimilasi filsafat non-Kristiani. Ketiga, Model Eropa Utara: penyesuaian pada kereligiusan non-Kristiani. Keempat, Model Monastik yakni dengan mengambil bagian dalam spiritualitas non-Kristiani. Pieris menguraikannya sebagai berikut:

  • Model Inkulturasi Greko-Romawi: Tidak cocok untuk Asia

Menurut Pieris, dari keempat model di atas, model Latin dan Model Yunani, paling tidak dapat diterapkan di Asia dewasa ini. Pieris menyebutkan beberapa alasan:

Pertama, teologi agama-agama yang meresapi tradisi Latin –Yunani tidak membantu di Asia, selain tidak sesuai dengan pandangan Konsili Vatikan II. Tradisi Patristik selalu memandang agama lain secara negatif. Dalam penilaian bapa Gereja, hanya kebudayaan Roma dan filsafat Yunani yang pantas diambil oleh Gereja yang telah ditebus oleh Kristus dari cenkeraman “iblis” agama kafir.

Kedua, memisahkan agama dari kebudayaannya (seperti dalam kristianitas Latin) dan agama dari filsafat (seperti dalam Kristianitas Yunani) tidak mungkin dilakukan dalam konteks Asia. Dalam konteks Asia selatan, misalnya, kebudayaan dan agama adalah dua unsur dari soteriologi yang tak terpisahkan, tak terbagi, yang saling bertautan, yaitu sebuah pandangan hidup sekaligus sebuah jalan pembebasan; agama adalah filsafat yang pada dasarnya merupakan sebuah pandangan (vision) religius, dan agama adalah filsafat hidup.  Kata inkulturasi sendiri adalah berakar dari dikotomi budaya dan agama orang-orang Latin. Inkulturasi dipahami sebagai usaha melepaskan agama Kristen dari kebudayaan Eropa dan masuk ke dalam kebudayaan Asia yang dilepaskan agama non Kristiani. Oleh karena itu, Pieris lebih menerima istilah “inreligiusisasi” Gereja dari pada inkulturasi untuk kawasan Asia Selatan. Pieris sadar bahwa istilah ini agak sensitif bagi Gereja Latin.

Ketiga, model Latin-Yunani telah mewariskan kepada Gereja sebuah “teori instrumental” inkulturasi yang begitu saja diterima dalam teologi Barat. Filsafat Yunani dikeluarkan dari konteks religiusnya dan dimanfaatkan untuk agama Kristiani sebagai alat untuk mengungkapkan ajaran yaitu, sebagai ancilla theologiae. Dalam konteks Asia, kebijakan ini kontra produktif, karena inkulturasi semacam ini menyepelekan secara tidak hormat terhadap acuan soteriologis dari simbolisme agama-agama non Kristen dan dengan mudahnya ditafsirkan sebagai bentuk imperialisme tersembunyi. Misalnya di Thailand, orag-orang Budha bereaksi keras melawan Gereja lantaran menganggap Gereja merampas lambang-lambang suci mereka untuk penggunaan Kristiani.[9]

 

  • Model Inkulturasi Eropa Utara: terlambat untuk Asia

Model ketiga yaitu model Eropa Utara pun, menurut Pieris, terlalu lambat untuk diterapkan di Asia. Situasi masyarakat “klan” Eropa Utara pada abad pertengahan nampaknya serupa dengan masyarakat “suku” di Asia, di mana ada pada mereka kebudayaan yang bersifat kosmis yang berlawanan dengan agama-agama metakosmis yang menuntut adanya realitas transfenomenal yang secara imanen bekerja dalam kosmos dan secara soteriologis ada dalam jangkauan manusia entah lewat agape (cinta yang menebus) atau lewat gnosis (pengetahuan yang menebus). Pieris menyebut Kristianitas dan Yudaisme adalah bentuk  agama agapeis, dan bentuk-bentuk monastik Hinduisme, Budhisme, dan Taoisme sebagai agamai gnosis. Pada abad pertengahan, Pieris mengutip Jean Delumeau, baik Gerakan Reformasi dan Kontra Reformasi merupakan pertobatan yang kaku berdasarkan kepercayaan bahwa rakyat petani Eropa Utara abad XVI belum sepenuhnya dipisahkan dari kekafiran non Kristiani.

Hal ini tidak berlaku di Asia. Agama-agama metakosmis lain telah mendahului Kristianitas dan mereka sudah lebih dulu berinkulturasi dengan budaya kosmis Asia. Misalnya, kepercayaan para dewa di Asia Selatan, Konfusianisme dan penghormatan kepada nenek moyang di Vietnam, Korea dan Cina, menjadi lahan subur bagi agama-agama monastik mengakarkan diri. Sejarah menunjukkan bahwa satu agama metakosmis yang sudah diinkulturasikan dalam masyarakat klan Asia tidak dengan mudah dapat dicabut oleh agama metakosmis lainnya kecuali dengan pertobatan massal yang tidak religius atau paksaan.[10]

 

  • Model Monastik: Suatu penafsiran baru Inkulturasi sesuai “Selera” Asia

Bagi Pieris, model keempatlah yang paling memungkinkan dan paling aplikatif untuk diterapkan di Asia, yaitu model monastik. Bagi Pieris, tradisi monastik justru menampakkan tradisi Timur yang secara kreatif diam dalam dunia Barat. Pieris dalam konteks ini menafsirkan Barat dan Timur pertama-tama bukan soal pembagian geografis atau teritorial, tetapi sebagai dua arah manusia yang tidak lengkap tanpa yang satu dengan yang lain dan secara fenomenologis masing-masing tampak dalam idiom agapeis dan gnostik agama biblis dan non biblis. Bahkan, Pieris yakin bahwa dalam ortodoksi Kristiani yang selalu bersifat agapeis, terdapat garis-garis gnostisisme yang sah.

Bagi Pieris, tradisi monastik dapat memperbaiki ketidakseimbangan dalam teologi Kristen yang disebabkan oleh sikap akademisme yang terlalu menekankan pada refleksi intelektual. Pieris menunjuk Thomas Merton sebagai contoh, yang telah merintis usaha mempertajam insting monastik Gereja yang ditumpulkan oleh kelalaian berabad-abad lamanya.

Menurut Pieris para rahib dan rubiah Barat telah belajar bahwa cita-cita (gnosis) untuk fuga mundi harus dilengkapi dengan keterlibatan (agapeis) dengan dunia kaum miskin yang mengantarai kehadiran Kristus di dunia. Maka, penyangkalan Kristiani terhadap kekayaan sejatinya selalu harus dipahami demi kaum miskin, dimana pencarian para rahib akan Allah tidak dapat dipisahkan dari tindakan pelayanan dan kesetiakawanan atau solidaritas terhadap orang miskin. Jika hubungan dua sisi ini, yaitu unsur-unsur spiritualitas gnosis dan agapeis ini dipisahkan bahkan dihilangkan, maka kebobrokan akan terjadi, sehingga cara hidup monastik ini akan menjadi seperti garam yang hambar, tanpa rasa, tak berguna, dan pantas diinjak-injak. Oleh karena itu, Gereja sebenarnya tidak berhak berbicara dengan dunia Asia, jika Gereja tidak belajar dari tradisi monastik Kristianinya sendiri mengenai bahasa gnosis yang dibicarakan oleh monastik non-Kristiani Asia dan mengenai bahasa agape, satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh kaum miskin Asia.

Monastik Asia berbicara tentang penerangan rohani yang mendorong terjadinya pembebasan batin manusia dari rasa ketamakan mereka, namun kaum miskin Asia menjerit untuk emansipasi sosial dari pranata yang menindas.

Kemiskinan sukarela yang dilaksanakan oleh monastik Asia tidak diarahkan secara positif menuju pelepasan manusia dari kemiskinan yang secara struktural dipaksakan pada orang-orang Asia, maka revolusi yang terjadi justru merugikan kehidupan monastik Asia yang bersifat feodal, seperti pertapaan di Tibet dan Mongolia. Dalam pertapaan-pertapaan itu, kemiskinan monastik yang dihidupi secara sukarela itu secara sosial tidak liberatif. Maka inkulturasi yang benar dan sejati bukanlah mewartakan Gereja Asia ke dalam dimensi liberatif kemiskinan sukarela. Bila pengikut Kristus memilih secara sukarela untuk menjadi meski demi Injil, mereka tidak hanya hidup dalam kesetiakawanan dengan rahib dan rubiah Asia dalam usaha pencarian realitas metakosmis, tetapi juga dalam solidaritas mereka dengan kaum miskin di Asia yang mengharapkan tatanan kosmis yang lebih suci dan adil.

Pieris menekankan bahwa Gereja yang berinkulturasi di Asia adalah Gereja yang dibebaskan dari kuasa mamon dan harus terdiri dari kaum miskin; miskin karena pilihan (sukarela) dan miskin karena keadaan (realitas).

 

  1. Dasar Teologi dan Inkulturasi Pieris: Hubungan Kemiskinan dan Religiusitas Asia

Berdasarkan pengalaman studinya dan pengalaman “exposure” dalam masyarakat Sri Lanka selama bertahun-tahun, Pieris menemukan benang merah yang penting dalam membangun teologinya. Menurutnya, teologi Asia harus bergerak di antara dua kutub, yaitu pertama Asia sebagai bagian dari Dunia Ketiga yang identik dengan kemiskinan yang bertumpah ruah (overhelming poverty), dan kedua adalah sifat Asia yang khas yang membedakan dengan Dunia Ketiga lainnya adalah kereligiusan yang majemuk (multifaceted religiousness).[11]

Pieris menegaskan bahwa kemiskinan di Asia tidak dapat direduksi hanya sebagai problem ekonomi semata. Kemiskinan di Asia adalah sebuah situasi yang lahir akibat adanya struktur sosial yang menindas, sehingga mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik. Kekhasan masyarakat Asia yang kedua adalah religiusitas yang beragam. Rasa keagamaan tertanam dalam hati mereka sehingga keseluruhan kehidupan, sikap dan pikirannya sangat diilhami dan diarahkan olehnya. Semua masalah manusia, termasuk pengalaman penderitaan dilihat dari perspektif agama. Mereka berusaha mencari jawaban atas realitas penderitaan yang menimpa mereka.

Pieris melihat usaha-usaha, strategi, dan program ideologis untuk mengatasi kemiskinan di Asia dengan sikap naif terhadap situasi religiusitasnya dan upaya-upaya teologis untuk berjumpa dengan agama-agama di Asia tanpa keprihatinan radikal akan kemiskinannya yang kuat akan berujung pada kegagalan dan kesia-siaan. Kristianitas tidak akan dapat mengatasi kemiskinan dengan tepat, tanpa melakukannya dalam kerangka dialog bersama agama-agama Asia; sebaliknya tidak ada dialog yang otentik dan berdaya guna antara agama-agama itu jika tanpa didasari rasa empati, keprihatinan terhadap orang miskin Asia.

Bagi Pieris, Kristianitas akan mencapai inkulturasi sejati di Asia dan menjadi Asia jika Kristianitas menerima baptisan rangkap: dalam “Yordan Religiusitas Asia” dan pada “Kalvari kemiskinan Asia”. Baptisan yang pertama bertujuan untuk memasuki perjumpaan mendalam dengan religiusitas Asia dan belajar padanya, sementara baptisan kedua adalah pilihan Gereja pada orang miskin dan tertindas di Asia. Inilah tema-tema dasar dalam karya-karya teologis Pieris.

  • Baptisan dalam Yordan religiusitas Asia

Menurut Pieris, ada 4 implikasi eklesiologis bagi gereja-gereja di Asia dari peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (Mrk 1:9-11).

Pertama, Yesus dalam melaksanakan perutusannya tidak memilih gerakan ideologis kaum Zelot, atau puritanisme sekte Esseni, atau bahkan semangat aristokratis Farisi dan Saduki, namun memilih tradisi asketis kenabian Yohanes Pembaptis. Opsi semacam inilah yang harus dibuat gereja di Asia di hadapan religiusitas di Asia.

Kedua, dalam peristiwa itu ada perjumpaan dua arus spiritual antara semangat pengingkaran dunia yang radikal dari Yohanes Pembaptis dengan semangat kesalehan yang sederhania dari pengikutnya yaitu kaum anawim dan kaum miskin yang tertarik oleh gaya hidup dan pewartaannya. Dalam diri Yesus, dua spiritualitas itu juga bertemu Yesus yang mengidentifikasi diri dengan kaum papa miskin datang kepada Yohanes untuk dibaptis dan kemudian Yesus memasuki pengalaman “padang gurun”. Maka, bagi Pieris, gereja-gereja Asia pun harus menjadi titik temu antara spiritualitas metakosmis dari agama-agama monastik dan spiritualitas kosmis dari kereligiusan kaum sederhana di Asia. Dengan demikian, Gereja menjadi tempat tumbuhnya daya-daya liberatif dari kedua tradisi itu yang saling mempengaruhi sehingga dapat mengatasi dimensi keagamaan yang memperbudak.

Ketiga, Sikap perendahan diri yang dibuat Yesus justru menguatkan kewibawaannya sendiri lewat kesaksian “Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan” (Mat 3:17). Gereja-gereja Asia  perlu diinisiasi ke dalam tradisi-tradisi sebelum keristenan. Gereja-gereja di Asia harus dibaptis dalam dua lapis tradisi yang liberatif dari kaum rahib dan kaum kecil yang saleh di Asia serta dengan rendah hati duduk bersimpuh dekat kaki “guru-guru” Asia. Gereja Asia harus tampil sebagai gereja yang belajar (ecclesia discens) bukan sebagai gereja yang mengajar (ecclesia docens).

Keempat, mengenai identitas gereja. Dengan menceburkan diri ke dalam Sungai Yordan, Yesus menegaskan prinsip pengosongan diri. Gereja Asia pun perlu menceburkan diri dalam arus spiritual di antara kaum sederhana dan kemudian keluar dengan sikap dan hidup yang baru. Jadi baptisan itu sendirilah yang memberikan identitas Kristianitas dan sikap Kekristenan baru yang dicari gereja-gereja Asia. Ketakutan akan hilangnya identitas tidak akan terjadi karena kekristenan yang bercorak Asia hanya akan muncul sebagai hasil keterlibatan total kita dalam kehidupan dan anspirasi kaum miskin religius (anawim) Asia.

 

  • Baptisan dalam Kalvari kemiskinan Asia

Sikap diri Yesus di Yordan membawa iplikasi kepada tindakan kenabianNya yang terakhir di Kalvari. Perutusan Yesus adalah perutusan dari kaum miskin dan perutusan untuk orang miskin. Hanya mereka yang miskin secara radikal layak untuk Kerajaan Allah dan hanya mereka yang miskin ditentukan untuk menerimanya. Tidak ada kompromi untuk mengabdikan diri kepada Allah sekaligus kepada Mamon. Yesus menentang mamon karena merupakan saingan Allah (Mat 6: 24), dan menyatakan bahwa Kerajaan Allah yang diwartakanNya bukanlah ditujukan kepada orang kaya (Luk 6:20-26). Bahkan Ia sendiri mengidentifikasikan diriNya terhadap mereka yang miskin, lemah, tersingkir dan tertindas (Mat 25:40). Perutusan ini Ia sempurnakan dalam peristiwa Salib (Luk 23:1-23) yang ditancapkan di Kalvari oleh suatu keagamaan massa yang terkontaminasi uang dan kekuasaan kolonial.

Oleh karena itu, ada kaitan antara peristiwa di Sungai Yordan dan di puncak Kalvari. Jika dalam peristiwa Yordan otoritas kenabian Yesus  dinyatakan Allah sebagai “Anak yang terkasih” pada baptisan di Kalvari ia diproklamasikan sebagai oleh “Anak Allah” bahkan oleh seorang aparat kolonial (Mrk 15:39). Saat perendahan diri melahirkkan suatu peninggian yang menarik semua orang kepada Yesus (Yoh 12:32-33).

 

  1. Inkulturasi dalam Liturgi

Inkulturasi Pieris tidak hanya berhenti pada gagasan teologis, dan praksis dalam hidup bersama agama-agama yang lain. Aloysius Pieris juga mencoba mengembangkan sebuah inkulturasi Liturgi khas Sri Lanka. Aloysius Pieris pernah merintis misa inkulturasi atas permintaan uskup Leo dan menandatanganinya sebagai permittatur ad experimentum  pada bulan Januari 1968. Uskup inilah yang bertanggung jawab penuh atas tata perayaan liturgi yang disusun oleh Pieris, dan tata perayaan liturgi kemudian dikenal sebagai “Pilimatawala experiment”.[12]

Dalam Liturgi ini, perayaan Ekaristi, bacaan-bacaan, mazmur tanggapan sabda, kidung persiapan  persembahan dan lagu komuni diambil dari Tripitaka -Kitab Suci Budha- yang mengambil tema mengenai “Kerajaan Yang Akan Datang”. Pieris melaksanakan eksperimen ini setelah mempelajari Tripitaka dan mengadakan konsultasi dengan para rahib dan sarjana Budhis. Bacaan pertama dan kedua mewartakan penantian kaum Budha akan “Dia Yang Akan Datang” (Buddha Metteyya yaitu Cinta) yang meraja dalam Kerajaan Yang Akan Datang. Bacaan ketiga menampilkan Asoka, sang raja adil, personifikasi dari Dia yang dinantikan itu. Bacaan Injil dari Lukas 7:18-23, tentang  pertanyaan dari mereka yang menantikan datangnya Mesias; “Adakah engkau orang yang dinanti-nantikan ataukah kami harus menantikan seorang yang lain?” ada semacam titik temu antara komunitas Budha yang menantikan Dia Yang Akan Datang (Buddha Metteyya) dengan orang-orang Kristiani yang telah dipanggil untuk menjadi tanda sakramental dari Dia Yang Akan Datang itu[13].

Selain itu, Pieris perhah mendukung komunitas basis, yaitu The Christian Workers Fellowship, sebuah gerakan kaum awam yang mengadakan perayaan “Misa Para Pekerja”, yang menghadirkan para pekerja baik orang beriman maupun tidak beriman. Bagi Pieris, dalam perayaan misa ini, Kristus diwartakan  sebagai Allah yang bekerja dalam diri semua orang yang bekerja dengan membangun  Kerajaan Allah yang damai dan penuh keadilan. Orang yangbertanggung jawab atas lirik lagu dan musik dalam perayaan itu adalah orang Budha.[14]

 

  1. Catatan Kritis Pieris dalam Proses Inkulturasi

Selama proses usahanya berinkulturasi dan berteologi selama bertahun-tahun, Pieris merangkum delapan hal yang ia temukan:[15]

  1. Pieris belajar  bahwa inkulturasi seharusnya tidak membuat orang lain tersiksa.
  2. Pieris sadar bahwa inkulturasi bukanlah soal mengganti Ritus Roma (Latin) dengan Ritus Pribumi. Pembaharuan liturgi yang diamanatkan Konsili Vatikan II adalah sebuah perubahan hidup (change of life) dan bukan perubahan ritus (change of rite).
  3. Pieris menemukan bahwa Ekaristi lebih sebagai sebuah tanda sebagai titik berangkat inkulturasi.
  4. Inkulturasi berawal bukan dengan liturgi Gereja (yaitu perayaan-perayaan sakramental seperti Ekaristi) namun dengan Liturgi Hidup yaitu hidup kita dalam Misteri Paskah yang kita hidupi dalam perjuangan pribadi dan apostolik dalam rangka antisipasi Kerajaan Allah yang hadir di antara kita.
  5. Liturgi hidup mengisyarakatkan sebuah usaha komunitas yang berkumpul  mendengarkan sabda Allah. Liturgi hidup tidak dapat dipisahkan dari Liturgi Sabda.
  6. Inkulturasi adalah sebuah proses alamiah dan tidak dapat dipaksakan. Inkulturasi terlaksana secara spontan dan begitu saja dalam perjuangan kita membawa Kerajaan Allah dalam konteks lokal kita.
  7. Inkulturasi adalah sebuah istilah yang tidak cocok: setiap Gereja menempa identitas eklesial lokalnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah Gereja kita masih “sebuah perluasan dari Gereja lokal Roma” atau sungguh “sebuah Gereja lokal dalam komunio dengan Gereja Roma?”
  8. Inkulturasi, dalam praksis, adalah proses di mana Gereja lokal menjadi pernyataan dalam hidup dan karyanya di hadapan dunia non Kristen, dalam hal ini Gereja menghidupi hidupnya dalam Kristus dan merayakannya secara sakramental dalam idion agama dan budaya dari tetangga-tetangga non-Kristen.

 

  1. Relevansi Gagasan Pieris terhadap Inkulturasi di Indonesia

Setelah melihat analisis dan gagasan Pieris terhadap proses inkulturasi di Asia, penulis mencoba menemukan relevansi gagasan itu terhadap Gereja di Indonesia. Tentu saja kita perlu melihat konteks di Indonesia. Konteks pertama adalah, posisi Gereja Indonesia yang minoritas. Kedua, posisi Gereja Indonesia yang hadir beriringan dengan Imperialisme, sehingga cenderung dianggap sebagai agama penjajah. Ketiga, perjumpaan dengan agama-agama lain. Konteks keempat, gereja hadir dalam situasi masyarakat yang miskin, menderita akibat struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil.

Gagasan Pieris dapat diterapkan di Indonesia tentu dengan penyesuaian, karena konteks di mana Pieris hidup berbeda dengan Indonesia. Gagasan dapat diaplikasikan di Indonesia dalam rangka membangun dialog antar agama dan suku sebagai bagian atau komponen bangsa Indonesia, khususnya dalam membangun dialog demi terwujudnya sebuah bonum commune yang berpihak pada mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan menderita. Gereja tidak boleh tinggal diam menutup mata terhadap situasi disekitarnya dan menyibukkan diri dalam perdebatan “liturgi” intern. Justru Gereja harus menyibukkan diri dalam mewujudkan liturgi kehidupan, yang justru mendapat kekuatannya dari Liturgi Gereja yang dirayakan. Ada kesinambungan antara Liturgi (Sabda) Ekaristi dengan Liturgi yang peduli padah kehidupan semua makluk. Inilah inkulturasi yang sejati sebagaimana telah ditunjukkan oleh Romo Mangunwijaya yang “membawa” Kristus dari altar menuju pelataran (pasar).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Pieris,

1988    An Asian Theology Of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, New York.

1993    “Inculturation: Some Critical Reflections” dalam Vidyajoti Journal of Theological Reflection, Vol. LVII, No. 11.

1996    Fire And water: Basic Issues In Asian Budhism And Christianity, Maryknoll, New York: Orbis Books.

1996    Berteologi dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta.

 

Alexander Hendra Dwi Asmara,

2014    “Multiple Religious Belonging and the New Way of doing Theology” dalam Jurnal Theology Vol 03, No. 02, Yogyakarta.

 

J.S. Hayon,

2006    Inkulturasi Yang Dijalankan Aloysius Pieris Di Sri Lanka, Ledalero, Maumere.

 

Martasudjita, E.,

2015    Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal Catatan kuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti Univeritas Sanata Dharma, Yogyakarta.

 

Vitus Rubianto,

1997    Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan Dalam Teologi Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta.

 

 

 

 

[1] Alexander Hendra Dwi Asmara, “Multiple Religious Belonging and the New Way of doing Theology” dalam Jurnal Theology Vol 03, No. 02, November 2014, Yogyakarta, 157.

[2] Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, Orbis Book Maryknoll, New York 1988, 5.

[3] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta 1997, 33.

[4] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta 1996, 116-117.

[5] Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, 98-99.

[6] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 36.

[7] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 41-42.

[8] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 72.

[9] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 72.

[10] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 99.

[11] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 41-42.

[12] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections” dalam Vidyajoti Journal of Theological Reflection, Vol. LVII, No. 11, November 1993, 641.

[13] Y. S. Hayon, “Inkulturasi Yang Dijalankan Aloysius Pieris Di Sri Lanka”, Ledalero, Maumere 2006, 169.

 

 

[14] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections,” 646.

[15] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections”, 643-644.

GEREJA BERPERAN AKTIF MELAKSANAKAN TUGAS PERUTUSANNYA DI DUNIA, MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT DENGAN MENJADI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

 

 

  1. PENGANTAR

Di tengah maraknya perang yang berkecamuk, akibat serangan Israel di wilayah Jalur Gaza, Paus meniupkan angin segar perdamaian. Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas hari Minggu 8 Juni 2014 ikut bersama Paus Fransiskus di Vatikan dalam acara doa yang belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah.[1] Kehadiran mereka ini, tidak terlepas dari undangan Paus Fransiskus ketika mengunjungi Timur tengah. Peristiwa ini terasa menyejukkan.

Dalam acara doa bersama yang diadakan Paus menyatakan “Para pembuat perdamaian hendaknya punya keberanian, dan menjauhkan peperangan. upaya mencari perdamaian merupakan “tindakan tanggung jawab tertinggi dihadapan hati nurani kita dan di depan rakyat. Ini panggilan untuk memecahkan spiral kebencian dan kekerasan, dan mematahkan dengan satu kata saja: yakni sapaan kata saudara.”

Pernyataan Paus sebagai representasi Gereja Universal ini ingin menunjukkan wajah Gereja yang sesungguhnya, yaitu peduli terhadap situasi dunia ini. Gereja diharapkan lebih berani untuk menampakkan peran rohaninya dalam kenyataan duniawi, dengan menyerukan nilai-nilai kemanusiaan universal, tanpa harus terikat dalam sistem politik tertentu. Mengapa Gereja mampu bersikap demikian?

Paper ini secara singkat mencoba menampilkan hakikat Gereja sesungguhnya dan tugas perutusannya di dunia, khususnya sumbangsihnya bagi masyarakat dunia yang penuh dengan gejolak, pertikaian, konflik, perang, dan kental dengan budaya kekerasan. Penulis mencoba memaknainya secara eksplisit dalam konsep Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian.

 

  1. HAKIKAT GEREJA

Menurut pandangan Bapa-bapa Gereja seperti Ireneus, Leo Agung dan Hieronymus, Peristiwa Pentakosta dianggap sebagai awal lahirnya Gereja. Jemaat yang lahir setelah Pentakosta ini bersekutu membentuk sebuah “communio” dan yang mempersatukan mereka adalah iman akan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit (bdk Kis 2:42-47; 4:32-35; 5:12-16). Jemaat ini berasal dari Roh dan kuasa Tuhan Yesus, dan diutus untuk menjadi saksi wafat dan kebangkitan Kristus Yesus.

Gereja ini mempunyai relasi yang khusus dengan Kristus yaitu Tubuh Kristus. St. Agustinus menyatakan bahwa kepala dan anggota membentuk satu Kritus, bukan karena Kristus tidak lengkap, tetapi karena ia menghendaki membentuk satu kesatuan dengan para pengikutNya. Dengan demikian sejak semula Gereja tidak pernah terpisah dari Kristus. Gelar Kristus hanya bermakna kalau mempunyai relasi yang erat dengan komunitas Kristiani, sebab “tidak ada Gereja tanpa Kristus, tidak ada Kristus tanpa Gereja”.[2] Dokumen Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 1, menyatakan relasi yang kuat antara Gereja dan Kristus sendiri: “Gereja dalam Kristus bagaikan sakramen, yaitu adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. 

Hakekat atau jati diri Gereja itu secara jelas dinyatakan juga dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 204 § 1: “Melalui sakramen Baptis, Kaum beriman Kristiani diinkorporasikan dengan Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Imami, Kenabian, dan Rajawi Kristus.” Hal ini mau menegaskan bahwa pembaptisan merupakan manusia ambil bagian dalam tugas misi Kristus di dunia. Dengan pembaptisan  umat beriman kristiani juga disatukan dengan Kristus didalam tubuhNya yakni Gereja (unsur “communio”). Dalam Persekutuan umat beriman tampak adanya perpaduan unsur manusiawi dan Ilahi.

 

  1. TUGAS PERUTUSAN GEREJA DI DUNIA: MEWARTAKAN INJIL

Perutusan Gereja adalah perutusan Para Rasul yang mereka terima dari Kristus, sebagaimana Kristus diutus oleh Bapa untuk mewartakan kebenaran yang menyelamatkan manusia (LG 17). Sebab seperti Putra diutus oleh Bapa, begitu pula Ia sendiri mengutus para Rasul (bdk. Yoh 20:21).  Gereja menerima perutusan Ilahi yang dipercayakan kepada para Rasul itu untuk mewartakan Kerajaan Kristus serta Misteri Allah, dan untuk menyinari dunia dengan amanat Injil, untuk menyalurkan kasih Allah terhadap semua orang dan segala bangsa, terutama di bidang rohani, dan bukan politik, ekonomi dan sosial (bdk GS. 42). Meski demikian Perutusan Gereja itu berlangsung di tengah dunia, dan harus menanggapi situasi khas dunia zaman sekarang (bdk. LG. 33, 36). Perutusan Gereja itu bersifat keagamaan dan jasmani, dan menyangkut keselamatan rohani maupun jasmani (bdk. GS. 11, 42).[3]

 

  1. MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT
    • Pengertian Bonum Commune

Bonum Commune adalah kata dalam bahasa Latin yang dapat diterjemahkan secara literal sebagai “Kebaikan atau Kesejahteraan Umum”. Kompendium Ajaran Sosial Gereja no. 164 menyatakan bahwa berdasarkan artinya yang utama dan luas diterima, kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”.[4] Pengertian ini berkembang dalam sejarah Gereja yang berakar dalam tradisi teologi politik Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas.[5]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Agustinus

Agustinus dari Hippo mengungkapkan gagasannya tentang bonum commune atau the common good yang tertuang dalam bukunya De Civitate Dei. Buku ini merupakan sebuah jawaban apologetik bagi mereka yang menyalahkan Kristianitas sebagai penyebab kekacauan di kekaisaran Roma pada tahun 410. Agustinus berpendapat bahwa selain perbedaan dalam kebudayaan, bangsa, dan bahasa, perbedaan mendasar dalam diri manusia adalah dua kelompok yang ia sebut sebagai Kota Allah (City of God) dan Kota Duniawi (Eartly City). Menurut Agustinus umat manusia digerakkan oleh apa yang disebutnya “cinta”. Maka kedua kota ini dibentuk oleh dua jenis cinta yang berbeda: cinta pada diri sendiri (yang bahkan dapat mengingkari Allah) dan cinta pada Allah (yang mengingkari diri sendiri).[6]

Kota Allah ini adalah dunia spiritual yang warga negaranya yang berusaha mewujudkan nilai-nilai keutamaan Kristiani. Hanya umat Kristen saja, karena rahmat Allah, dapat sukacita menjadi warga kota Allah ini. Sementara mereka yang lain, yang bukan Kristen, adalah warga kota dunia yang penuh konflik politik[7].  Meski demikian, Agustinus juga menyatakan bahwa para anggota dari kedua kota itu juga ada dalam Gereja yang kelihatan. Pembedaan antara kedua kota itu adalah lebih bersifat eskatologis dari pada politis. Para anggota kedua kota itu bercampur baur dalam apa yang disebut Agustinus sebagai saeculum, bidang realitas temporal di mana unsur-unsur politik itu berada.[8]

Paham bonum commune  dalam pemikiran Agustinus terletak pada dua tesis dasar. Pertama, berangkat dari etika kebaikan (eudamonia) yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para filsuf Yunani. Agustinus menyakini bahwa kebaikan individual tidak akan mungkin terwujud tanpa kebaikan bersama yang datang dari keluarga, negara dan kerajaan. Kedua, karena tiap individu adalah bagian dari negara atau kerajaan, maka seseorang perlu menganggap dengan jujur apa yang baik dirinya sesuai dengan kebaikan bagi orang banyak.[9]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Thomas Aquinas

Gagasan Thomas Aquinas tentang Bonum Commune di pengaruhi oleh aliran Aristotelian. Menurut Aristoteles, ”kebaikan” (bonum) adalah apa yang diinginkan oleh segala makhluk. Dengan dasar inilah Thomas menegaskan bahwa “kebaikan” adalah kodrat semua ciptaan. Kodrat semua makhluk hidup adalah kebaikan yang dicari dengan kebaikan dan cinta kasih, serta bertujuan untuk sampai dan bersatu dengan Allah, sang Kebaikan Tertinggi.

Bonum commune hanya dapat terwujud bila tiap individu yang membentuk satu masyarakat, satu Tubuh itu, berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain dalam kebaikan. dua sumbangan besar Aquinas dalam pemikirannya tentang bonum commune. Pertama, dengan pendasaran bonum commune sebagai hukum kodrat, Thomas Aquinas memberi dasar filosofis-teologis yang kuat untuk kepentingan sosiologis, yaitu: keterlibatan warga negara dalam membangun negaranya. Kedua, cita-cita persatuan dengan Allah – Sumber Kebaikan – sebagai tujuan negara memungkinkan pendasaran moral bagi laku para warga negara.

 

  • Bonum Commune dalam Konsili Vatikan II

Gereja juga menegaskan dirinya dalam hubungannya dengan Negara. Dalam masyarakat majemuk, perlu dipahami secara tepat dan jelas hubungan antara Gereja dan negara. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya, gereja sama sekali tidak dapat dicampur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik manapun. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi manusia. Negara dan Gereja bersifat otonom dan tidak saling tergantung dalam bidangnya masing-masing (LG 76). Gereja hendak menegaskan dirinya sebagai institusi spiritual dan bukan sebagai institusi kekuasaan duniawi.

Pada prinsipnya, Gereja Katolik melarang para Pejabat Hirarki Gereja tidak diperkenankan untuk terlibat dalam politik praktis (bdk.  KHK 1983 kan. 287 § 2). Jelasnya, mereka tidak boleh mencalonkan dan dicalonkan sebagai anggota legislatif atau jabatan publik seperti Bupati, Gubernur, atau Presiden dan wakil presiden. Namun, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.

Menurut Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 74, “Negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya”. Hal ini mau menyatakan bahwa kesejahteraan umum (bonum commune) adalah Hakekat dan Tujuan Negara.

Gereja juga melihat dirinya harus untuk terlibat dalam mewujudkan bonum commune dalam masyarakat. Maka, Gereja memandang perlu untuk menjalin kerjasama dengan Negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum dalam masyarakat. Gereja dan negara dapat secara lebih efektif menunaikan pelayanan ini “demi kesejahteraan umum jika semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat”. Peran gereja ini dijalankan oleh kaum awam. Gereja justru mendorong kaum awam Kristiani untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial terutama dalam bidang-bidang keluarga, kebudayaan, kerja, ekonomi dan politik sesuai dengan kemampuannya. Justru dalam bidang inilah yang menjadi ciri khas kaum awam, yang terlibat dalam urusan keduniawian. Disitulah mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas mereka dengan dijiwai semangat Injil, ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia (LG 31).

 

  1. GEREJA SEBAGAI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

Lantas, bagaimana Gereja ikut serta membangun bonum commune dalam masyarakat? Salah satu hal yang dapat dibuat Gereja adalah menjadi Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Penulis terispirasi dari Konstitusi Kongregasi Imam-imam Hati Kudus no. 7b yang berbicara mengenai Nabi-nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Dalam Konstitusi itu dinyatakan bahwa, “Pater Dehon mengharapkan dari para religiusnya supaya menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian manusia dan dunia dalam Kristus (2Kor 5:18)”.

Tentu saja, panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian harus ditempatkan dalam rangka misi Gereja jaman ini. Saat ini pelaksanaan karya kenabian bukan dengan mewartakan rencana Allah yang diterima secara langsung lewat pewahyuan, melainkan dengan mewartakan sabda Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa yang lampau. Menurut Al. Purwahadiwardaya, untuk menjadi nabi jaman ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu: pertama, sungguh-sungguh memahami rencana dan kehendak Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa lampau. Kedua, memahami rencana dan kehendak Allah bagi dunia pada jaman modern ini, di mana kita saat ini ada dan hidup dalam dinamikanya.[10]

 

  • Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih
    • Nabi dalam Perjanjian Lama

Penggunaan istilah “Nabi” sering muncul dalam dunia Perjanjian Lama. Beberapa istilah tentang Nabi (Prophet) diambil dari prophētēs (Yunani) berarti berbicara di depan, berbicara sebelumnya dan berbicara atas nama seseorang; nabu (Akkadia) berarti memanggil, naba’a (Arab) berarti mewartakan.[11] Nabi adalah perantara antara Allah dan manusia untuk membangun Yudaisme yang ketat. Dengan kata lain, nabi adalah “penyambung lidah” HYWH kepada umat Israel.

Perjanjian Lama menampilkan para nabi dalam konteks kekuasaan raja. Secara khusus masalah yang dihadapi para nabi yakni adanya berbagai bentuk ketidakadilan dalam hal politik, ekonomi dan militer. Tugas para nabi yakni membawa pesan YHWH bagi kesejahteraan seluruh rakyat yang seringkali bertentangan dengan raja yang berkuasa.[12] Keontentikan seorang nabi (nabi sejati) dinilai berdasarkan  kebenaran isi nubuatnya; apakah berasal dari YHWH atau tidak. Mereka menyuarakan perubahan sosial-politik dengan melontarkan kritik terhadap bentuk penindasan dan ketidakadilan yg terjadi atas nama YHWH dan dengan demikian menyatakan bahwa YHWH hadir di dalam kehidupan umat sehari-hari.

 

  • Nabi Cinta Kasih

Paham nabi dalam Konstitusi SCJ agak berbeda. Nabi dalam Konstitusi SCJ bukanlah sekelompok orang tertentu saja, tetapi semua orang diutus untuk meneruskan karya para nabi dan “Sang Nabi” Tuhan Yesus sendiri dengan menjadi Nabi-nabi cinta kasih. Panggilan menjadi nabi Cinta kasih mencakup suatu tindakan untuk menyebarluaskan kasih Allah kepada setiap orang. Panggilan itu berpangkal dari pengalaman akan Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia, dan manusia dipanggil untuk menjadi pelayan cinta kasih sebagai bentuk balasan kasih kepada Allah dan sesama. Kita mencintai sesama kita karena Dia pertama-tama telah mencintai kita (bdk. I Yoh 4:11-19). Dia telah mengasihi kita, dan inilah perintahNya supaya kita saling mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi kita (bdk. Yoh 15:7-17)[13].

Gagasan Konstitusi SCJ ini sejalan dengan apa yang diwartakan oleh Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menegaskan apa tugas Kenabian Gereja Umat Allah yang kudus. Lumen Gentium (LG) 12 menyatakan bahwa “Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentangNya, terutama melalui hidup iman dan cintakasih”. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes 12, menyatakan bahwa Cinta kasih Kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku bangsa, keadaan sosial dan agama, tanpa mengharapkan keuntungan dan ungkapan terima kasih.

Bagaimana peran sebagai nabi cinta kasih itu dapat diwujudkan Gereja? Panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih ini menjadi jelas melalui tindakan dan karya sosial karitatif Gereja.

Kompendium Ajaran sosial Gereja no 5 menegaskan bagaimana cinta kasih itu dilaksanakan: “Cinta kasih menghadap medan kerja yang luas dan Gereja berhasrat untuk memberi andilnya dengan ajaran sosialnya, yang berkenaan dengan seluruh pribadi dan ditujukan kepada semua orang.” Begitu banyak saudara dan saudari yang berkekurangan yang sedang menantikan pertolongan, begitu banyak orang tertindas yang sedang menantikan keadilan, begitu banyak orang menganggur yang sedang menantikan pekerjaan, begitu banyak orang yang sedang menantikan penghargaan. Maka menjadi nabi cinta kasih adalah berani berjuang bersama saudara-saudara yang menderita dan mengembangkan semangat solidaritas.

 

  • Pelayan Pendamaian (2 Kor 5:18)

Tema pendamaian dan panggilan menjadi pelayanan pendamaian muncul karena situasi dunia yang penuh dengan ketidakadilan, dan adanya ketidakharmonisan hubungan antar manusia.

Dalam 2 Kor 5: 18, Paulus menyatakan bahwa Allah melalui perantaraan Kristus telah mendamaikan manusia dengan diriNya, dan kini Allah telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Paulus ingin menyatakan bahwa proses pendamaian yang terjadi antar manusia itu bukanlah melulu usaha manusia semata, tetapi berdasarkan inisiatif Allah. Pendamaian dan upaya-upaya pendamaian dan kerjasama antara bangsa-bangsa merupakan tanda kehadiran Allah yang berkarya dalam setiap hati manusia.

Berpangkal dari kasih Allah yang mendamaikan dunia dengan diriNya melalui darah Kristus, Gereja hendaknya menjadi pelayanan pendamaian. Keterlibatan sebagai pelayan pendamaian dimulai dengan ikut serta merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain, tanpa memnandang identitas. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 1 secara jelas menyatakan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Hal ini berarti bahwa Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari dunia, namun bukan milik dunia ini, dan diutus kepada dunia (bdk. Yoh 17:14-18).

Gereja mesti juga terlibat dalam masalah-masalah dunia, khususnya dalam hal perdamaian. Menurut Konsili, damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula sekadar menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Memajukan perdamaian di tengah dunia adalah bagian terpadu dari misi Gereja melanjutkan karya penebusan Kristus di muka bumi. Sesungguhnya, Gereja adalah, dalam Kristus, “‘sakramen’ atau tanda dan sarana perdamaian di tengah dunia dan bagi dunia”. Gereja mengajarkan bahwa perdamaian yang sejati dimungkinkan hanya melalui pengampunan dan rekonsiliasi. Gereja juga menetapkan adanya Hari Perdamaian Sedunia sebagai saat-saat khusus untuk mendaraskan doa bagi perdamaian dan bagi komitmen untuk membangun sebuah dunia yang damai. Paus Paulus VI meresmikan hari tersebut untuk mempersembahkan pikiran dan tekad tentang Perdamaian sebuah kebaktian khusus pada hari pertama tahun baru.

 

 

 

 

[1] Bdk. http://www.kabar24.com/international/read/20140609/10/220555/paus-fransiskus-minta-presiden-israel-palestina-ciptakan-perdamaian, diakses pada Selasa 30 September 2014.

 

[2] J.-M. R. Tillard, Church of Churches The Ecclesiology of Communion, diterjemahkan dari Église d’églises oleh R. C. De Peaux, The Liturgical Press, Minnesota 1994, 20-22.

[3] R. Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II, Indeks Analitis, Obor, Jakarta, 1993, 685.

[4] Lihat juga dalam Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 26: AAS 58 (1966), 1 046; bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1 905-1912; Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra AAS 53 (1961), 417-421; Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris: AAS 55 (1963), 272-273; Paulus VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens, 46: AAS 63 (1971), 433-435.

 

[5] bdk. Gregory M. Scott, Political Science: Foundations for a Fifth Millenium, Prentice Hall, New Jersey 1997, 33-35

 

[6] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy” dalam The Cambridge Companion to Augustine, Cambridge University Press, 2006, 236-237.

[7] bdk. J.H. Rapar, Filsafat Politik Agustinus, CV Rajawali, Jakarta 1989, 65-67

 

[8] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy”, 237.

[9]  Bdk. Agustinus dari Hippo, Confessiones, III, 8

[10] Al. Purwahadiwardaya, “Menggemakan Suara Nabi Pada Zaman Ini”, dalam Orientasi Baru, Jurnal Filsafat dan Teologi, 22 (2013:1) 32.

[11] Indra Sanjaya, The Prophetic Literature Diktat Kitab Nabi-nabi, pro manuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2008, 9.

[12] The Prophetic Literature, Indra Sanjaya, 15.

[13] Albert Bourgeois, Our Rule of Life, diterjemahkan dari Notre Regle De Vie oleh Guiseppe Manzoni, General Center of Studies, Roma 1987, 543.

WHY PRIEST? IMAM SEBAGAI SATU-SATUNYA PELAYAN SAKRAMEN REKONSILIASI


Pendekatan Historis, Biblis-Teologis, Yuridis dan Pastoral

Pengantar

Dewasa ini, pertanyaan mengenai sakramen Rekonsiliasi, khususnya diantara kaum muda dan terpelajar semakin kritis. Tidak jarang ada orang-orang yang mempertanyakan kegunaan Sakramen rekonsiliasi dan peran imam sebagai satu-satunya pelayan Sakramen Rekonsiliasi. “Mengapa harus mengaku dosa kepada imam? Bukankah yang mengampuni dosa itu hanya Allah? Mengapa kita tidak cukup mengaku dosa kepada Allah langsung? Apa istimewanya seorang imam dibandingkan orang-orang kebanyakan? Bukankah mereka juga manusia biasa?” pertanyaan-pertanyaan demikian adalah sebagian dari pertanyaan yang muncul mengenai Sakramen Rekonsiliasi.

Paper ini mencoba mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penulis mencoba menguraikan gagasan dan argumentasi berdasarkan beberapa pendekatan, sehingga penjelasan itu diharapkan lebih komprehensif. Ada empat pendekatan yang penulis coba uraian, yaitu pendekatan Historis, Biblis-teologis, Yuridis dan Pastoral.

1. Pendekatan Historis

Pelayan Sakramen Imamat dalam Sejarah Gereja

Dalam Gereja Kuno, pengakuan dosa secara privat seperti yang dilakukan sekarang ini belum dikenal. Jemaat-jemaat perdana hanya mengenal pengakuan dosa dan tobat secara terbuka di hadapan umum. Secara umum, perlakuan jemaat perdana terhadap anggota-anggotanya yang berdosa muncul dalam bentuk pelaksanaan kasih persaudaraan (exercitio caritatis fraternae). Perlakuan itu diwujudkan dalam dua bentuk yaitu tindakan pencegahan (forma preventiva), dan tindakan penyembuhan (forma curativa). Tindakan pencegahan berkaitan dengan usaha-usaha pastoral untuk membina, mendukung dan menguatkan para anggota untuk tetap bertahan dalam iman Kristiani dan peri hidup yang baik, berupa doa-doa bersama, nasihat-nasihat dan usaha-usaha untuk menjauhkan diri dari kesempatan bertindak dosa. Tindakan penyembuhan berupa pengucilan dari komunitas jemaat, terutama mereka yang berdosa berat (murtad, membunuh dan berzinah). Tujuan pengucilan adalah menghindari bahaya kontaminasi seluruh jemaat, mengoreksi dan menyelamatkan si pendosa sendiri dan memberi kesempatan kepadanya untuk bertobat dan memperbaiki cara hidupnya.[1]

Tindakan-tindakan jemaat perdana itu terekam dalam surat-surat Paulus. Misalnya, Paulus menasehatkan jemaat untuk tidak bergaul dengan saudara (Kristen) yang berbuat dosa, “Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.” (1Kor 5:11). Paulus juga menegaskan bahwa jemaat Kristen punya otoritas atau kuasa  untuk menjatuhkan hukuman resmi (hanya) kepada para saudara Kristen yang berdosa. “Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat?… Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.” (1Kor 5:12c-13).

Bagaimana tindakan dan sikap Jemaat perdana bagi mereka yang bertobat dan ingin kembali dalam persekutuan jemaat Kristen? Dalam Gereja Perdana, para pendosa mengakukan dosanya secara terbuka kepada uskup, atau -di mana umat terlalu besar- kepada penatua jemaat yang ditunjuk secara khusus untuk itu. Sejauh mana hal itu didengar dan diketahui umat tidak jelas. Selanjutnya pendosa itu mendapat tempat khusus, dan diberi pakaian khusus (misalnya dari kulit kambing) sebagai simbol terpisah dari Kristus. Selama masa tobat dan mati raga, para pendosa tidak boleh ikut ibadat jemaat, khususnya perayaan Ekaristi. Mereka diperlakukan juga seperti calon baptis. Mereka juga diwajibkan untuk berpuasa, berdoa banyak dan memberi sedekah. Pada suatu hari tertentu (biasanya pada hari Kamis Putih) mereka diterima kembali ke pangkuan Gereja.[2]

confession

Dalam proses ini, Intervensi Uskup perlu karena ia menerima kuasa dari Kristus atas nama komunitas umat beriman yaitu Gereja untuk mengampuni dosa. Bahkan Cyprianus menegaskan intervensi Uskup atas nama Gereja merupakan syarat yang penting dan perlu (conditio necessaria) untuk memperoleh pengampunan Ilahi. Cyprianus mengatakan “Orang tidak dapat menerima pengampunan dari Allah sebagai Bapa jika ia tidak memperoleh pengampunan dari Gereja sebagai ibu.”[3]

Pada perkembangan selanjutnya mulai akhir abad VI, Rahib-rahib dari Irlandia dan Skotlandia menyeberang dan hadir sebagai misionaris ke daratan benua Eropa. Mereka membawa tradisi penerimaan tobat dan pengampunan dosa yang baru dan lain sama sekali. Mereka datang bukan hanya berkotbah tentang pertobatan, melainkan mereka membawa serta suatu bentuk pertobatan yang lebih sesuai dengan situasi konkret Kekristenan waktu itu dan yang kita kenal sekarang ini, yaitu pengakuan dosa privat atau pribadi. Orang mengaku dosa secara pribadi dan rahasia di hadapan imam, dan setelah menjalankan denda yang dibebankan kepadanya, ia mendapat pengampunan dosa. Praktek ini segera diterima dengan cepat di kalangan jemaat karena sesuai dengan aspirasi mereka. Mereka malu mengakui dosanya di depan publik sehingga pengakuan dosa pribadi dirasakan lebih baik. Praktek ini menuntut para imam untuk menjadi bapa pengakuan dan pembimbing jiwa-jiwa yang cakap. Para imam ini dibekali buku panduan sehingga dapat menentukan denda sesuai dengan dosa para peniten.

Aneka praktek pengakuan dosa pribadi pada abad VI dan sesudahnya adalah sebatas masalah pastoral dan belum menjadi masalah dogmatis hingga sampai pada Konsili Trente tahun 1545. Masalah pastoral berarti bentuk dan cara sakramen pertobatan dilakukan boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan umat. Pengakuan dosa dapat dilakukan secara publik yang dipimpin oleh Uskup atau secara pribadi di hadapan imam (dan uskup). Ada juga cara lain dari bentuk pertobatan yaitu berziarah ke makam orang-orang kudus atau pellegrinaggio penitenziale.[4]

Pada tahun 1215, Konsili Lateran IV menetapkan: “setiap orang beriman, baik pria maupun wanita, kalau telah menjadi akil-balig, paling sedikit setahun sekali harus mengaku dengan jujur segala dosanya secara privat kepada bapa pengakuan dosanya sendiri, dan sedapat-dapatnya menjalankan denda yang dibebankan kepadanya” (DS 437/812; ND 1608). Inilah ketetapan resmi Gereja yang pertama mengenai sakramen tobat secara pribadi dalam bentuk sebagaimana kita mengenalnya sekarang ini.[5]

Pengakuan dosa secara privat itu kemudian semakin berkembang dan mendapat ketetapan kembali dalam konsili Trente dalam upaya menghadapi tentangan kaum reformis yang menolak sakramen tobat. Konsili Trente kembali menegaskan bahwa pelayan sakramen ini adalah imam dan absolusi yang diberikan oleh seorang imam benar-benar infficax (effective) untuk menghapus dosa, bukan sekedar pernyataan atau deklarasi bahwa dosa sudah diampuni, seperti yang diajarkan kaum reformis (bdk. Kanon 9: DS 1709). Absolusi adalah bentuk sententia (eksekusi atau pelaksanaan) suatu otoritas. Kuasa yang dimiliki oleh uskup dan para imam yang telah mereka terima dari Kristus berkat tahbisan Imamat. Kuasa itu termasuk in ordine iurisdictionis yang berkaitan dengan kekuasaan karena adanya tanggung jawab.[6]

Konsili Vatikan II juga memberi peneguhan mengenai Imam sebagai pelayan sakramen Rekonsiliasi. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa para uskup adalah mengurus dan mengatur tata tertib pertobatan (bdk. LG 26); para imam harus memberikan pelayanan kepada mereka yang bertobat (LG 28); melalui sakramen rekonsiliasi ini, para imam mendamaikan para pendosa dengan Allah dan GerejaNya (PO 5).

2. Pendekatan Biblis Teologis

Dasar Teologis: Hanya Allah yang berkuasa Mengampuni Dosa

Gereja mengajarkan bahwa yang berkuasa mengampuni dosa hanya Allah. Gereja mengafirmasi dan meneruskan gagasan perjanjian Lama yang meyakini bahwa Allah adalah Allah pencemburu (bdk. Kel 20: 5) sekaligus Allah yang bersedia mengampuni. Meskipun Israel berulangkali menyimpang dan melanggar perjanjian yang telah diikatnya dengan Allah sendiri, dan selayaknya untuk dimusnahkan, Allah tetap berbelaskasih dan menampakkan kerahimanNya (bdk. Kel 32: 30-35). Allah menampakkan kesediaanNya untuk mengampuni para pendosa, asal mau mengakukan kesalahannya (Mzm 32: 38); pun Allah tidak menghendaki kebinasaan mereka (Mzm 78:38). Bahkan Allah sendiri yang menyucikan hati mereka dan memenuhi hati mereka yang datang kepadaNya penuh sesal dengan sukacita dan kegembiraan (Mzm 51:10-14, 19).

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: jika Allah yang mengampuni dosa mengapa peniten tidak secara langsung mengaku dosa kepada Allah saja? Mengapa harus mengaku dosa kepada imam? Ini terkait dengan Karya Keselamatan Allah yang memuncak dan mewujud nyata dalam diri Kristus, dan diteruskan oleh Para Rasul dan GerejaNya.

Belas kasihan dan Kerahiman Allah benar-benar nyata dan memuncak dalam kehadiranNya dalam diri Kristus yang berkuasa mengampuni dosa. Dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1441, Gereja mengajarkan bahwa “hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa. Karena Yesus itu Putera Allah, Ia mengatakan tentang diriNya, ‘bahwa Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa’ (Mrk 2:10). Ia melaksanakan kuasa Ilahi itu: ‘dosamu sudah diampuni’ (Mrk 2:5; Luk 7:48)”. Kedatangan Kristus bukan ditujukan kepada orang-orang yang benar, namun justru bagi mereka yang berdosa (Mrk 2:17). Ia mengajar banyak orang supaya bertobat (Luk 5:32) dengan mewahyukan bahwa Allah itu Bapa yang berkehendak mengampuni (Luk 15) dan tidak menginginkan manusia mengalami kebinasaan (Mat 5:32). Bahkan Yesus sendiri mengkonkretkan sabda dan karyaNya mengenai pertobatan dan pengampunan itu dalam seluruh hidup dan tindakanNya, terutama secara lebih jelas dalam peristiwa Salib, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:24). Dalam Katekismus Gereja Katolik 1442, Gereja mengajarkan:

“Kristus menghendaki bahwa Gereja secara keseluruhan dalam doanya, dalam kehidupannya, dan dalam kegiatannya adalah tanda dan alat pengampunan dan perdamaian, yang telah Ia beroleh dengan harga darah-Nya. Namun Ia mempercayakan pelaksanaan kuasa absolusi ini kepada jabatan apostolik. Kepadanya dipercayakan “pelayanan pendamaian” (2 Kor 5:18). Rasul diutus “dalam nama Kristus”; melalui dia Allah sendiri menasihati dan memohon: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah (2 Kor 5:20).”

Kristus Mempercayakan Kuasa “Mengikat” dan “Melepaskan” kepada Gereja

Lantas, kepada siapa kuasa Kristus untuk mengampuni dosa itu diserahkan? Data dari Perjanjian Baru memberi petunjuk bahwa Gereja telah menerima kuasa untuk mengampuni dosa itu dari Kristus. Kristus menghendaki bahwa Gereja dapat menjadi tanda dan sarana pengampunan dan belas kasihan Allah. Yesus Kristus menghendaki adanya praktek pengampunan diantara para muridNya. Yesus berkehendak untuk membuat atau mengadakan suatu tanda pengampunan bagi para murid yang berdosa. Dalam teologi Kristiani yang berkembang selanjutnya, tanda pengampunan itu ditafsirkan sebagai tanda sakramental, yaitu sarana keselamatan yang dengannya Allah mengerjakan atau mewujudkan kehendakNya untuk menyelamatkan manusia.[7]

Kehendak tersebut diwujudkan dengan pendelegasian kuasa untuk “mengikat” dan “melepaskan”. Kepada Petrus, kepala Para Rasul Yesus bersabda, “kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini, akan terlepas di surga” (Mat 16:19). Kuasa itu tentunya juga dipercayakan Kristus kepada para rasul yang lain. Pendelegasian kuasa pengampunan itu pun dipertegas Yesus sebelum Ia naik ke Surga. Yang menarik adalah, pendelegasian kuasa itu bersamaan dengan pencurahan Roh Kudus. “terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jikalau kau menyatakan dosa, orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh:20-23). Perlu dipahami bahwa, para murid yang hanyalah manusia biasa, sebenarnya tidak mampu menerima tanggungjawab sebesar itu menurut ukuran manusia, namun dipercaya Yesus Kristus dan diberi olehNya komunikasi khusus dengan Roh Kudus (pneuma) untuk karya khusus ini. Dalam tradisi biblis, hanya ada dua contoh dimana Allah menghembusi nafasnya kepada manusia; pertama, saat Allah menghembusi manusia untuk memberi manusia jiwa yang hidup saat kisah Penciptaan (bdk. Kejadian 2:7), kedua saat Kristus menghembusi para Rasul, sebelum Ia naik ke surga itu. Hal  ini mau menegaskan betapa pentingnya sakramen rekonsiliasi ini. Dalam Katekismus Gereja Katolik 1445, Gereja menjelaskan makna mengikat dan melepaskan:

“kata-kata mengikat dan melepaskan berarti: siapa pun yang akan kamu kucilkan dari persekutuan, maka Allah pun akan mengucilkannya dari persekutuan dengan diri-Nya; siapa pun yang akan kamu terima kembali dalam persekutuanmu, maka Allah pun akan menerima-Nya kembali dalam persekutuan dengan diri-Nya. Perdamaian dengan Gereja tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dengan Allah.”

Para Rasul tentus saja paham bahwa Yesus Kristus telah memberi tugas untuk melaksanakan kuasa pengampunan itu. Paulus, dalam nama Yesus, melaksanakan kuasa untuk mengikat dan melepaskan dari dosa dan akibat-akibat dosa dalam kasus perilaku jemaat di Korintus. Paulus menyatakan, “sebab barangsiapa yang kamu ampuni kesalahannya, aku mengampuninya juga. Sebab jika aku mengampuni, – seandainya ada yang harus kuampuni-, maka hal itu kubuat oleh karena kamu di hadapan Kristus (2 Kor 2:10). Paulus melanjutkan:

“Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:18-20).

Selanjutnya, kuasa untuk mengikat dan melepaskan ini diyakini Gereja sebagai dasar legitimasi teologis dan yuridis bagi imam untuk mengampuni dosa.

Imam Sebagai Representasi Gereja

Mengapa harus imam? Pertanyaan itu muncul karena adanya pemahaman bahwa keselamatan itu menyangkut hal personal atau pribadi belaka. Padahal, karya keselamatan itu juga menyangkut relasi manusia dengan Allah, serta relasinya dengan komunitas Keselamatan, yakni Gereja (sosial). Dosa tidak hanya menyangkut rusaknya relasi manusia dengan Allah tetapi juga menyangkut relasi dengan Gereja. Dosa menghambat kesatuan dan harmoni Gereja.[8] Gereja adalah Tubuh Kristus; satu anggota tubuh menderita, maka semua anggota tubuh juga ikut menderita (bdk 1Kor 12:26). Dosa itu juga melukai Gereja dan melalui pertobatan, relasi pendosa dan Gereja itu disembuhkan dan dipulihkan. Pemulihan relasi itu terjadi secara nyata dalam sakramen rekonsiliasi di hadapan imam. Istilah Imam tentu saja merujuk pada Uskup dan Para Imam. Imam (sacerdos) terdiri dari Uskup (episcopos) dan para imam sendiri (presbyteros). Melalui sakramen ini, para pendosa tidak hanya didamaikan dengan Allah, tetapi juga dengan GerejaNya. Uskup, sebagai kepala Gereja lokal yang kelihatan, yang sejak dulu kala sudah dipandang sebagai tempat pertama yang mempunya wewenang untuk pelayanan perdamaian; ia mengatur disiplin pertobatan (bdk. LG 26). Rekan kerjanya, para imam, yang ambil bagian dalam imamat Uskup, melaksanakan pelayanan ini sejauh mereka menerima tugas ini dari Uskupnya (atau dari pembesar tarekat) atau dari Paus, sesuai dengan hukum Gereja (Bdk. Katekismus Gereja Katolik 1462).

Imam sebagai pelayan Sakramen rekonsiliasi dalam Gereja adalah Representasi Gereja itu sendiri. Dia adalah pelayan Gereja (RP 6) dan Pelayan Allah sendiri (RP 6,10d), bertindak dalam pribadi Kristus atau persona Christi (RP 6,9). Allah menganugerahkan pengampunan kepada Gereja, melalui pelayan sakramen itu yaitu para imam (Uskup dan Imam).[9] Hal ini bukan berarti mereduksi imam sebagai sekedar “juru bicara” Gereja. Imam adalah pemimpin komunitas. Imam adalah simbol Kristus karena dia adalah pemimpin komunitas yang mempresentasikan Allah dan Tubuh Kristus. “Dalam Gereja, para imam adalah representasi Yesus Kristus- Sang Kepala dan Gembala- dengan penuh kuasa mewartakan SabdaNya, mengulangi kembali karya-karya pengampunanNya, khususnya dalam Sakramen Baptis, Rekonsiliasi dan Ekaristi, yang menunjukkan cintaNya yang total kepada domba penggembalaanNya, yang mengumpulkan mereka dalam satu kawanan dan memimpin mereka pada Bapa melalui Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus”.[10]

Dalam peristiwa pendamaian yang berlangsung dalam sakramen rekonsiliasi, Kristus sendirilah yang sebenarnya bertindak. Ia mengikutsertakan pendosa dalam misteri kematianNya untuk mengikutsertakannya pula dalam misteri kebangkitanNya. Peristiwa pendamaian sakramental ini berlangsung ex opera operato.[11]

Dalam konteks ini, Imam, dalam sakramen Rekonsiliasi sejatinya tidak melepaskan dosa kita dalam arti sesungguhnya; imam hanyalah perantara dari satu-satunya Pengantara, ia diangkat dan diberi wewenang oleh satu-satunya Pengantara keselamatan, yaitu Yesus Kristus. Katekismus Gereja Katolik 1461 mengajarkan:

“Karena Kristus telah mempercayakan pelayanan perdamaian kepada Rasul-rasul-Nya Bdk. Yoh 20:23; 2 Kor 5:18., maka pengganti-penggantinya, para Uskup dan rekan kerja mereka, para imam, terus melaksanakan pelayanan ini. Para Uskup dan imam telah menerima wewenang, berkat Sakramen Tahbisan, untuk mengampuni segala dosa atas nama Bapa dan Putera, dan Roh Kudus”.

Maka demi kelayakan dirinya, para imam diundang untuk menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka. Para imam juga diundang untuk menggunakan kesempatan bagi diri mereka sendiri untuk melaksanakan sakramen ini bagi mereka sendiri, yang adalah jaminan hidup spiritual mereka. Para imam semakin dipersatukan mesra dengan dengan Kristus Sang Penyelamat dan gembala melalui penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima Sakramen Tobat, yang bila disiapkan melalui pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan (Bdk, PO 18).

3. Pendekatan Yuridis

Dasar Yuridis Imam sebagai Pelayan Sakramen Rekonsilisiasi

Pada tahun 1983, Gereja Katolik memberlakukan Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) yang mengatur gerak kehidupan Gereja Katolik, termasuk landasan yuridis mengenai sakramen tobat atau rekonsiliasi. Beberapa kanon secara khusus menyatakan mengenai kedudukan penting para imam sebagai satu-satunya pelayan Sakramen Rekonsiliasi. Kanon 965 menyatakan, “Pelayanan Sakramen Tobat hanyalah imam”. Tentu saja dalam hal ini adalah para imam dan para uskup.

Secara Yuridis, Imam yang kompeten sebagai pelayan Sakramen Rekonsiliasi adalah imam yang mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk memberikan absolusi, baik yang didapat melalui tahbisan, maupun kecakapan yang menjamin kelayakan sebagai seorang konfesor melalui kuasa yang diberikan oleh Uskup.[12] Hal ini diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK )1983 kanon 966 yang menyatakan bahwa demi sahnya absolusi dosa dituntut bahwa , di samping kuasa tahbisan, juga kewenangan melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman yang diberi absolusi. Kewenangan itu dapat dapat dimiliki oleh imam, entah berdasarkan hukum entah berdasarkan pemberian oleh otoritas yang berwewenang sebagaimana dinormakan dalam kanon 969. Kewenangan seorang imam untuk menerima pengakuan dosa dari peniten itu hanya diberikan ketika para imam itu terbukti cakap melalui ujian atau melalui cara lain yang ditentukan oleh yang berwewenang (bdk Kanon 970). Hal ini penting dilakukan demi menjadi kualitas imam dan sakramen rekonsiliasi itu sendiri.

Kewajiban Imam Menjaga Rahasia Pengakuan Dosa Peniten

Seorang imam juga mempunyai kewajiban untuk menjaga rahasia pengakuan Dosa Peniten. Mengenai Kerahasiaan pengakuan dosa sebenarnya sudah muncul sejak Konsili Lateran IV tahun 1215, yang dipertahankan sampai sekarang. Konsili ini menghasilkan keputusan yang mewajibkan para imam secara berat dan ketat untuk merahasiakan apapun yang ia ketahui dari pengakuan dosa yang dilayaninya. Imam yang membocorkan rahasia pengakuan dosa mendapat saksi yang berat dari pemimpin Gereja, yaitu dijebloskan dalam penjara biara tertutup untuk melakukan penitensi seumur hidup.[13]

Kanon 983 § 1 menyatakan secara tegas bahwa kerahasiaan sakramental dari pengakuan dosa peniten tidak dapat diganggu gugat, karena ini tidak dibenarkan imam sebagai seorang konfesor dengan kata-kata atau dengan cara lain atas dasar apapun mengkhianati peniten.

Gereja menindak tegas dan tidak mentolerir para imam yang menyalahgunakan wewenang dan membocorkan rahasia pengakuan dosa para peniten ini. Dalam kanon 1388 § 1, Gereja menegaskan bahwa barangsiapa imam, yang bertindak sebagai bapa pengakuan secara langsung melanggar rahasia sakramental ini, terkena hukum ekskomunikasi secara langsung (latae sententiae) yang direservasi oleh Tahta Suci; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum juga menurut besarnya tindak pidana, misalnya terkena suspensi.

4. Pendekatan Pastoral

Kecakapan Imam sebagai seorang Konfesor

Menurut Kurt Stasiak, OSB., perayaan Sakramen rekonsiliasi adalah saat perjumpaan yang paling berarti, paling pribadi, dan paling dituntut antara seorang imam dan jemaatnya. Menurutnya dalam sakramen ini, seorang imam akan mengenal lebih dekat jemaatnya dan melihat sisi kehidupan yang baik, sekaligus sisi kehidupan yang paling buruk mereka. Ini adalah saat-saat dimana peniten membuka diri mereka yang paling dalam bagi dari segi spiritual, emosional maupun psikologis, yang hanya terungkap pada seorang imam. Oleh karena itu, dalam perayaan ini, seorang peniten butuh didengarkan sungguh-sungguh.[14]

Oleh karena itu, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan seorang imam sebagai seorang konfesor dalam perjumpaan dengan peniten.

Prinsip pertama, seorang imam harus menyadari bahwa sakramen ini adalah perjumpaan antara Kristus, dengan GerejaNya dan dengan PelayanNya. Kadang para peniten datang kepada konfesor dengan perasaan takut sekaligus menaruh kepercayaan. Oleh karena itu, imam harus membantu peniten untuk menyadari bahwa dalam sakramen ini, seorang peniten diundang untuk bertemu dan disentuh oleh Kristus sendiri. Jika seorang peniten sampai pada kesadaran bahwa ini adalah saat perjumpaan dengan Kristus sendiri, maka akan tercipta sebuah dialog yang bijak dan efektif yang membantu buah-buah rohani bagi peniten sendiri. Kurt mengutip kata-kata Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam seruan Apostoliknya  “Reconciliatio et Paenitentia” yang menegaskan bahwa tugas seorang imam adalah memahami kelemahan dan kejatuhan mereka, membantu  peniten membangun kehendak untuk melakukan pembaruan diri, melihat gerakan Roh Kudus dalam hati mereka, memberi pemahaman kepada mereka bahwa Allah sendiri yang dapat menganugerahkan pengampunan, merayakan pendamaian antara peniten dengan Allah sebagaimana digambarkan dalam perumpaan Anak Yang Hilang, mengembalikan kembali para pendosa yang tertebus itu dalam komunitas eklesial bersama saudara-saudara lainnya, dan mengingatkan para peniten secara bersahabat layaknya seorang bapa, “jangan berbuat dosa lagi”.[15]

Prinsip Kedua, seorang imam harus sungguh-sungguh memberi perhatian pada kata-kata para peniten. Menjadi seorang konfesor berarti harus mendengarkan pengakuan para peniten dengan baik. Seorang konfesor harus memberi kesempatan paniten untuk mengungkapan segala apa yang ada dalam pikiran dalam isi hati mereka. Agar dapat menangkap persoalan dengan baik, seorang imam boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai bentuk klarifikasi. Hal ini bukan berarti melanggar privasi dan kebebasan para peniten. Dialog yang terjadi bertujuan untuk menemukan akar permasalahan sesungguhnya, sehingga dapat membantu peniten menyadari sungguh perbuatan yang telah dilakukannya.[16]

Prinsip Ketiga, seorang imam harus menyampaikan “kata-kata Kristus dan GerejaNya” sendiri, kata-kata pengampunan, damai, dan rekonsiliasi. Kata-kata yang disampaikan oleh seorang konfesor kepada umatnya adalah ungkapan belaskasihan Allah yang senantiasa mengampuni mereka yang datang kepadaNya. Kata-kata yang terungkap oleh konfesor hendaknya bukan kata-kata yang menuduh atau menghakimi, tetapi justru meneguhkan dan membangunkan dalam hati para peniten semangat untuk memperbarui diri di hadapan Allah.[17]

Refleksi: Tantangan di Masa Depan

Dari penjelasan mengenai jati diri imam sebagai pelayanan Sakramen Rekonsiliasi dari berbagai pendekatan itu, dapatlah ditarik kesimpulan betapa istimewanya seorang imam. Tidak semua orang diberi rahmat dan karunia sebagaimana yang diterima oleh para imam.

Namun, di masa-masa yang akan datang, tantangan seorang imam sebagi seorang pelayan sakramen rekonsiliasi akan semakin kompleks. Oleh karena itu, kualitas, kapabilitas dan kompetensi seorang imam sebagai seorang konfesor mesti terus menerus diperbarui. Sebagaimana prinsip Gereja yang fenomenal “Ecclesia semper reformanda est”, begitu pula para imam. Dunia semakin membutuhkan imam yang mempunyai segala kapasitas dan kompetensi seorang imam dari berbagai aspek, terutama dalam bidang rohani.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Albertus Sujoko,

2008    Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Al. Purwa Hadiwardaya,

2007    Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Bert van der Heijden,

1985    Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta.

George V. Lobo,

1976    Renewal of The Sacrament of Reconciliation, Sint Paul Publications, Allahabad.

James Dallen,

1974    The Reconciling Community: The Rite of Penance, Pueblo Book  The Liturgical Press, Minnesota.

Kongregasi untuk para Klerus,

2011    The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan.

Kurt Stasiak,

1999    A Confessors’s Handbook, Paulist Press, New York.

Tom Jakobs (ed.),

1987    Rahmat Bagi Manusia Lemah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Dokumen:

Dokumen Konsili Vatikan II

Katekismus Gereja Katolik

Kitab Suci Katolik.

[1] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2008, 37-38.

[2] Tom Jakobs (ed.), Rahmat Bagi Manusia Lemah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1987, 72.

[3] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 47.

[4] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 59-60.

[5] Tom Jakobs (ed.), Rahmat Bagi Manusia Lemah, 71.

[6] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 72.

[7] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 43.

[8] George V. Lobo, Renewal of The Sacrament of Reconciliation, Sint Paul Publications, Allahabad, 1976, 31.

[9] James Dallen, The Reconciling Community: The Rite of Penance, Pueblo Book  The Liturgical Press, Minnesota 1974, 304-305.

[10] Kongregasi untuk para Klerus, The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan 2011, 11.

[11] Bert van der Heijden, Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta 1985, 33.

[12] James Dallen, The Reconciling Community The Rite of Penance, 305.

[13] Al. Purwa Hadiwardaya, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2007, 30.

[14] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, Paulist Press, New York 1999, 1-2.

[15] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 12.

[16] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 14.

[17] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 15.

PEMBAHARUAN HIDUP BAGI TUHAN, PERLUKAH?

Interpretasi kisah Raja Yosia (II Raj 22:1-23:30)

  1. Pengantar

Dalam kehidupan manusia, seringkali ada dinamika kehidupan. Ada masa-masa di mana kehidupan itu menjadi begitu buruk. Kehidupan dan suasana yang demikian memunculkan orang yang peka dan mencoba memberi perhatian pada situasi itu, bahkan menuntut adanya suatu usaha pembaharuan. Gelora reformasi atau pembaharuan hidup atas ketidakmampuan dan berusaha membawa pada kehidupan yang nyaman menjadi yang utama. Sebagai contoh, situasi konkrit yang melanda negeri ini. Perkembangan dan dinamika dalam dunia persepakbolaan Indonesia yang sangat memprihatinkan kalau tidak ingin dikatakan buruk, membuat munculnya tokoh-tokoh yang tidak puas akan suasana demikian. Sebagai implikasi ketidakpuasan, dan keinginan hidup yang lebih baik, mereka menggelorakan pembaharuan hidup atau reformasi.

Namun apa yang terjadi jika reformasi besar-besaran telah dibuat untuk memulihkan kondisi yang carut-marut itu, dengan menghabiskan banyak biaya, namun hasilnya toh nampak tak mengubah apapun. Kisah Yosia mencoba menampilkan situasi semacam ini. Perubahan dan pembaharuan hidup Yosia nampaknya tidak mengubah nasib bangsa. Hukuman TUHAN tetap berjalan, dan nampaknya bertentangan dengan gambaran TUHAN yang selalu setia akan janjiNya mengenai rahmat dan memberi pengampunan bagi yang berbalik kepadaNya. Lantas apa gunanya pembaharuan itu? TUHAN macam apa itu?

  1. Struktur Teks

Untuk memudahkan pedalaman kisah, penulis mencoba membagi perikop dalam sebuah struktur atas dasar lima tindakan yang dibuat Raja Yosia sebagai bagian pembaharuan[1]:

22:1-2                            Pengantar

22:3-11                          Penemuan Kitab Perjanjian

22:12-20                                    Penyelidikan terhadap Kitab Perjanjian

23:1-3                            Perjanjian berdasarkan Kitab

23:4-20                          Pembaharuan berdasarkan Kitab

23:21-25                                    Perayaan Paskah berdasarkan Kitab

23:36-30                                    Kematian Yosia

Dalam setiap bagian ini, Yosia menjadi pusat, dengan masing-masing spesifikasi tindakannya. Sesudah perkenalan siapa Yosia (ayat 22:1-2), bagian berikutnya berpusat pada kitab Hukum sendiri yang ditemukan dalam usaha perbaikan rumah TUHAN di Yerusalem (ayat 3-11) yang menjadi sumber inspirasi pembaharuan. Isi Hukum disingkapkan TUHAN kepada Yosia melalui Nabiah Hulda (ayat 12-20), yang mendorong Yosia membuat perjanjian kembali dengan TUHAN (ayat 33:1-3), melaksanakan reformasi secara radikal (ayat 3-20) dan merayakan Paskah kembali yang telah sekian lama dilupakan (ayat 21-25). Kisah diakhiri dengan kematian Yosia dalam “damai” (26-30).

  1. Ulasan Teks

3.1 Raja Yosia dan Penemuan Kitab Perjanjian (22:1-11)

Dalam Sejarah kerajaan Israel-Yehuda, Yosia merupakan raja yang baik di mata TUHAN. Ia termasuk dalam rentetan raja-raja Yehuda yang mendapat penghargaan tertinggi. Bahkan, tingkah laku dan kehidupannya disamakan seperti Daud bapa leluhurnya, tidak menyimpang dari peraturan TUHAN (ayat 2). Dalam sepanjang kisah raja-raja baik Israel maupun Yehuda, Pemerintahan  Daud menjadi patokan raja yang ideal. Dalam usai muda yaitu delapan tahun, ia sudah dipilih menjadi raja atas Yehuda, menggantikan ayahnya, Amon.

Yosia paham akan situasi kehidupan keagamaan rakyatnya, di mana mereka hidup yang jahat di mata TUHAN. Kedosaan yang telah diperbuat oleh para raja Yehuda terdahulu juga telah melibatkan seluruh bangsa. Situasi yang demikian mendorongnya untuk membaharui kehidupan Yehuda yang telah jauh berpaling dari TUHAN, bahkan memuncak pada pemerintahan kakeknya, Manasye, sebagai raja yang paling buruk dan jahat dalam keagamaan di mata TUHAN (bdk. 2 Raj 21:1-18).

Dari sinilah kisah berawal. Yosia memerintahkan untuk memperbaiki rumah TUHAN di Yerusalem dengan menggunakan uang persembahan yang dikumpulkan oleh rakyat (ayat 4-7). Hal ini dibuatnya pada tahun pemerintahannya yang ke delapan belas. Dalam usahanya untuk membaharui hidup yang dimulai dengan renovasi rumah TUHAN, ditemukanlah sebuah Kitab (ayat 8). Nampaknya kitab ini adalah kitab Hukum perjanjian antara umat dan TUHAN yang isinya sejajar dengan kitab Ul 12-26. Penemuan ini merupakan penemuan yang sangat penting, karena menjadi landasan utama bagi Yosia untuk memperbaharui kehidupan Yehuda secara menyeluruh.

Setelah ia mendengarkan isi kitab yang dibacakan oleh Safan paniteranya, dikoyakkannyalah pakaiannya. Yosia menjadi takut akan masa depan Yehuda, di mana penghakiman TUHAN sudah di ambang pintu. Dalam hal ini ia berhadapan dengan dua realita; di satu sisi Yehuda yang telah tidak taat dan di sisi lain kitab Hukum yang isinya mengutuk ketidaktaatan itu dengan malapetaka.

3.2 Penyelidikan Terhadap Kitab Perjanjian dan Nubuat Nabiah Hulda (22:12-20)

Yosia nampaknya memberi perhatian yang amat penting terhadap kitab yang baru saja ditemukan itu. Setelah didengarnya isi kitab itu, ia berusaha untuk menyelidiki lebih jauh makna yang termaktub dalam kitab itu. Maka ia mengutus beberapa orang untuk menemui seorang Nabiah Hulda, untuk mengetahui nasibnya dan nasib bangsanya (ayat 12-14). Nampaknya besarnya jumlah utusan mengisyaratkan seriusnya situasi saat itu. Hal yang menarik pada bagian ini adalah, Kenabian Hulda. Meskipun ia seorang perempuan, nampaknya tidak mengurangi wibawa dan pengaruhnya sebagai seorang Nabiah, Utusan TUHAN. Karya TUHAN yang ingin dinyatakan lewat nubuat menjadi lebih penting daripada sekedar memandang siapa yang menjadi wakilNya.

Nabiah Hulda bernubuat sesuai dengan Firman TUHAN, yaitu bahwa TUHAN sudah berketetapan untuk menghukum dan menimpakan malapetaka atas Yehuda, seperti apa yang Yosia baca dari kitab itu. Nampaknya ada dua bentuk isi nubuat Hulda. Pertama, adalah kisah panjang kekejian dan kemurtadan yang dibuat para raja Yehuda yang akan melahirkan hukuman (16-17). Tindakan Yehuda yang begitu mudah berpaling kepada allah-allah lain telah melahirkan pelanggaran atas perjanjian yang telah diikat oleh nenek moyang mereka. Tindakan ini melahirkan sakit hati dan Amarah TUHAN, dan sebagai konsekuensi yang ditimbulkan lahirlah Penghukuman TUHAN.

Kedua, nubuat mengenai masa depan Yosia, yang akan selamat dan tidak akan menyaksikan penghukuman (ayat 17-20). Nubuat ini berbanding terbalik dengan isi nubuat sebelumnya yang ditujukan kepada umat Yehuda. Hal ini terjadi, lantaran sikap Yosia yang merendahkan diri dengan sungguh di hadapan TUHAN. Perhatiannya terhadap Kitab perjanjian, penyesalannya yang mendalam dengan mengoyakkan pakaian menandakan kesungguhannya untuk bertobat. Hal inilah yang menyenangkan dan menenangkan hati TUHAN. Pada isi nubuat yang kedua inilah nampak belas kasih TUHAN kepada Yosia.

Pada titik ini muncul pertanyaan, akankah janji-janji (8:19; I Raj 11:36; 15:4) dan kebenaran hidup raja Yosia akan tak berarti berhadapan dengan amarah TUHAN berkaitan dengan penghakiman atas Yehuda? Nampaknya tindakan Yosia sendiri menunjukkan bagaimana masalah ini dapat dipecahkan, meski pembaharuan yang dibuat ini mempunyai kesan semata-mata karena malapetaka penghakiman Tuhan sudah di ambang pintu.

Memang pada kenyataannya Yosia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap rencana hukuman sebagai bentuk murka TUHAN terhadap Yehuda  seperti yang dinubuatkan oleh Hulda. Meski demikian, kebenaran hidup dan iman kepada TUHAN tetap Yosia tunjukkan dengan menanggapi isi kitab Hukum dengan semangat pembaharuan. Hal ini mau menegaskan ketulusan hati Yosia untuk bertobat dan memohon pengampunan. TUHAN menghargai pertobatan Yosia namun tidak akan menghentikan malapetaka bagi Yehuda sebagai bentuk implisitasi kutukan dalam kitab Hukum ini. Pada bagian ini mulai muncul semacam paradoks yang tidak mudah, di mana pertobatan Yosia seakan hanya berguna bagi dirinya, dan tidak mengubah apa-apa dari masa depan Yehuda.

3.3 Respon Pertama Yosia: Perjanjian (23:1-3)

Setelah mendengar nubuat Hulda, Yosia segera meresponnya dengan tindakan konkret. Hal pertama yang ia buat adalah mengadakan perjanjian dengan TUHAN. Atas inisiatif (atau juga perintah yang memaksa), Yosia dan semua orang hadir, yaitu para imam dan para nabi, baik besar maupun kecil, tua-muda, semua golongan rakyat untuk memperbaharui perjanjian antara mereka dengan TUHAN (ayat 23:1-2a). Hadirnya semua kalangan umat ini mau menegaskan betapa seriusnya usaha Yosia untuk menghadirkan pertobatan dalam diri seluruh warga kerajaannya.

Setelah semua jemaat berkumpul Yosia membacakan Kitab Hukum. Yosia bermaksud untuk mengingatkan mereka pada perintah Musa untuk membacakan perintah itu (ayat 2b bdk. Ul 5: 1; 29:1). Selanjutnya, upacara pembaharuan perjanjian diikat antara Yosia yang didukung umatnya dengan Tuhan, di mana umat berjanji untuk hidup seturut kehendak TUHAN dengan segenap hati,jiwa, dan kekuatannya yang melambangkan kesetiaan baru yang dibuat Yehuda kepada TUHAN (ayat 3). Hal ini menandakan betapa seriusnya usaha Yosia untuk berbalik kepada Tuhan.

Relasi perjanjian ini telah menjadi semacam “benchmark” atau tanda betapa tinggi rahmat TUHAN pada umat-Nya. Untuk sementara, kemurkaan TUHAN “tertunda”.  Kata “tertunda” berarti tidak dibatalkan, namun demi kebaikan dan iman Yosia sajalah, kemurkaan TUHAN belum terjadi (bdk. 22: 19). Saat ini, sekurang-kurangnya Yehuda kembali kepada hari-hari lampau yang baik dari pembaharuan perjanjian, hari di mana Yehuda masih murni tak ternoda oleh “perselingkuhan” iman itu.

 3.4 Respon Kedua: Reformasi Radikal Seturut Hukum (23:4-20)

Setelah mengadakan perjanjian, Yosia bergerak cepat. Ia memerintahkan penghancuran besar-besaran. Reformasi radikal kalau tidak mau disebut brutal, mulai bergulir dari dalam Bait Allah di Yerusalem sebagai pusat kehidupan religius yang telah dicemarkan.  Semua berhala yang ada di dalamnya disingkirkan, dihancurkan, dibakar sampai habis oleh imam besar Hizkia (ayat 4-14). Apa yang pertama dibakar selanjutnya dilebur menjadi debu, dan dibawa keluar Yerusalem. Warna dan kredibilitas pembaharuan dipertinggi dengan spesifikasi nama-nama dewa seperti Baal dan Asyera, tempat-tempat dan detail-detail bentuk. Usahanya mengumpulkan para imam dari kota-kota Yehuda menajiskan bukit-bukit pengorbanan dari Geba sampai Bersyeba (ayat 8), merupakan tindakan Yosia yang secara paksa dalam rangka menegakkan isi kitab hukum yang baru ditemukan itu, di mana hanya ada satu tempat untuk beribadah (bdk. Ul 12).

Situasi semacam ini menampakkan betapa memalukan “perselingkuhan” yang telah dibuat umat yang dipilih oleh TUHAN sendiri, lewat para penguasa. Pembaharuan radikal ini ingin mengembalikan keadaan Yehuda khususnya Bait Allah di Yerusalem sebelum pemerintahan Manasye kakeknya, dan raja-raja murtad lainnya (ayat 12) dari keadaan keberhalaan menjadi murni dan suci seperti pada pemerintahan raja Salomo. Pembaharuan ini melebihi batas-batas Yehuda hingga mencapai daerah Israel (15-20).

Yang lebih mengerikan adalah “perbuatan sadistik” Yosia dalam melaksanakan pembaharuan, hingga daerah Betel atau di luar Yehuda. Ia menyembelih semua imam di atas mesbah-mesbah yang didirikan pada bukit-bukit pengorbanan dan membakar tulang-tulang manusia di atasnya (ayat 20). Perlukah hal semacam ini? Apa yang dibuat oleh Yosia ini nampaknya adalah sebuah pemenuhan atas nubuat seorang Abdi Allah yang telah diutus untuk bernubuat pada masa pemerintahan raja Yerobeam. Bagian ini merupakan sebuah flashback kisah nubuat kenabian yang pemenuhannya tiga abad sesudahnya. Abdi Allah ini bernubuat bahwa Yosia akan lahir untuk memulihkan hubungan perjanjian yang telah dinodai oleh tingkah-laku perselingkuhan Yehuda dan Israel pada allah-allah lain dengan menghancurkan Mezbah di Betel dan menyembelih para imamnya (bdk 1 Raj 13:2-3).

3.5 Respon Ketiga: Hari Raya Paskah Dirayakan (23:21-25)

Usaha selanjutnya adalah merayakan Hari raya Paskah sebagai puncak pembaharuan. Sekarang, Pembaharuan Yosia membuat situasi kehidupan keagamaan umat mencapai titik awal seperti pada pemerintahan Yosua, dengan menetapkan kembali perayaan Paskah seturut yang diperintahkan kitab Hukum Perjanjian. Paskah ini tidak dirayakan di dalam rumah-rumah atau dalam komunitas-komunitas lokal tetapi dipusatkan di Yerusalem. Dengan Pembaharuan ini, Yosia ingin mengingatkan bangsa itu untuk kembali ke akar budaya bangsa (bdk. Kel 12; Bil 9; Ul 16; Yos 5), lambang kemahakuasaan TUHAN membebaskan nenek moyang mereka dari perbudakan di Mesir.

Totalitas pembaharuan Yosia sekali lagi sungguh mengagumkan. Tindakan akhir Yosia sebagai kesimpulan tindakannya adalah mengusir para pemanggil arwah dan roh, peramal, juga terafim, berhala-berhala dan segala dewa kejijikan (ayat 24). Tindakan ini menandaskan secara spesifik dan ketegasan pertobatan dari kejahatan yang dibuat Manasye (21:6) dan mengingatkan sumber dari Inspirasi Yosia. Ia ingin memulihkan keadaan Israel dari noda dosa yang berat yang berpuncak pada diri Mansye pendahulunya dan memurnikannya menjadi hubungan yang penuh kasih dan suci bersama TUHAN.

Berkat usahanya ini, Yosia dipandang sebagai raja yang terbaik yang pernah dimiliki oleh Yehuda (ayat 25). Tidak ada raja Yehuda yang seperti Yosia, yang berbalik kepada TUHAN, dengan segenap hati, jiwa dan kekuatannya, sehingga berkat TUHAN menaunginya. Meski perannya tak dapat disejajarkan peran Daud dan Salomo yang diagungkan sebagai raja terbesar Israel yang masih bersatu, namun usahanya untuk memperbaharui kehidupan religius dan Perayaan Paskah, yang tak pernah lagi dirayakan sejak pemerintahan hakim-hakim dan para raja, baik di Israel maupun di Yehuda, menjadi tanda kesetiaannya kepada TUHAN.

3.6 Kematian Yosia (23:26-30)

            Setelah melakukan tindakan-tindakan pembaharuan yang radikal itu pada tahun ke delapan belas pemerintahannya, Yosia melanjutkan pemerintahannya selama tiga puluh satu tahun (bdk. 22:1). Nampaknya TUHAN akan tetap melaksanakan hukuman atas ketidaktaatan Yehuda seperti yang telah dinubuatkan nabiah Hulda (ayat 26-27). Hukuman itu akan ditimpakan secara nyata setelah kematian Yosia.

Yang menarik adalah kematian Yosia. Yosia mati saat  menghadapi Firaun Nekho, raja Mesir, yang akan melawan raja Asyur di tepi sungai Efrat; Firaun membunuhnya di Megido (ayat 29), dan sesudahnya ia digantikan oleh anaknya Yoanas (ayat 30). Dari kisah ini, nampak bahwa kematian Yosia seakan tidak sesuai dengan Janji TUHAN kepadanya seperti yang dinubuatkan Hulda, bahwa ia akan mati dalam damai (bdk. 22:20). Namun tekanan damai di sini adalah kematian heroiknya lantaran penolakannya untuk mendengarkan kata-kata Nekho menurut perintah TUHAN (bdk. 2 Taw 35:22)[2], dan ia berbaring dalam kuburan bersama dengan nenek moyangnya. Ia juga pulang dalam damai karena tidak menyaksikan hukuman TUHAN yang segera menimpa Yehuda. Dengan demikian kisah Yosia berakhir.

  1. Penutup

Dari kisah Pembaharuan Hidup besar-besaran yang dicanangkan Yosia nampak sebuah benang merah. Benang merah itu adalah sebuah Paradoks antara janji-rahmat TUHAN dengan hukuman atas dosa. Yosia digambarkan hidup dalam paradoks ini.[3] Ketegangan yang tak dapat terpecahkan antar janji rahmat (berkat) TUHAN dan hukuman (kutuk) yang sangat layak diterima oleh Yehuda adalah ketegangan yang mendasari seluruh kisah Raja-raja, dan melalui kisah ini mencapai puncaknya.

Gagasan bahwa Yosia adalah raja terbaik Yehuda berhadapan dengan fakta TUHAN yang akan menghancurkan Yehuda. Rumusan teologis murni yang menegaskan bahwa kebenaran membawa kesuksesan yang pasti dan pertobatan membawa pengampunan hampir diabaikan. Janji rahmat TUHAN kepada Daud dan Yerusalem (23:27) menjadi tertunda. Pemberian sesuatu yang baik dari Allah dalam Perjanjian malah ditransformasikan menjadi sebuah warta penghukuman menakutkan yang ditujukan kepada Yehuda.

Kisah mengenai Yosia ini tidak ingin menampilkan atau mengajukan jawaban teoritis yang tinggi atau muluk-muluk untuk menanggapi paradoks teologis yang ada di dalamnya, namun tindakan konkret Yosia sendiri telah menegaskan sebagai satu-satunya solusi yang praktis dan tepat. Yosia hidup dengan iman yang penuh taat dan setia pada TUHAN, tanpa mengharapkan adanya imbalan yang setimpal. Perkataan Nabiah Hulda memang telah meniadakan masa depan yang cerah bagi umat Yehuda. Di sisi lain, Yosia pun tak mampu bernuat apa-apa menyangkut rencana murka Allah yang akan segera datang. Namun, dengan kebenaran dan iman yang penuh Yosia tetap menanggapi hukum Perjanjian itu dengan melaksanakan reformasi dengan semangat yang menyala. Dari sini nampaklah bahwa Iman yang sejati mengatasi kehendak dan hasrat untuk sekedar memperoleh imbalan yang setimpal dari TUHAN.

Hubungan atau relasi perjanjian dengan TUHAN dalam Kitab Suci bukanlah sebuah hubungan perdagangan yang bersifat komersial, atau suatu transaksi religius, di mana di dalamnya ada harapan untuk mendapat keuntungan pribadi. Hubungan atau relasi ini lebih  menyangkut soal kesetiaan dan kepercayaan, terlepas dari adanya hasrat untuk mengharapkan sesuatu sebagai balasan atau adanya ketakutan atas ancaman penghukuman dari TUHAN. Dalam hal ini Yosia menjadi salah satu contoh terbaik dalam Perjanjian Lama, di mana tidak hanya takut akan TUHAN, dan selanjutnya taat kepada-Nya, namun Yosia lebih terdorong oleh hasrat untuk mencintai TUHAN dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budinya (bdk. Ul 6:5; 2 Raj 23:25). Kisah ini mau menegaskan setiap orang untuk tetap bertahan dalam iman dan taat pada Hukum TUHAN dengan segenap hati pula, meski  kita melihat seakan tidak ada harapan lagi untuk mendapat imbalan.

Bagaimanapun, Kisah ini tidak ingin menampilkan TUHAN yang ingkar janji atau hanya mencintai satu orang saja yaitu Yosia, namun tetap nampak TUHAN yang berbelas kasih. Ia berulangkali menawarkan kasih dan berkatnya, dan berulangkali memaafkan umat-Nya namun kedegilan manusia yang selalu jatuh dalam dosalah yang menghambat rahmat itu bekerja.

Pertanyaan refleksi adalah: akankah kita bereaksi atas sebuah paradoks antara berkat dan kutuk dari TUHAN dengan ketidakberdayaan dan putus asa atau menanggapinya dengan penuh cinta dan kehendak untuk selalu memperbaharui hidup?

DAFTAR PUSTAKA

Barth, Christop,

1982      Theologia Perjanjian Lama 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Cogan, Mordechai dan Hayim Tadmor,

1988      The Anchor Bible: II Kings a New Translation, Doubleday & Company, Inc., USA.

Guthrie, Donald dkk.,

1976      Tafsiran Alkitab Masa Kini 1: Kejadian- Ester, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Nelson, Richard,

1987      Interpretation First and Second Kings, John Knox Press, Louisville.

[1] Pembagian struktur berdasarkan Richard Nelson, Interpretation First and Second Kings, John Knox Press, Louisville 1987, 254

[2] Mordechai Cogan dan Hayim Tadmor, The Anchor Bible: II Kings a New Translation, Doubleday & Company, Inc., USA 1988, 302.

[3] Richard Nelson, Interpretation First and Second Kings, 258

IMAN DAN PRAKSIS KRISTEN DALAM BUDAYA KONSUMEN

Dalam buku Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a Consumer Culture karya Vincent J. Miller

Vincent J. Miller:  ini bukanlah buku tentang perlawanan agama terhadap budaya konsumtif, namun adalah buku tentang nasib agama dalam budaya konsumtif. problematik Konsumerisme bukan soal konsumsi barang-barang, tetapi soal cara kita memperlakukan sesuatu, termasuk agama, sebagai obyek konsumsi.

Masalah tidak terletak pada level kepercayaan (beliefs), namun pada level praksis (practices). Masalahnya terletak pada cara dimana struktur dan praksis  dari budaya konsumen “menjinakkan” kepercayaan dan praksis religius.

Consumer Culture adalah Menunjuk pada praksis-praksis ekonomi sosial dan budaya yang dihubungkan dengan manufaktur, marketing, penjualan, dan belanja komoditas. Consumer Culture mulai antara akhir abad XIX dan awal abad XX, segera setelah revolusi Industri mulai pada abad XIX. Situasi ini mengubah tatanan masyarakat secara dramatis, baik secara ekonomi maupun budaya. Tokoh yang berpengaruh: Karl Marx (1818-1883), seorang Filsuf Jerman, Sejarawan, Ahli ekonomi, sosiolog sekaligus jurnalis, berperan penting dalam terbentuknya teori “Budaya Konsumen”.

Orang dulu menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, namun pada era ini orang-orang mulai “berhasrat” pada komoditas-komoditas pada level Connotative. Kebangkitan aestheticization”  meningkat ketika “Brands” mulai memainkan peran dalam menentukan tipe gaya hidup seseorang berdasarkan barang dan jasa yang mereka gunakan. Aestheticization” adalah Sebuah Proses di mana barang-barang konsumen ditumpangi dengan makna dan nilai tambahan. Misal: nilai guna Pakaian pada dasarnya adalah untuk menutupi tubuh. Kini nilai gunanya bertambah yaitu menjadi penentu kelas sosial atau mengikuti perkembangan mode.

“Cultural consumption” mulai lebih menonjol, ketika produk-produk dan pelayanan jasa menolong orang mendefinisikan dari kelas sosial apa mereka berasal. Konsumsi barang terutama untuk menunjukkan kekayaan ekspresif dan simbolik.  Misalnya, Makan di Western Restaurant  dianggap lebih berkelas dari pada angkringan. “Cultural consumption” adalah Budaya “Konsumen” (Consumer “Culture”) bukan semata sebuah seperangkat ideologis tertentu.

Budaya konsumen terutama mengenai tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan (seperangkat kebiasaan-kebiasaan penafsiran dan praksis) yang membuat “content” kepercayaan dan nilai-nilai menjadi kurang penting.

Masalah utama budaya konsumen itu bukan semata materialisme egoisme, dan semangat narsisisme konsumen, namun struktur-struktur yang membingungkan dan menyesatkan pencarian niat-niat baik orang untuk melakukan hal-hal yang baik seperti rasa solidaritas terhadap liyan, transformasi spiritual dan praksis keyakinan religius mereka secara sungguh-sungguh.

Kata kunci adalah comodification yaitu Transformasi barang dan jasa (ide-ide juga)menjadi komoditas. Berasal dari gagasan Karl Marx.

Miller berpendapat bahwa budaya konsumen tidak sekedar jalan hidup yang mempengaruhi barang fisik yang kita beli. Budaya ini telah mempengaruhi semua medan hidup kita, termasuk pendekatan kita dan praksis agama kita. Budaya ini mereduksi semua hal-hal religius (kepercayaan, nilai-nilai, dan simbol) sebagai obyek semata bagi konsumsi dari pada sebagai sistem nilai yang memberi bimbingan dan pemaknaan hidup.

Miller mengindentifikasi dua hasil spesifik dari komodifikasi agama: abstraksi dan fragmentasi. Ia menggunakan contoh wajah Muder Teresa yang dicetak pada kaos oleh anak-anak Amerika. Sosok Muder Teresa telah tercerabut dari realitas konkret hidupnya, gaya hidup yang religius dengan tradisi katoliknya, dan menjadi semacam komoditas belaka.

Singkatnya, material-material religius, telah dilemparkan ke pasar kultural, dimana hal itu dapat direngkuh dengan penuh antusias, namun namun tak meletakkanya pada praksis.

Contoh lain adalah perayaan Natal. Perayaan kelahiran Yesus, yang menghidupi hidup sederhana bersama orang-orang marginal dan mati layaknya kematian seorang kriminal, dikontraskan dengan budaya Barat yang mentransformasikannya menjadi sebuah pesta pora, minum-minum memabukkan dan menuruti hal-hal yang tak berharga.

Miller memandang ada kemiripan sekaligus perbedaan antara budaya konsumen dan agama. Persamaan adalah keduanya sama-sama berakar dari mengolah, mempromosikan dan meneruskan hasrat (desire). Namun perbedaannya adalah mengenai pemaknaan Hasrat.  Hasrat dalam Christianitas mengenai sebuah kekosongan dimana orang pemenuhan dalam Allah dan sesama sedangkan hasrat budaya konsumen  ialah mengenai diri, mengenai berimaginasi dan berusaha mewujudkannya, dan hasrat itu tak pernah berhenti atau terpuaskan.

Miller percaya bahwa ada dua kelompok dalam agama Kristen yang dapat melawan budaya konsumen. Pertama, religiusitas populer yang telah berakar di tengah massa, termasuk mereka yang tertindas. Ini sangat luas dan konkret dalam hidup harian, dimana para pengikutnya mengadaptasi dan menerapkan  doktrin dan simbol dalam hidp konkret dan memberinya makna. Agama seharusnya tidak terbatas pada bidang spiritualitas belaka, namun berurat berakar pada politik, masyarakat, ekonomi, lingkungan dan sebagainya. Ini tidak mudah, dan membutuhkan proses yang terus menerus, dengan keteladanan Yesus dan karyaNya di bumi. Oleh karena itu, membaca Injil menjadi langkah awal.

Kelompok kedua, para pemimpin gereja dan teolog. Mereka mesti membawa  tradisi Kristiani kepada massa melalui penafsiran, penajaman, dan panduan teologi dan bagaimana iman itu dipraktekkan. Namun, mereka juga perlu menggunakan studi yang mereka dapatkan dari agama populer dan yang hidup, sehingga mampu membangun respon yang kreatif. Kristianitas harus menjadi lebih reflektif, sebagai the ‘Abrahamic wanderings’ of Christians. Ini mengenai menanggapi sebuah panggilan untuk bergerak dan melewati batas-batas sesuai dengan konteks.

teolog (Orlando Espin & Sixto Garcia) memandang bahwa religiusitas populer dan refleksi teologis elit adalah dua komponen esensial dari katolisitas Gereja. Sensus fidelium: sensibilitas religius populer/ Intuisi orang beriman.

Popular Religion

Kata populer sering dianggap berkonotasi negatif. Berabad-abad dianggap percampuran antara iman dan budaya pagan. Konferensi Para Uskup Amerika Latin di Midellin (1968) memandang agama populer secara negatif, yaitu sebuah manifestasi “semi-pagan” dari budaya kafir, meski juga mempertimbangkan adanya “rasa religius yang otentik”. Ad Gentes : “benih-benih Sabda”. Evangelii Nuntiandi: Evangelisasi budaya-budaya

Tanggapan Kristianitas

Pertama, untuk melawan kelemahan pada level komitmen,Pemimpin Gereja harusnya menekankan pentingnya tadisi iman. Kedua, Gereja harusnya terbuka, melalui dialog yang dibentuk antara hirarki dan umat, sehingga dapat membangun pendekatan Kristiani secara lebih holistik dalam menghadapi konsumerisme. Ketiga, membangun komunikasi baru secara umum antara Gereja dan kaum awam.  Keduanya dapat saling berbagi bersama dalam komunitas, yang merefleksikannya dalam hidup konkret dan tradisi Gereja.

Nilai-nilai baru komunitas dan tradisi akan menggantikan individualistik dan berorientasi pada diri akibat konsumerisme. Miller telah menunjukkan bahwa ada cara-cara nyata dimana kita dapat bekerja dengan budaya, membangun gereja yang membagikan makna hidup dalam spiritual, politik, ekonomi, dan dengan pendekatan yang holistik.

MENGGALI GAGASAN TEOLOGI MINJUNG DALAM BUKU MINJUNG THEOLOGY PEOPLE AS THE SUBJECTS OF HISTORY

 

  1. Pengantar

Konsili Vatikan II telah membuka suasana baru dalam berteologi. Teologi yang sifatnya kontekstual menjadi semacam kebutuhan Gereja dewasa ini. Bahkan para teolog menyatakan bahwa saat ini tidak ada “teologi” – semacam ungkapan “iman yang mencari pemahaman” dengan “satu ukuran yang cocok untuk semua”, yang berlaku secara universal dan dapat diterapkan secara universal juga. Sebaliknya, satu-satunya teologi yang ada adalah “teologi kontekstual” yang mencari pemahaman iman dalam situasi, tempat waktu dan budayanya sendiri.[1] Teologi ini selalu menempatkan pengalaman iman masa lalu para leluhur kita dalam  iman sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci dan Tradisi sekaligus mengaktualisasikan pengalaman mereka sehingga kesaksian Kitab Suci dan Tradisi tetap hidup dan relevan bagi semua bangsa. Bevans juga menambahkan bahwa teologi dewasa ini tidak memerlukan lagi sebuah Summa Theologiae atau sebuah Church Dogmatics yang mungkin mengklaim berlaku dalam segala situasi manusia di dunia dewasa ini. Sebaliknya, apa yang Gereja butuhkan ialah mekarnya aneka teologi di setiap penjuru dunia, di setiap situasi historis di antara setiap kelompok sosial.[2]

Teologi Minjung adalah salah satu teologi kontekstual yang berusaha merefleksikan iman Kristiani dalam konteks Korea. Salah satu referensi tentang teologi minjung adalah buku Minjung Theology People as the Subjects of History. Dalam Buku Minjung Theology People as the Subjects of History, para teolog minjung memaparkan bagaimana pengalaman kaum minjung di Korea menjadi langkah pertama dalam berteologi, dan selanjutnya mengkaitkannya dengan teks Kitab Suci.

 

 

  1. Latar Belakang Buku Minjung Theology People as the Subjects of History

 

Penulisan buku Minjung Theology People as the Subjects of History ini tidak dapat dilepaskan dari sebuah pertemuan konsultasi teologis pertama yang digagas oleh Theological Commission of National Council of Churches in Korea di Seoul tanggal 22-24 Oktober 1979. Buku ini adalah sebuah dokumentasi hasil pertemuan konsultasi teologi ini.

Pertemuan ini dihadiri oleh tujuh belas orang dari beberapa negara di Asia ini dan mengusung tema umum “The People of God and the Mission of the Church”. Menurut kesaksian Suh Kwang-sun David, tema ini sebenarnya hanya cover name atau bukan tema sesungguhnya agar pertemuan ini tidak menarik banyak perhatian pemerintah atau para penguasa diktator yang akan mengawasi ketat khususnya para partisipan lokal atau orang-orang Korea.

Kata “People of God” diangkat karena merupakan jargon Gereja Korea, sedangkan “mission” bagi para penguasa hanyalah sebuah rumusan yang tidak berbahaya (cliché). Sebenarnya, tema konsultasi teologis itu adalah “minjung” dan perkembangan teologis dewasa ini di Korea dari kategori minjung. Namun penggunaan istilah minjung nampak disamarkan karena kata minjung sendiri adalah sebuah kata yang berbahaya.

 

  1. Pengertian Minjung

Minjung adalah kosakata bahasa Korea tetapi berakar dari bahasa Cina. Menurut Suh Kwang-sun David, minjung merupakan sebuah kata hasil kombinasi dari dua karakter Cina: min (民) dan jung (衆). Min dapat diterjemahkan sebagai “orang-orang atau rakyat” dan jung sebagai “massa”. Oleh karena itu, “Minjung” berarti massa rakyat, massa, atau cukup rakyat saja.[3]

Minjung adalah sebuah kata yang tumbuh dari pengalaman-pengalaman orang-orang Kristen Korea dalam perjuangan politis demi keadilan selama bertahun-tahun. “…Teologi minjung adalah sebuah akumulasi dan artikulasi dari refleksi teologis atas pengalaman-pengalaman para pelajar, kaum buruh, para pekerja media, profesor, petani, para penulis, dan kaum intelektual Kristen sama baiknya dengan para teolog di Korea selama dekade 1970an.”[4] Teologi ini adalah hasil refleksi murid-murid Kristus dalam penderitaan penjara, yang nampak dalam surat-surat mereka dari dalam penjara untuk keluarga dan para sahabat mereka. Wan San Han mengidentifikasikan minjung sebagai orang-orang yang tersingkir secara politis, dieksploitasi secara ekonomis, dialienasikan atau diasingkan secara sosiologis, dan yang dihilangkan secara akademis.[5]

 

  1. Sumber-Sumber Teologi Minjung

Menurut Bevans, Konsili Vatikan II memberi nasihat bahwa Kitab Suci harus menjiwai seluruh teologi (OT 16) sehingga gerak pertama dalam penyelidikan positif historis harus berupa penelitian atas Kitab Suci. Setelah menyelidiki Kitab Suci seorang teolog positif historis mempelajari berbagai karya teolog dari awal Gereja atau tradisi Bapa-bapa Gereja dan Magisterium.[6]

Teologi minjung mempunyai metode yang berbeda. Meskipun teologi minjung tidak melepaskan Kitab Suci sebagai sumber teologinya, namun bukan pada gerak pertama dalam berteologi. Teologi minjung justru menempatkan pengalaman manusia sebagai titik tolak refleksi. Refleksi atas pengalaman penderitaan rakyat Korea yang terungkap dalam bahasa-bahasa mereka yang khas yaitu bahasa han dan seni pertunjukan tari topeng, dan memadukannya dengan refleksi biblis, melahirkan sebuah teologi minjung. Tugas hermeneutis dasar teologi minjung bukanlah menafsirkan teks-teks Kitab Suci dalam terang situasi dan konteks Korea, tetapi menafsirkan pengalaman penderitaan kaum minjung Korea dalam terang teks Kitab Suci. Ini bukan berarti bahwa minjung lebih penting dari Kitab Suci, namun hanya mau menegaskan bahwa minjung adalah titik awal dari sebuah hermeneutika biblis.[7]

Sumber teologi minjung bertitik tolak dari pengalaman penderitaan, kemudian pengalaman itu direfleksikan dalam terang Kitab Suci, dan membentuk sebuah teologi melalui  perjumpaan dengan tradisi lokal khususnya berkaitan dengan gerakan-gerakan mesianik lokal. Akhirnya teologi ini mendorong berkembangnya teologi yang mengusung tema gerakan pembebasan.

4.1 Pengalaman Penderitaan sebagai Dasar Teologi Minjung

Teologi minjung merupakan sebuah hasil refleksi kaum tertindas di Korea atas pengalaman penderitaan mereka dalam terang iman Kristiani. Para teolog tidak melepaskan begitu saja pengalaman konkret mereka dengan akar dan tradisi leluhur mereka yang telah terbangun selama berabad-abad, sekaligus memadukannya dengan nilai-nilai pembebasan Kristiani. Dalam konteks ini, realitas minjung menjadi penting. Pada bagian ini, tulisan-tulisan yang ada mencoba menguraikan secara singkat mengenai realitas minjung dalam kehidupan rakyat Korea.

 

4.1.1 Realitas Han Kaum Minjung

Dalam makalahnya yang berjudul “Toward a Theology Han”, Suh menjelaskan bahwa bahwa inti dari teologi minjung adalah refleksi atas perasaan han kaum minjung Korea. Secara etimologis, han adalah sebuah istilah psikologis. Han adalah sebuah kata yang menunjukkan perasaan menderita dari seseorang yang tertekan baik oleh dirinya sendiri maupun penindasan dari orang lain. Perasaan penderitaan dan penindasan yang tanpa harapan sama sekali semacam ini ada dalam hati setiap orang Korea yang tertindas.[8]

Suh Nam-dong merujuk dua peristiwa untuk menjelaskan realita han agar gambaran mengenai pengertian han dapat dipahami secara tepat oleh para peserta konsultasi non-Korea sama seperti yang dirasakan bangsa Korea. Suh menggunakan dua buah peristiwa aktual pada saat itu yaitu kematian nona Kim dan peristiwa Bruder Oh Won-choon.

Kim Kyong-suk atau nona Kim, gadis berusia 21 tahun, adalah seorang anggota komisi eksekutif Persatuan Buruh T.H Company (T.H Trade Union), sebuah  perusahaan yang memproduksi rambut palsu atau wig. Ia mati tertembak ketika 200 buruh wanita perusahaan itu mengelar aksi demostrasi di depan gedung Partai Demokratis Baru (New Democratic Party) pada tanggal 9 Agustus 1979. Mereka menuntut partai penguasa ini mengeluarkan sebuah solusi yang adil menyangkut upah mereka yang tidak dibayarkan oleh pihak perusahaan.

Peristiwa kedua adalah Bruder Oh Won-chun, anggota Dewan Federasi Keuskupan Andong dari Asosiasi para Petani Katolik (the Andong Diocese Federation of Catholic Farmers’ Association). Dia seorang aktivis gerakan perjuangan hak-hak kaum petani, khususnya dalam kampanye menuntut ganti rugi penghancuran lahan pertanian kentang manis. Pada tanggal 5 Mei 1979 dia ditangkap oleh “oknum penguasa”. Ketika berapa imam berhasil menemukan Br. Oh dalam tahanan isolasi, kondisinya amat memprihatinkan. Br. Oh tidak mampu menceritakan situasi yang sesungguhnya. Beberapa orang yakin bahwa selama dalam tahanan, Br. Oh mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan paksaan untuk tidak meneruskan perjuangannya.

Suh Nam Dong menegaskan bahwa dua peristiwa itu merupakan salah satu bentuk han para buruh dan petani Korea. Ia melihat bahwa dari dua peristiwa itu tampak adanya struktur politik dan ekonomi Korea yang menindas dan melahirkan han dalam diri delapan juta buruh waktu itu. Karena itu dapat dikatakan bahwa han adalah perasaan umum dari rakyat Korea yang tidak berdaya. Ini adalah akumulasi pengalaman penindasan yang tertekan dan dipadatkan, yang diwariskan dan diteruskan yang mendidih dalam darah kaum minjung.

Han adalah sebuah perasaan mendalam yang bangkit dari minjung yang tertindas dan menderita. Di satu sisi, han adalah perasaan dominan tentang kekalahan, kemunduran, dan ketiadaan yang dapat disublimasikan dalam bentuk eskpresi-ekspresi artistik yang hebat. Syair-syair kuno Korea, Pansori dan tari topeng (T’alchum), merupakan bentuk sublimasi artisitik dari han yang lemah dan frustasi itu. Namun, di sisi lain, han adalah perasaan kegigihan kehendak untuk hidup yang datang dari orang-orang yang lemah. Kegigihan ini melahirkan sebuah tendensi pada revolusi sosial sebagai perlawanan atau pemberontakan atas situasi yang menindas mereka.

Dia mengembangkan kata dan dalam teologi minjung sebagai jawaban atas han kaum minjung.[9] Kata Dan berarti “memotong”. Dia menjelaskan dua dimensi dari dan untuk memperdalam uraiannya tentang dan. Pertama, dan adalah penyangkalan diri. Orang yang tertindas melepaskan diri impian-impian:

Aku memisahkan tubuh dan pikiranku dari segala kehidupan yang nyaman dan mudah, lingkaran mimpi-mimpi borjuis yang kecil, rawa sekular tanpa kematian. Inilah isi keseluruhan dari imanku- aku tahu bahwa hanya penyangkalan diri yang hebatlah jalanku… inilah revolusi yang harus aku tunjukkan dan wujudkan  dengan hidupku sendiri. Khayalan itu sudah berakhir.[10]

Dimensi kedua adalah dimensi sosial yaitu mencoba memutus belenggu lingkaran han. “Dan adalah untuk mengatasi han. Secara personal, dan adalah penyangkalan diri. Secara kolektif atau sosial dan adalah untuk memotong lingkaran setan balas dendam.”[11] Artinya, jika han kaum minjung meledak tak terkendali dan destruktif, mereka akan membenci, membunuh, dan membalas dendam pada para penindas mereka tanpa henti. Dan berfungsi untuk mencegah munculnya sifat destruktif han dan lingkaran setan balas dendam itu.

Sistem pemikiran dan ini terdiri dari  empat tahap. Pertama, menyadari Allah dalam hati kita. Karena kesadaran ini kita terdorong untuk memuliakan Allah dalam pikiran (Shichonju). Kedua, memelihara tubuh Allah-membiarkan Allah (kesadaran Ilahi) tumbuh dalam diri kita (Yangchonju). Ketiga, melaksanakan perjuangan untuk mewujudkan Allah dan mempraktekkan apa yang kita percayai ada dalam Allah (Haengchonju). Tahap ini menandai perjuangan kita untuk mengalahkan ketidakadilan dunia dengan daya kuasa Allah. Keempat, mentransendensikan kematian dan kehidupan sebagai sebuah pejuang yang dibangkitkan untuk rakyat atau hidup sebagai para minjung pemenang yang rendah hati dan dibangkitkan mengatasi kematian (Sangchonju). Tahap ini orang mengalahkan ketidakadilan dengan mentransendensikan dunia.[12]

Para teolog minjung memandang serius han sebagai “bahasa” kaum minjung dan menjadikannya titik kontak dalam pencariannya sebagai basis teologis dalam rangka memulihkan kedudukan kaum minjung sebagai subyek sejarah.

 

4.1.2 Tari Topeng (T’alchum)

Bahasa han kaum minjung itu tidak hanya terungkap dalam cerita-cerita dan puisi, namun juga dalam seni pertunjukan tari Topeng (T’alchum). T’alchum adalah salah satu cara untuk mencapai dan pada tingkat pribadi.[13] Hyun Young-Hak dalam tulisannya yang berjudul “A Theological Look at the Mask Dance in Korea” menguraikannya bagaimana tari topeng menjadi semacam bahasa yang digunakan kaum minjung untuk mengungkapkan realitas penderitaannya.

Tari topeng adalah sebuah kesenian yang berakar pada festival atau pertunjukan desa kuno. Sebelum tanggal 15 Januari menurut kalender lunar, biasanya penduduk pedesaan menampilkan berbagai macam bentuk upacara religius memohon berkat kepada para dewa untuk hasil panenan yang lebih baik. Upacara-upacara itu biasanya diikuti dengan berbagai macam pertunjukan yang di dalamnya orang memasukkan unsur-unsur satiris terhadap kehidupan aristokrat. Namun ketika kelas-kelas perdagangan mulai muncul pada tahun 1700-an dan melahirkan kota-kota, unsur satiris dalam tari topeng semakin kuat dan berani. Seni pertunjukan yang awalnya bersifat religius,  justru bergeser menjadi media untuk mengungkapkan rasa ketertindasan mereka, dengan mengejek atau mengkritik para penindas mereka.

Tari topeng bukan hanya tarian semata, namun juga musik instrumental ritmik, lagu-lagu, dan dialog antara para pemain dengan pemusik dan para pemain dengan para penonton atau audiens. Tari topeng penuh dengan lelucon, sindiran, dan ekspresi vulgar berupa kata-kata kotor yang berkaitan dengan seks.

Tari topeng terdiri atas 11 adegan. Hyun Young-hak menyebutkan tiga adegan yang menurutnya penting berkaitan dengan minjung, yaitu Nojang (Biksu Budha Tua), Tiga Yangban (tiga orang aristokrat atau bangsawan), dan Miyal Halmi (Wanita Tua Miyal).[14]

Nojang adalah sebuah kritikan terhadap agama yang cenderung menjadi spiritualitas yang kuno dan agama metafisis yang jauh terpisah dari dunia nyata sehingga tidak bermakna dan tak produktif bagi rakyat.[15] Kisah Tiga Yangban ini mau menunjukkan bagaimana realitas kehidupan Kelas yangban. Kelas ini adalah kelas elit penguasa menganggap diri terpelajar, terhormat dan terpisah dari dunia fana rakyat jelata. Namun, dalam kisah ini mereka terlihat bodoh. Mereka begitu menikmati dunia mereka sendiri dan eksistensi sistem yang memberikan previlese dan prestise khusus bagi posisi mereka. Sikap ini membuat mereka buta akan realitas dunia. Kisah ketiga adalah Miyal-Malmi, yang menggambarkan seorang perempuan tua yang mencari suaminya. Dia terpisah dari suaminya selama bertahun-tahun karena perang di pulau Cheju, tempat tinggal mereka dulu. Kisah ketiga ini mau mengungkapkan kenyataan dunia di mana kaum bangsawan memerintah sekaligus kritik terhadap penindasan laki-laki atas kaum perempuan.

Tari topeng menjadi sarana untuk mentransendensi pengalaman mereka. Dalam dan melalui tari topeng, minjung mengalami dan mengekspresikan sebuah transendensi kritis melampaui dunia ini dan menertawakan absurditasnya.[16]

Menurut Hyun Young-hak, pengalaman transendensi ini mempunyai pengaruh baik secara positif maupun negatif. Ketika penindasan menjadi-jadi, kemarahan kaum minjung dapat saja meledak dan memberontak, namun tanpa mempunyai visi untuk mengubah sistem sosial dalam masyarakat. Untuk mencegah pecahnya pemberontakan, para pemimpin yang cerdas dan licik biasanya memanipulasi dan “mencuci otak” kaum minjung. Mereka mengijinkan dan bahkan membantu kaum minjung mengadakan festival-festival dan pertunjukan tari topeng yang berarti menyebarkan perasaan minjung yang terpendam. Mereka juga mengilahikan penglihatan minjung supaya perwujudan harapan mereka terjadi dalam “dunia lain” bukan dalam dunia nyata. Dalam hal inilah pengalaman transendental menjadi sesuatu yang negatif, karena membuat minjung menjadi pasif dan terjebak oleh pengharapan dan utopia belaka.

Namun, pengalaman transendensi itu juga mempunyai pengaruh positif. Pertama, pengalaman itu membangun dalam diri kaum minjung sikap bijaksana dan mempunyai daya untuk bertahan hidup dalam dunia yang tidak menghargai martabat mereka. Keyakinan bahwa dunia yang ada sekarang tidak berpihak dan mereka mampu mengatasi dunia itu, membuat mereka mampu menanggung beratnya kehidupan di dunia nyata ini dengan humor yang baik tanpa jatuh ke dalam keputusasaan. Kedua, pengalaman ini mendukung kaum minjung untuk berjuang demi perubahan dan kebebasan.

  1. Dasar Biblis Teologi Minjung

Setelah diskusi teologis dan sosio-politis dalam teologi minjung, diskusi bergerak pada diskusi biblis. Dalam diskusi selama konsultasi itu, muncul pertanyaan fundamental: Apa dasar-dasar biblis teologi minjung? Apakah kita menemukan minjung dalam Kitab Suci? Dapatkah kita merumuskan sebuah teologi biblis seputar gagasan tentang minjung?

Dua orang tokoh Korea mempresentasikan makalah penelitian biblis sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, Moon Hee-suk Cyris yang memusatkan pada kitab Kejadian 1:26-28 dalam makalahnya yang berjudul “An Old Testament Understanding of Minjung.” Kedua, Profesor Ahn Byung-mu mempresentasikan makalahnya yang berjudul “Jesus and the Minjung in the Gospel of Mark” yang meneliti kata “ochlos” dalam Injil menurut Markus sebagai sebuah jalan untuk memahami minjung dalam hubungannya dengan Yesus.[17]

 

5.1 Minjung dalam Perjanjian Lama

Moon Hee-suk Cyris berusaha menarik sebuah teologi Perjanjian Lama tentang hak-hak asasi manusia berdasarkan bagian ini dan melihat kitab Keluaran sebagai sebuah usaha untuk merestorasi sebuah rakyat. Dari kisah naratif Keluaran itu, Moon menemukan sebuah fakta penting: YHWH tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam gerakan pembebasan. Menurutnya, manusia diundang untuk bertindak sebagai partner Allah. Selain itu, perjumpaan Allah dengan Musa dikaitkan dengan para Bapa bangsa, terkait dengan janji Allah kepada mereka. Allah bukanlah Allah yang ingkar janji, namun selalu menepati janjiNya.[18] Sejak semula atau sejak penciptaan Allah telah memberkati mereka dan menjadikan mereka penguasa atas karya ciptaanNya. Dengan kata lain, Allah mempercayakan tanggung jawab kepada manusia untuk menjadi subyek atas sejarah. Ini jelas terungkap dalam Kej 1:28 “…Beranakcuculah dan bertambah banyak: penuhilah bumi dan takluklah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Oleh karena itu, menurut Moon, minjung adalah mereka yang membentuk sejarah manusia dengan menaklukkan dan menguasai bumi, yang memenuhi tujuan Allah dalam penciptaan.

Saat mengalami penindasan, berkat yang diberikan Allah dan hak minjung untuk menjadi penguasa atas dunia dan sejarah disangkal. Sejarah Keluaran merupakan sebuah sejarah restorasi martabat manusia sebagai yang diberkati oleh Allah.[19] Para teolog minjung memahami peristiwa Eksodus sebagai penegasan akan kedudukan sebagai subyek. Sebagaimana bangsa Israel diselamatkan Allah, demikian pula kaum minjung di Korea akan dibebaskan oleh Allah yang sama, sehingga mereka memperoleh kembali kedudukannya kembali sebagai subyek dalam sejarah.

Moon melihat bahwa realitas minjung dibicarakan juga dalam tulisan-tulisan Kenabian. Para nabi tampil sebagai orang-orang yang menyuarakan tangisan atau han kaum minjung. Para nabi tampil dengan berani membuka topeng kesalahan para anggota keluarga kerajaan dan memohon kesadaran mereka mengenai situasi realitas kaum minjung. Para nabi tidak berbicara mengenai sesuatu yang jauh di masa depan, namun mereka berbicara mengenai situasi sosio-ekonomi dan politik yang konkret terjadi saat ini.

Moon memusatkan perhatiannya pada dua pewartaan nabi yang terkenal yaitu Mikha dan Amos. Kedua nabi ini adalah nabi yang paling keras dan lantang menyuarakan kritikan terhadap sikap hidup para penguasa dan sekaligus menyuarakan jeritan penderitaan rakyat kecil.

Kritikan Amos terhadap kelas penguasa menunjuk sebuah titik dasar ketidakadilan yaitu penindasan. Penindasan ini terwujud dalam bentuk praktek jual beli budak, perampasan, pajak gandum dan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Para penguasa yang bersekongkol mengabaikan atau mendiamkan permintaan kaum minjung, kecuali mau memberi uang suap, menerapkan sistem kebijakan perdagangan yang korup dan merugikan kaum petani. Dalam Am 5:10-12, Amos mengecam praktek korupsi dalam sistem yang ada. Sistem pengadilan kacau dan kehilangan integritasnya.

Amos tidak hanya mengkritik keculasan para pemimpin dalam sistem sosial ekonomi dan politik  masyarakat Kerajaan Utara, namun juga mengkritik bobroknya sistem religius Israel. Dalam Am 7:10-17, Moon menunjukkan adanya bukti konfrontasi antara Amos dengan Amazia, seorang imam di Bethel. Amos mengkritik Amazia dengan berani dan keras yang dianggapnya melanggar Taurat dan mencoba menghentikan perkataan Allah meskipun kritikannya menyinggung raja.

Nabi lain yang tak kalah keras mengkritik ketidakadilan adalah Mikha. Moon menyatakan bahwa tulisan-tulisan kenabian Mikha memusatkan perhatian pada kata “my people atau umatKu” yaitu mereka yang tertindas. Mereka meyakini dirinya sebagai orang-orang yang dipilih sebagai gambar Allah dan seharusnya mereka menjadi subyek sejarah. Faktanya mereka kini tertindas, bukan oleh bangsa asing misalnya Mesir, namun oleh penguasa mereka sendiri, yang digambarkan oleh Mikha sebagai “ this people atau orang-orang ini” (Mi 2:7b-9).

Mikha melihat adanya dua kelas yang berbeda yaitu kelas orang miskin yang tertindas oleh para penguasa yang kaya. Lahan-lahan pertanian dan rumah-rumah yang bagus di Moresyet diambil alih oleh para penguasa secara paksa dan tidak adil dengan menggunakan kekerasan fisik. Mikha dengan lantang mengecam tindakan para pemimpin yang kejam dan tamak itu ibarat orang yang “memakan daging bangsaku, dan mengupas kulit dari tubuhnya” (Mi 3:3).

Mikha melihat juga perilaku para imam dan “nabi-nabi palsu” sama buruknya dengan para pemimpin yang tidak adil itu. “Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang” (Mi 3:10). Mikha menuduh mereka telah membangun iman dan teologi yang salah untuk membenarkan tindakan mereka sehingga melawan sabda Allah. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah cara untuk menjaga dan meningkatkan kekayaan pribadi mereka.[20]

Kata ”umatKu” menjadi semacam tema pusat atau inti ajaran dalam pewartaan nubuat Mikha. Mikha merasa bahwa seorang nabi sejati harus terlibat dalam penderitaan umatNya yang tertindas dan ikut merasakan betapa berat kesengsaraan mereka. Moon menegaskan bahwa dari tokoh Mikha, kita dapat belajar bahwa seorang nabi sejati selalu berdiri di samping dan bersama kaum minjung.[21]

Moon mencoba menarik sebuah benang merah yang menghubungkan realitas pewartaan nabi Mikha dengan  teologi minjung di Korea. Moon Hee-suk melihat bahwa situasi pada zaman nabi Mikha mempunyai kemiripan dengan kondisi kehidupan para petani, buruh, kelas pekerja, dan para pengangguran yang hidup seperti budak di Korea saat ini.[22] Sikap dan karakter nabi Mikha nampak dalam diri para teolog dan para pemimpin gerakan-gerakan pembebasan yang menyuarakan harapan dan keluhan kaum minjung di Korea.

5.2 Minjung dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru khususnya Injil Markus, juga mengungkapkan keberpihakan Yesus terhadap kaum minjung. Markus mengidentifikasi “ochlos” sebagai minjung pada jaman Yesus.

Dalam analisisnya, Ahn Byung-mu menemukan ada beberapa karakteristik dari ochlos ini.[23] Pertama, ochlos adalah orang-orang yang selalu berkumpul di sekeliling Yesus kemanapun Ia pergi (2:4,13; 3:9, 20, 32;  4:1; 5:21, 24, 31; 8:1; 10:1). Kedua, mereka kebanyakan adalah orang-orang yang disebut sebagai para pendosa, mereka yang disingkiri oleh masyarakat. Ketiga, kaum ochlos dibedakan dengan para murid. Dalam beberapa kesempatan, ajaran Yesus hanya ditujukan pada para murid (4:36; 6:46; 7:17; 33) sehingga ada kesan bahwa Yesus menempatkan para murid di atas kaum ochlos ini. Namun perlu diingat bahwa Yesus sering mengkritik sikap para murid, misalnya Yesus memarahi sikap mereka yang kurang memahami arti penderitaan Yesus (8:32; 9:32 dst). Sebaliknya Yesus tidak pernah memarahi kaum ochlos. Baginya, fakta ini seharusnya diingat ketika memandang para murid sebagai representasi Gereja.[24] Keempat, ochlos dikontraskan dengan para penguasa di Yerusalem yang menyerang dan mengkritik Yesus sebagai musuh mereka. Kelima, karena ochlos berlawanan dengan para penguasa, para penguasa takut terhadap mereka dan mencoba untuk tidak membangkitkan kemarahan mereka.

Ahn Byung-mu juga mengidentifikasi bagaimana sikap Yesus terhadap kelompok ochlos. Pertama, Yesus tergerak hatiNya oleh belaskasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala (6:34). Kedua, Yesus mewartakan bahwa mereka adalah ibuNya dan saudara-saudaraNya (Mrk 3:34) Dan menerima kaum ochlos ini sebagai anggota keluarga atau komunitas yang baru. Ketiga, Yesus mempunyai kebiasaan mengajar mereka (bdk Mat 10:1; 11:18). Ini berarti kaum ochlos kagum akan ajaran-ajaran Yesus.[25]

Bagi para teolog minjung, Yesus tidak hanya sekedar datang “untuk” kaum minjung, namun Yesus sendiri adalah bagian dari minjung itu sendiri. Bahkan Ia sendiri adalah personifikasi atau lambang kaum minjung. Yesus berjalan bersama mereka dan menjadi sahabat mereka. Justru pada titik inilah menurut Ahn, Yesus mewartakan kepada mereka bahwa “Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15).

Yesus mewartakan sebuah jalan dan pengharapan yang baru. Pada titik ini, Yesus berjuang bersama dengan minjung yang menderita. Bahkan Allah dipandang sebagai Allah yang ikut menderita, yang memandang serius penderitaan manusia sebagai akibat ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan. Dengan demikian, ada kesatuan antara “Allah dan Revolusi (unification of God and revolution)”. IdentifikasiNya dipandang sebagai jalan kaum minjung untuk mengadakan revolusi memperjuangkan status mereka sebagai subyek sejarah, yang menentukan sejarah mereka sendiri, bukan oleh kaum elit penguasa.

 

  1. Teologi Minjung: Sebuah Gerakan Mesianik dan Praksis Pembebasan

Teologi minjung tidak hanya berhenti pada refleksi teologis atas pengalaman penderitaan kaum minjung sepanjang sejarah dalam terang Kitab Suci.

Teologi minjung itu juga menghasilkan sebuah refleksi sebagai basis dan dasar bagaimana minjung harus menjadi subyek sejarah yaitu melalui perjuangan konkret menuju sebuah pembebasan kaum minjung. Makalah Kim Yong-bock yang berjudul “Messiah and Minjung: Discerning Messianic Politics over against Political Messianism”, menggali lebih luas mengenai transendensi diri kaum minjung.[26] Para teolog minjung mencoba merunut genealogi teologi minjung dalam pengalaman-pengalaman historis dan pembangunan komunitas Kristiani di Korea yang menghidupi perasaan han baik sifatnya personal maupun kolektif, yang termanifestasikan dalam berbagai macam bentuk seni dan pertunjukan seperti novel-novel, puisi-puisi, dan tari topeng. Refleksi itu bergerak menuju pada tindakan-tindakan yang mempunyai daya ubah bagi kaum minjung. Gagasan mesianik berkembang dengan mengkolaborasikan gagasan mesianik dalam Budha Maitreya, Donghak, dan Kristianitas. Proses kolaborasi itu mengarah pada terbentuknya Mesianisme Yesus atau mesianisme seorang Hamba yang menantang secara radikal semua bentuk mesianisme politis dan kekuasaan. Mesianisme Yesus akan membebaskan kaum minjung dari segala penderitaannya dan menempatkannya sebagai subyek sejarah, dan menciptakan sebuah umat Allah yang bersekutu (koinonia) dan dan damai (shalom). Pembebasan tidak hanya menyentuh unsur spiritual kaum minjung, namun juga secara sosio-ekonomis-politis.

Bagi Kim, ada beberapa tugas yang muncul atas situasi semacam itu di Korea. Pertama, orang-orang Kristen harus menyingkapkan sejarah panjang mesianisme politis yang memperbudak mereka dan dan berjuang untuk melawan mesianisme politis ini. Usaha ini melibatkan adanya evaluasi-evaluasi kritis terhadap nilai-nilai politis, struktur-struktur politis dan kepemimpinan politis. Kedua, mencoba menemukan kembali tradisi-tradisi mesianis populer yang diwariskan oleh Budhisme mesianik Maitreya dan agama Donghak, melalui sebuah penelitian literatur-literatur yang ada dan melalui dialog dengan para pemimpin Budhis dan Donghak yang mempunyai keprihatinan sama dengan orang-orang Kristen. Ketiga, terlibat dalam sebuah langkah konkret dalam perspektif politis seorang Kristen, berdasarkan gagasan-gagasan berikut ini: gagasan tentang kebangkitan umum rakyat (jasmani maupun spiritual) yang dipahami dalam istilah-istilah subyektivitas mesianis rakyat, shalom dalam hubungannya dengan proses unifikasi kedua Korea, dan koinonia (partisipasi) dan keadilan dalam hubungannya dengan pembangunan sosial politik orang-orang Korea. Untuk melaksanakan tiga hal ini, kita memerlukan sebuah pemahaman umum tentang sejarah Korea dan kita harus berdialog dengan kaum intelektual sekuler yang mencoba untuk melayani rakyat.[27]

 

  1. Relevansi Teologi Minjung terhadap Perkembangan Teologi di Asia

Teologi minjung mempunyai relevansi dalam pembangunan teologi kontekstual di Asia. Teologi minjung memberi contoh bagaimana teologi itu berangkat dari konteks realitas konkret rakyat Korea dan bagaimana mempribumikan refleksi teologi. Teologi minjung adalah sebuah hasil natural dari refleksi hermeneutik yang mendalam dan perjuangan mereka yang telah terlibat dalam praksis pembebasan kaum tertindas dan menderita, serta perjuangan humanisasi dari anak-anak Allah yang dihumanisasikan oleh para penguasa. Bagi teologi minjung, keselamatan berarti pembebasan, dan pembebasan berarti humanisasi mereka yang hak-haknya sebagai citra Allah dihilangkan.[28]

Penghargaan layak diberikan untuk minjung atas usahanya memberi contoh melakukan hermeneutik kreatif, atas kontribusinya dalam pembebasan teologis para teolog dan para pemimpin gereja lokal, atas usahanya membuka mata sejumlah orang Kristen pada dimensi sosio-politis dalam Injil, dan atas usahanya menampilkan makna universal dari Injil dalam usaha pembebasan manusia yang tertekan, tertindas dan menderita di Korea pada khususnya dan di Asia pada umumnya.[29] Teologi minjung menantang Gereja Korea dan Gereja Asia tradisional yang menekankan pertumbuhan Gereja dari segi kuantitas, namun kurang memperhatikan situasi sosial di sekitarnya. Teologi minjung menantang Gereja untuk memberi perhatian pada pertumbuhan dan kematangan Gereja yang seimbang, antara dimensi spiritual dan dimensi-dimensi sosial.[30]

Selain itu, pendekatan para teolog minjung, dengan perhatiannya pada cerita-cerita rakyat, tari topeng, dan pengharapan-pengharapan mesianik rakyat (kolaborasi mesianik dalam Budha Maitreya, agama Donghak, dan Kristianitas) juga memberi tekanan pada proses inkulturasi dalam teologi. Dengan menggunakan unsur-unsur budaya-religius setempat sebagai titik kontaknya, para teolog minjung mengembangkan sebuah “teologi pembebasan” sebagai hasil perjumpaan dan dialog antara realitas historis dengan segala konteks kulturalnya, iman Kristiani, dan inter-religius.[31] Inilah salah model teologi bagi Gereja Asia yang merindukan adanya teologi yang dibangun atas dasar kekhasan Asia: Kemiskinan, multi-kultural, dan multi-religius.

Teologi minjung juga membantu Gereja Asia untuk melaksanakan langkah-langkah apa yang ditawarkan oleh FABC dalam  mewujudkan teologi kontekstual Asia dengan metodologi teologis “See, Judge, and Act”. Pada tahap “See” teologi minjung melihat realitas penderitaan kaum minjung, tidak hanya dalam pengalaman konkret saat ini, tetapi juga dalam sejarah yang diwariskan dalam bentuk cerita atau narasi, Pansori, tari topeng (T’alchum). Narasi memainkan peran penting dalam budaya-budaya Asia. Mgr Luis Antonio G. Tagle (sekarang Kardinal dan Uskup Agung Manila) dalam First Asian Mission Congress menyatakan bahwa teologi diuntungkan dengan adanya kisah-kisah naratif itu karena cerita menyatakan identitas personal dan peristiwa-peristiwa yang mempertajam identitas itu.[32] Selanjutnya, pada tahap “Judge” teologi minjung membantu merefleksikan dan menafsirkan pengalaman itu dalam terang Kitab Suci yaitu Kisah Eksodus, nubuat profetis Amos-Mikha, dan kisah mesianis Yesus. Akhirnya pada tahap “Acts” teologi minjung mencoba membuat langkah-langkah konkret demi perjuangan untuk pembebasan kaum minjung yang miskin dan tertindas.

Oleh karena itu, tugas teologi minjung di Korea bersama-sama dengan teologi-teologi kontektual Asia lainnya seperti Teologi Akar Rumput di Filipina, Teologi Planeter di Sri Lanka, Teologi Kerbau di Thailand, dan teologi-teologi lainnya adalah membuat wajah-wajah Gereja khas Asia semakin tampak. Yewangoe mengutip gagasan Schillebeeckx yang menyatakan bahwa gereja-gereja Asia harus menjadi tempat pertemuan antara aksi dan kontemplasi. Dalam liturgi, pembebasan dan keselamatan Allah dirayakan, tetapi pada saat yang sama, liturgi pun harus menjadi tempat di mana praksis yang membebaskan itu mendapatkan makanannya.[33]

  1. Catatan Kritis terhadap Teologi Minjung

Beberapa teolog mengakui bahwa teologi minjung mampu memberi contoh dalam menghadirkan sebuah teologi yang kontekstual khas Gereja lokal. Namun, ini tidak berarti teologi ini langsung diterima begitu saja. Mayoritas orang-orang Kristen dan para teolog Korea tidak (belum) menerima teologi minjung sebagai sebuah teologi yang ideal. Bahkan ada beberapa teolog  seperti, Se Yoon Kim dan Eunsoo Kim secara ekstrim menyebut teologi minjung sebagai teologi heretik dalam terang Kitab Suci.[34]

  • Problem pada Hermeneutika Teologi Minjung

Dalam paper yang berjudul Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective, Eunsoo Kim mengkritik hermeneutika-hermeneutika teologi minjung dan kontekstualisasi teologi minjung. Menurutnya, teologi minjung hanya memperhatikan kultur homosentris dan bukan tentang keabsolutan dan transendensi Allah dan kebenaranNya. Sebagai sebuah teologi kontemporer yang berpusat pada manusia, menurut istilah Kim, teologi minjung memusatkan diri pada “sekarang-bukan masa depan atau kehidupan kekal, manusia- bukan Allah dan kondisi yang lebih baik dalam kebebasan-bukan kondisi esensi manusia.”  [35].

Eunsoo juga mengkritik hermenutika para teolog minjung yang menempatkan manusia (kaum minjung) sebagai subyek Kitab Suci, subyek sejarah dan subyek Gereja. Ia mengutip Kim Myung-hyuk yang mengatakan bahwa teologi minjung telah keluar dari batas teologis karena minat terbesarnya bukanlah Allah atau Yesus dalam Kitab Suci, melainkan pembebasan dan humanisasi kaum minjung.

  • Kedudukan Allah sebagai Sang Pembebas dalam Peristiwa Eksodus

A.A. Yewangoe memberi catatan pada gagasan teologi minjung tentang Allah yang membebaskan. Ia pada dasarnya dapat memahami sikap para teolog minjung yang mengkritik “spiritualisasi” peristiwa Eksodus sebagai sebuah pembebasan yang ada di luar kehidupan duniawi. Kritik itu dapat dibenarkan karena spritualisasi peristiwa Eksodus itu kadang digunakan sebagai alasan untuk mempertahankan status quo struktur sosial yang menindas rakyat dan menguntungkan kelas penguasa.[36]

Namun Yewangoe melihat masih ada masalah yang belum terjawab oleh para teolog Asia termasuk teolog minjung, berkaitan dengan karya penebusan Allah yang berkaitan dengan status khusus umat perjanjian Allah. Menurutnya, tekanan utama dalam peristiwa Eksodus adalah peristiwa pendamaian, yaitu dipulihkannya hubungan Israel dengan Allah. Oleh karena itu, faktor dosa harus dianggap serius dan penting. Melalui tindakan pendamaian, pengampunan dosa terjadi dan relasi dengan Allah dipulihkan. Allah tidak menutup mata terhadap Israel yang menjadi korban “kedosaan” Mesir dalam sistem sosialnya yang menindas. Allah menghukum dengan serangkaian bencana (bdk. Kel 7:14-12:42) sebagai tanda keprihatinan Allah akan situasi sosial ekonomi dan politik umatNya. Namun harus pula diingat bahwa Allah juga tidak menutup mata atas potensi “pemberontakan” Israel terhadap Allah. Oleh karena itu, pembebasan dari struktur-struktur sosial yang menindas tidaklah otomatis pembebasan dari dosa. Tindakan penebusan Allah dalam peristiwa Paskah harus selalu diingat. Tanpa pertobatan dan tanpa pengampunan dosa kaum tertindas dapat menjadi penindas, jika ada kesempatan. Itulah sebabnya Allah memperingatkan Israel agar tidak menghisap orang asing di negeri mereka, karena mereka pun dahulu orang asing di Mesir (bdk Im 19:33-34).[37]

Pendapat Yewangoe ini mau menjawab pemahaman Kim Yong-bock, seorang teolog minjung, yang menyatakan bahwa pemahaman tentang dosa tidak memainkan peran dalam teologi minjung di Korea. Yewangoe mengkritik para teolog minjung yang tidak seimbang dalam memperhatikan sisi pembebasan secara politis dan pembebasan secara spiritual. Mereka lebih menekankan makna politis dalam pembebasan kaum minjung dan kurang menekankan pada makna penebusannya. Para teolog minjung menafsirkan orang berdosa sebagai minjung. Orang berdosa hanyalah “cap atau gelar” yang dikenakan pada kaum minjung oleh kelas penguasa pada jaman Yesus. Oleh karena itu, gagasan apakah kaum minjung berdosa dan memberontak kepada Allah tidak memainkan peran apapun dalam teologi minjung.[38]

 

8.3 Gagasan tentang Allah yang Menderita

Yewangoe juga menyoroti tentang konsep Allah yang ikut menderita bersama minjung. Ia juga dapat memahami konsep itu. Ia yakin bahwa penekanan Allah yang berpihak pada orang tersingkir dan tertindas bukan hanya menguntungkan, tetapi sebuah keharusan, karena ini memberikan penekanan kepada orang-orang menderita sebuah kekuatan untuk menanggung penderitaannya.[39] Namun, teologi minjung harus memperhitungkan kedudukanNya sebagai “yang ikut menderita” sekaligus “kuasa dan kepemimpinan” Allah dalam sejarah. Choang Seng Song, memahami bahwa hakikat Allah bukanlah penderitaan, tetapi kasih. Justru karena kasihNya pada manusia, Allah mengosongkan diriNya (kenosis) demi keselamatan manusia (bdk. Flp 2:6-8).[40]

Yewangoe mengutip gagasan Choan Seng Song yang mengkritik pandangan teolog minjung yang menyatakan bahwa Allah menderita dan mati “bersama” dunia dan manusia. Song menegaskan bahwa Allah menderita dan wafat “untuk” dunia dan manusia.[41] Penekanan yang berlebihan pada Allah yang menderita dan mati “bersama” manusia dan enggan menggunakan kata “untuk” berarti mengabaikan keutuhan citra Yesus Kristus. Penggunaan mesianisme Hamba Yahwe yang menderita dalam teologi minjung, harus dimaknai pula sebagai jalan Allah yang menyelamatkan dengan cara menanggung dosa banyak orang, yang dari padaNya datang keselamatan bagi semua orang.[42]
[1] S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, Ledalero, Maumere 2010, 228-229.

[2] S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 259.

[3] Suh Kwang-sun David, ”A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 16.

[4] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 16.

[5] Wan Sang-han, Minjung dan Society, Sugak Publishing House, Seoul 1980, 26-27.

[6] Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 192-200.

[7] A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, dalam Pasific Theological Review 18:2 (1985), 10.

[8] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 25.

[9] A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, 3.

[10] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 64.

[11] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 64.

[12] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 65-67. Bdk. Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001, 7.

[13] Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 7.

[14] Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981,48-50.

[15] A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 136.

[16] Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, 50.

[17] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 33.

[18] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, Orbis Books, New York 1985, 6.

[19] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 34.

[20] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 47.

[21] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 48.

[22] “Saat ini” menunjuk pada situasi saat tulisan itu dibuat, yaitu pada tahun 1970an. Moon Hee-suk Cyiris “An Old Testament Understanding of Minjung”, 133.

[23] Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 140-141.

[24] J Gnilka, “Das Evangelium nach Markus, EKK I”, 1978, 279, dalam Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 139.

[25] Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 141-142.

[26] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 28.

[27] Kim Yong-bock, “Messiah and Minjung: Discerning Missianic Politics over against Political Mesianisme”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 192.

[28] Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in Korea”, dalam Inter-Religio 24 (1993), 52.

[29] Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in Korea”, 53.

[30] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, dalam Japan Christian Review 64 (1998), 62.

[31] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 310.

[32] Mario Saturnino Dias (ed.), Telling the Story of Jesus in Asia: A Celebration of Faith and Life at the First Asian Mission Congress, FABC- Office of Evangelization, Goa 2006, 133.

[33] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 363.

[34] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.

[35] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.

[36] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 332.

[37] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 335-336.

[38] David Mol, “Minjung Theologie-Zuidkoreaanse bevrij dingstheologie in een geïndustrialiseerde samenleving”, Wending, 1985, 21-22 dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 330-331.

[39] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 341-342.

[40]  Choan Seng Song, Third Eye Theology, Maryknoll, 1979, 69, dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 349-350.

[41] Choan Seng Song, Third Eye Theology, 165-166.

[42] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 357.

MEMAKNAI GEREJA SECARA BARU SEBAGAI COMMUNIO DALAM KONTEKS DUNIA CYBER

Pengantar

Salah satu isu paling penting dalam membangun sebuah teologi di era Cyber (cyberspace) adalah mengenai pertanyaan mengenai komunitas atau Communio. Media digital telah mendorong berbagai perubahan dalam berbagai bentuk dan struktur komunitas atau masyarakat dimana kita tinggal, mempercepat terjadinya lompatan-lompatan perkembangan yang telah dimulai sejak ditemukannya telegram. Lantas bagaimana maknanya bagi kita orang Kristiani? Bagaimana kita menghidupi komunitas kemuridan kita sebagai Gereja dalam dunia digital dan jaringan sosial maya?

Dewasa ini muncul istilah “gereja online” sebagai sebuah bentuk jawaban atas  pertanyaan mengenai pemahaman komunitas di atas. Sekelompok orang Kristen berkumpul secara online lewat jejaring sosial untuk memuji Tuhan, berdoa, berjumpa (tentu saja secara virtual) dengan orang lain secara lebih luas, bahkan lintas Negara dan benua. Mereka mencoba menghayati makna Gereja sebagai sebuah communio atau persekutuan, lewat dunia maya. Lantas dapat komunitas virtual ini bisa menjadi sebuah komunias sejati yang nyata dan tidak semu?

Paper ini mencoba melihat secara ringkas bagaimana kaitan antara komunitas virtual dan komunitas yang nyata di era postmodern ini, dan bagaimana teologi komunio harus dimaknai dalam konteks saat ini.

Dunia Cyber: Sebuah Locus Theologicus

Apa yang dimaksud dengan dunia Cyber? Dunia Cyber atau dunia maya (cyberspace) dapat dimengerti sebagai sebuah kenyataan yang secara geografis tak terbatas, sebuah ruang non fisik, dimana terjadi transaksi-transaksi dan interaksi antara manusia dengan manusia, antara Komputer dengan Komputer, serta antar manusia dan computer, tanpa terikat oleh waktu, jarak, dan tempat.

Dunia cyber memungkinkan kita memasuki sebuah dunia dan cara beraktivitas baru. Dunia cyber ini adalah sebuah “tempat” komunikasi yang dimediasi oleh computer (computer mediated communication atau CMC), di mana hubungan secara online dan bentuk-bentuk alternatif identitas online dibuat tejadinya perjumpaan antara bentuk-bentuk hidup dan interaksi secara “online” dan secara “offline”, relasi antara “nyata” dan “virtual”. Dunia cyber juga dilihat mampu menyediakan kesempatan-kesempatan baru untuk mempertajam masyarakat dan budaya melalui identitas tersembunyi, atau komunikasi dan budaya tanpa batas.

Dalam situasi ini, dunia cyber menjadi konteks baru untuk berbicara dan mengkomunikasikan diri, termasuk mengkomunikasikan iman. Oleh karena itu, Dunia cyber menjadi semacam locus theologicus yang menantang orang untuk semakin mempertajam refleksi iman, dan membuat iman semakin kontekstual di tengah perkembangan jaman. Iman dan Tradisi rasuli yang senantiasa dijaga dan diwariskan oleh Gereja, harus diterjemahkan dalam konteks yang baru ini.

Gereja sebagai communio dalam tradisi

Ciri-ciri Gereja yang satu dan katolik adalah sebuah tegangan antara gambaran ideal masa depan dan realitas kekinian. Kesatuan dan katolisitas gereja sebagian sudah terwujud dalam realitas, dalam Gereja institusi historis, namun kita juga percaya bahwa idealitas itu akan terwujud secara penuh pada akhir sejarah.

Sepanjang sejarah, Gereja mewartakan dirinya dan iman didasarkan pada Kitab Suci dan Tradisi. Gereja diatur oleh struktur hirarkis di mana Paus hadir sebagai kepala. Gereja tampak sebagai “umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa Putera dan Roh Kudus” (LG 4). Kesatuan Gereja ini bukanlah sebuah kesatuan institusional yang tampak di antara orang-orang Kristen, yang sampai sekarang belum sepenuhnya terwujud.  Kesatuan itu adalah kesatuan dalam Kristus, sebuah kesatuan yang sangat kaya yang diikat oleh satu iman dan baptisan. Perjanjian baru menyatakan beberapa aspek kesatuan. Pertama, Kesatuan antara Yesus Kristus dan kitalah yang sangat dekat; kita dalam Kristus dan Kristus dalam kita (bdk. Yoh 15:4).  Kedua, kesatuan itu juga mengindikasikan bahwa kita tidak sendiri, tetapi bersama yang lain (communio) dalam Kristus. Ketiga, kesatuan dalam Kristus itu hadir bersama kesatuan dinamis Kristus bersama BapaNya melalui kuasa Roh Kudus. Maka, komunitas Kristen berakar dalam Allah, dalam Kristus. Akhirnya komunitas itu tidak dibentuk oleh karena usaha kita tetapi oleh Allah, Roh Kudus. Kita perlu memelihara karakter ilahi dari komunitas Kristen ini dalam diri kita, termasuk ketika kita berbicara tentang potensi dunia maya (cyberspace) bagi komunitas manusia.

Katolisitas Gereja adalah panggilannya untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Katolisitas ini termanifestasi dalam sebuah jalan yang tidak sempurna yang secara geobrafis tersebar di seluruh dunia. Katolisitas juga termanifestasikan melalui beragam bangsa dan bahasa dalam gereja yang melambangkan seluruh kemanusiaan. Katolisitas ini juga secara personal dialami ketika orang-orang Kristen mengalami hospitalitas ketika mereka mengunjungi gereja-gereja lain.

Paradigma baru mengenai Gereja sebagai communio

Seberapa signifikan peran komunitas iman secara fisik atau nyata pada saat menerima Persekutuan Ilahi? Allah dalam Yesus bangkit dari tengah-tengah rakyat dari pada Allah yang Turun dari Surga. Peristiwa Inkarnasi Allah dalam diri Yesus mempresentasikan kerendahan hatinya dan solidaritas dalam eksistensi manusia. Teologi inkarnasi menantang untuk menjadi relevan di tengah dunia pada setiap generasi dengan menghantar pemahaman teologis menuju harapan dalam hidup praksis harian Gereja.

Tidak diragukan lagi bahwa dalam komunitas iman fisik orang-orang Kristen, sebuah gereja lokal adalah permulaan yang membawa harapan pada realitas yang baru. Namun Leonardo Boff mengkritik sebuah “teologi kedamaian’ yang membawa gereja pada umumnya menjadi sebuah terorganisir secara institusionalis dan kaku secara historis. Padahal Gereja yang baru lahir dari akar rumput, lahir dari persekutuan jemaat yang dilahirkan kembali dalam Roh Allah. Ini berarti lahirnya Gereja berdasarkan Sabda, Sakramen dan praksis hidup. Meskipun L. Boff  menyinggung pembentukan komunitas Kristen yang baru secara fisik, namun –menurut D. Min Hirho Park – konsep ecclesiogenesis dapat digunakan untuk pembangunan komunitas Kristen yang baru dalam dunia maya (cyberspace) jika Gereja institusional konvensional mengakui komunitas murid-murid Cyber (Cyber Disciples) sebagai gereja. Di sini sekali lagi pertanyaannya adalah apakah sebuah gereja institusional dapat membayangkan kelahiran sebuah gereja baru dalam dunia maya, yang di dalamnya terkandung Sabda Allah, Sakramen-sakramen, dan pembentukan kemuridan.

Min Hirho Park menggunakan istilah murid-murid Cyber (Cyber Disciples) untuk menyebut orang-orang yang menanggapi cinta Kristus yang mereka melalui cara hidup baru; mereka adalah orang-orang yang melaksanakan kemuridan mereka dalam dunia maya dengan mencari jala alternatif mengungkapkan iman mereka, seperti mendengarkan pewartaan Sabda Allah melalui sistem online atau mobile, ikut serta dalam pujian online secara langsung, dan membangun persaudaraan Kristiani sebagai sebuah komunitas iman dalam dunia maya.

Kerajaan Allah mempunyai pengertian universal yang merangkum seluruh realitas manusia, termasuk komunitas iman yang telah dibentuk dalam internet. Kebangkitan sebuah subyek teologis yang baru, para murid cyber (Cyber Disciples), secara definitif menghadirkan sebuah kesempatan imaginasi teologis pada cara-cara bagaimana orang-orang Kristen menyembah, mewujudkan dan mengungkapkan iman mereka, dan pelaksanaan evangelisasi. Gereja eskatologis selalu menghadirkan harapan dari atas pembangunan sebuah pemahaman gereja yang hidup yang belum penuh diwujudkan tetapi sungguh hadir di antara manusia. Yesus yang bangkit adalah sebuah harapan eskatologis yang yang tampak, dan terbuka pada kemungkinan perwujudannya dalam Roh Kudus atas semua orang, termasuk Para murid dunia maya.

Menurutnya, orang-orang Kristen membuat beberapa anggapan radikal mengenai komunitas. Kita mengatakan Allah adalah sebuah persekutuan kasih dalam Trinitas. Kita mengatakan bahwa Trinitas menciptakan manusia seturut citra ilahi. Kita percaya Allah memanggil seluruh dunia kepada sebuah masa depan, komunitas yang sempurna yaitu Kerajaan Allah. Meskipun komunitas ini mengumpulkan dan menyatukan orang dengan sesamanya, tidak berarti menghapus otonomi pribadi masing-masing. Komunitas ini bukan hanya komunitas manusiawi saja tetapi persekutuan dengan Allah. Komunitas ini berkehendak untuk menjadi universal, dan kesatuan dan unversalitas komunitas adalah termanifestasikan dalam sebuah sebuah jalan hidup yang terpisah-pisah dalam gereja secara historis. Gagasan-gagasan itu juga mestinya kita letakkan bagaimana kita melihat kemungkinan komunitas virtual dalam dunia maya.

“Mentransendensikan” Komunitas Virtual

komunitas virtual dunia maya bukanlah sebuah komunitas nyata dalam ruang dan waktu. Komunitas virtual adalah sebuah komunitas yang terbatas pada mesin-mesin. Teknologi digital dan menghubungan orang melalui sebuah kondisi yang tercipta oleh teknologi, yang kekuatannya adalah mengirim, menyimpan dan mengorganisasi informasi dalam bentuk data byte. Ini berarti bahwa dalam dunia maya orang-orang bertemu sebagai sebuah konstelasi informasi. Mereka tidak bertemu secara kontak fisik secara penuh dalam sebuah ruang dan waktu tertentu. Namun, ini tidak berarti bahwa orang tidak dapat mengalami kebersamaan dalam dunia maya sama sekali. Kenyataannya, melalui email atau jejaring sosial orang dapat berbagi pengalaman (iman). Namun, dunia maya membangun komunitas yang terbaik ketika orang sudah saling mengenal dalam perjumpaan langsung face to face sebelumnya. Ketika orang hanya berjumpa dalam dunia maya, orang tidak mengalami sebuah komunitas sejati yang nyata. Dunia maya tidak dapat membangun komunitas (nyata) pada dirinya sendiri; dunia maya hanya dapat menjadi sebuah perantara untuk menemukan dan memperdalam komunitas manusiawi yang sebelumnya sudah ada.

Akhirnya hal terpenting tentang komunitas virtual dalam relasinya dengan komunitas dalam Kristus. Meskipun teknologi tidak dapat menciptakan komunitas Kristiani, hal ini dapat menjadi sebuah medan atau arena komunitas Kristen. Komunitas virtual adalah ciptaan teknologis atau dengan kata lain adalah ciptaan manusia. Sebagai ciptaan manusia, komunitas virtual tidak pernah menciptakan komunitas Kristen, karena komunitas Kristen adalah komunitas dari Allah dan ada dalam Allah; Allah sendiri yang dapat membangun dan menjadi komunitas Kristen, bukan kemampuan manusia. Namun Roh Kudus mampu mentransendensikan segala sesuatu di dunia, sehingga Roh Kudus dapat bekerja secara pasti dalam dan melalui dunia maya untuk membangun dan menjaga komunitas dalam Kristus.

Komunitas virtual sebagai Tempat Tumbuhnya Sensus Fidei

Meski Komunitas virtual terbatas, bukan berarti kita harus meremehkan nilai-nilai komunitas virtual lantaran keterbatasannya itu. Jika dunia maya hanya dipandang sebagai sebuah perantara untuk mempublikasikan gagasan-gagasan dalam teks, tidak akan memahami peran dunia maya bagi pembangunan relasi-relasi manusiawi. Hal itu tidak salah tetapi belum sepenuhnya benar. Dunia maya tidak hanya sekedar soal teknologi komputer, dan internet, tetapi terutama mengenai manusia, interaksi, relasi dan komunitas. Jutaan orang menggunakan media baru ini sebagai sebuah makna komunikasi, pencarian informasi dan komunitas. Dengan menganalisis interaksi manusia dalam dunia maya dari perspektif sosiologis, kita dapat belajar banyak mengenai hidup di abad ke-21. Dengan menganalisis dunia maya dari perspektif teologis, kita dapat belajar cara-cara baru bagaimana “menjadi gereja” di era postmodern ini.

Jaringan sosial dalam dunia maya dapat membantu orang berkomunikasi dengan liyan dan membangun komunitas-komunitas (virtual) yang sesungguhnya. Jika Gereja mau terlibat dan menggunakan jaringan dunia maya sebagai sarana untuk reksa pelayanan pastoral (pastoral care), mau berinisiatif membangun diskusi mengenai isu-isu sosial yang relevan dan eksistensial, mau terbuka pada diskusi dan mengkomunikasikan imannya dengan yang lain dengan cara-cara yang baik, Gereja dan evangelisasi akan diperhatikan orang. Inilah yang sebenarnya makna “menjadi Gereja dalam dunia maya”.

Philip Clayton, dalam tulisannya, Theology and Church after Google, menyatakan bahwa kita mesti bergerak dari “Gereja 1.0” menuju “Gereja 2.0”. Ia menggunakan analogi perkembangan internet untuk menjelaskan Gereja masa kini, yaitu “Web 1.0” dan “Web 2.0”. Generasi “Web 1.0” adalah serangkaian halaman statis di mana orang dapat mengunjungi dan membacanya (secara pasif). Sedangkan “Web 2.0”-web saat ini- menyediakan sebuah pengalaman interaktif yang mendalam, dimana pengguna dapat menolong mereka sendiri membuat tempat atau akun yang mereka kunjungi (Facebook, Twitter, Blogs, dst.). Gereja tidak lagi pasif atau hanya sebatas komunitas yang statis tak berkembang, namun Gereja harus menyediakan pengalaman yang aktif dan kontekstual, yang membuka cakrawala iman setiap orang. Gereja harus menjumpai semua orang, termasuk juga mereka yang hidup dalam dunia virtual. Komunitas virtual memungkinkan orang mengungkapan imannya, dan mengembangkan imannya, dan menjadi tempat tumbuhnya sensus fidei orang-orang modern.

Pandangan Gereja Katolik

Bagaimana dengan Gereja Katolik? Gereja Katolik telah mengambil pendekatan yang positif terhadap internet dan dunia maya. Mengutip tulisan Paus Pius XII dalam ensisklik Miranda Prorsus (1957), Paus Paulus VI menulis dalam Instruksi Pastoral tentang komunikasi sosial Communio et Progressio (1971), “Gereja melihat media, yang berdasarkan kehendakNya, menyatukan manusia dalam persaudaraan dan membantu mereka berkerjasama dengan rencana KeselamatanNya bagi manusia. Gereja memandang bahwa dunia maya menemukan titik berangkatnya pada persekutuan cinta (communion of love) Allah Triniter, yang menjangkau manusia melalui peristiwa Inkarnasi.

Paus Benediktus XVI pun melihat perkembangan dunia maya sebagai sebuah perkembangan yang positif. Dalam pesannya pada hari Komunikasi Sosial ke-47 (2013), Benediktus XVI menyatakan “perkembangan jejaring sosial digital menciptakan “agora” baru, suatu alun-alun publik tempat manusia berbagi gagasan, informasi dan pendapat, dan yang dalamnya relasi-relasi dan bentuk-bentuk komunitas baru dapat terwujud”. Benediktus XVI mendorong supaya komunitas virtual yang terbangun sungguh digunakan untuk memperdalam dan memperkuat kesatuan komunitas iman yang nyata di manapun mereka berada, bukan untuk menggantikan. Ia  menegaskan, “Jejaring sosial, dengan menjadi sarana Evangelisasi dapat juga menjadi faktor dalam pembangunan manusia. Sebagai contoh, dalam konteks geografis dan budaya di mana orang Kristiani merasa terisolasi, jejaring sosial dapat memperkuat rasa kesatuan nyata dengan komunitas kaum beriman di seluruh dunia. Jejaring sosial mempermudah orang berbagi sumber-sumber rohani dan liturgi, menolong orang untuk berdoa dengan perasaan kedekatan bersama mereka yang mengaku iman yang sama.”

Paus Fransiskus pun menyerukan hal senada. Dalam pesannya pada hari Komunikasi Sosial ke-48 (2014), Paus Fransiskus menyatakan, “Dunia digital dapat menjadi suatu lingkungan yang kaya dalam kemanusiaan; suatu jejaring bukanlah untaian kabel-kabel, tetapi hubungan orang-orang… hanya orang-orang yang keluar dari dirinya sendiri dalam komunikasi dapat menjadi titik rujukan yang benar bagi orang-orang lain… Dengan menjaga pintu-pintu gereja-gereja terbuka juga berarti menjaganya terbuka dalam lingkungan digital, sehingga orang-orang, apapun keadaan hidupnya, dapat masuk, dan demikian Injil dapat pergi menjumpai setiap orang. Kita dipanggil untuk menunjukkan bahwa Gereja adalah rumah semua orang”.

Penutup 

Akhirnya, Gereja tidak dapat lagi menutup dirinya dari kenyataan perkembangan jaman yang serba cepat ini. Gereja pun harus membangun cara-cara baru agar komunitas orang-orang yang mengimani Kristus semakin menjangkau banyak orang, termasuk mereka yang hidup dalam komunitas virtual di dunia maya. Meskipun komunitas virtual tidak akan pernah menggantikan komunitas nyata, namun komunias virtual menyumbangkan sesuatu yang baru dalam mengembangkan iman dalam sebuah komunitas besar yang disebut Gereja. Gereja harus senantiasa berkembang dan memperbarui diri, termasuk dalam mengkomunikasikan, mengungkapkan dan mewujudkan imannya. Gereja harus berani menjadikan dunia maya sebagai locus theologicus, mempertimbangkan intuisi-intuisi iman orang-orang, khususnya yang hadir dalam komunitas virtual, sehingga sabda Allah dan rencana karya keselamatanNya menjangkau semua orang.  

 

DAFTAR PUSTAKA

Clayton, Philip,

2010    “Theology and the Church After Google”, dalam Princeton Theological Review Issue 43, Volume XVII, No. 2.

Campbell, Heidi A., Teusner, Paul Emerson,

2011    Religious Authority in the Age of the Internet, Center for Christian Ethics at Baylor University, Texas.

  1. Min Hirho Park,

Cyber Disciples: A New Theological Subject and Online Communion, General Board of Higher Education and Ministry, Nashville.

Myers, Benjamin,

2010    “Theology 2.0: Blogging as Theological Discourse”, dalam A Journal for Theology of Culture Vol. 6 no. 1.

Paus Benediktus XVI

2013    Pesan hari Komunikasi Sosial ke-47, Vatikan.

Paus Fransiskus

2014    Pesan hari Komunikasi Sosial ke-48, Vatikan.

Scott, David,

1999    Christian Faith and the Cyberculture, The Institute for Religion, Technology and Culture.

Walters, Chris,

2008    Theology and Technology: Humanity in Process (Thesis), Faculty of Northern Baptist Theological Seminary Lombard, Illinois.

Wise, Justin,

2014    The Social Church a Theology and Digital Communication, Moody Publisher, Chicago.

 

MELALUI KEMARTIRAN, GEREJA MENCAPAI KESEMPURNAAN DALAM MENGIKUTI JEJAK KRISTUS, MELAKSANAKAN JALAN KEMURIDAN DAN MEMPERTAHANKAN KEBENARAN IMAN

Ajaran Ignatius dari Antiokhia mengenai Kemartiran dalam Surat kepada Jemaat di Roma

“Darah para Martir menyuburkan Gereja”. Ungkapan yang ditulis oleh Tertulianus adalah sebuah ungkapan populer yang terus-menerus diyakini oleh Gereja Katolik. Gereja didirikan diatas para martir, yang setia pada Kristus. Pun, berabad-abad, sejarah Gereja ditandai dengan tumpahnya ribuan (jutaan) darah para martir karena imannya akan Yesus Kristus. Penganiayaan tidak mampu menggulingkan Gereja, namun menyuburkannya.

Salah satu martir gereja terkenal pada tahun-tahun awal Gereja adalah Ignatius, seorang uskup Antiokhia. Paper ini mencoba menggali apa gagasan Ignatius dari Antiokhia mengenai kemartiran dan sumbangannya bagi Gereja, khususnya dalam suratnya kepada Jemaat di Roma.

  1. Konteks Historis Ignatius dari Antiokhia dan Kemartirannya

Untuk memahami pandangan Ignatius mengenai kemartiran, kita perlu memahami konteks historis surat-suratnya, yang ia tulis selama perjalanannya menuju Roma. Ignatius adalah Uskup Antiokhia sesudah Petrus dan Evodius. Eusebius mencatat bahwa Ignatius menggantikan Evodius (Historia Ecclesiastica, II.iii.22).  Theodoret (Dial. Immutab., I, iv, 33a) mencatat bahwa Petrus sendiri yang menunjuk Ignatius untuk menduduki tahta gereja di Antiokhia.

Ignatius ditangkap dan dikirim ke Roma untuk diadili pada pemerintahan Dinasti Trayanus. Ia dibawa melewati jalan-jalan utama dari Asia Kecil bagian selatan dalam penjagaan ketat oleh sepuluh tentara Roma, yang disebut Ignatius sebagai “macan tutul yang biadab atau savage leopards” (Roma 5.1). Perjalanan itu menuju ke barat melewati Efesus, menyeberangi lautan langsung Italia atau Troas. Dekat Laodicea, mereka berhenti sejenak dan tinggal beberapa waktu di Smyrna. Di Smyrna inilah Ignatius bertemu dengan Polikarpus, Uskup Smyrna, Damas, Uskup dari Gereja di Magnesia, yang datang bersama dua penatua jemaat Bassus dan Appolonius serta seorang diakon bernama Zotion. Datang juga Polybius, Uskup Tralles dan Onesimus Uskup Efesus, yang ditemani oleh Burrhus, Crocus, Euplus, dan Fronto.

Selama di tempat itu, Ignatius menulis tujuh surat yaitu Surat kepada jemaat di Efesus, Traller, Magnesia, Roma, Filadelfia, Smyrna, dan Polikarpus. Paling tidak ada tiga hal yang ditekankan Ignatius mengenai Kristianitas pada abad kedua yang tampak dari surat-suratnya. Pertama, Ignatius ingin melihat kesatuan dalam setiap tingkat dalam hidup gereja-gereja lokal yang kepada mereka ia menulis surat. Dalam suratnya ia menyatakan dirinya sebagai seorang yang mendedikasikan dirinya bagi kesatuan Gereja itu. Kedua, dia dengan kehendak kuat menginginkan para jemaat tetap teguh dalam iman melawan kaum heresi, terutama kaum Docetisme yang menyatakan bahwa Inkarasi Kristus, tidak sungguh hadir. Ketiga, Ignatius ingin sekali mendapatkan bantuan dari para korespondennya dalam menyelesaikan panggilannya secara sempurna, yaitu panggilan kepada kemartiran. Paper tesis ini lebih ingin berkonsentrasi pada tulisan Ignatius dari Antiokhia yang secara jelas mengungkapkan pandangannya mengenai kemartiran.

Menurut kesaksian Gereja, Ignatius mati sebagai martir pada tanggal 20 Desember 107. Mengenai tempat kematiannya terdapat dua dugaan, yaitu di Roma dan Efesus. Namun cenderung lebih kuat di Roma, karena dalam suratnya kepada Jemaat di Roma, Ia meminta jemaat untuk tidak berusaha membebaskannya dari hukuman mati yang menghantarnya pada kesatuan dengan Kristus.[1]

  1. Konteks Surat kepada Jemaat di Roma

Dalam ketujuh surat yang ditulis Ignatius dari Antiokhia, kita memiliki satu dari sumber-sumber yang paling kaya untuk memahami Kristianitas di era setelah para Rasul. Menurut Christopher J. Dawe berpendapat bahwa  6 surat dari Ignatius berhubungan dengan hal-hal duniawi misalnya ia mendorong jemaat untuk taat pada kepemimpinan Gerejani dan ajaran-ajaran iman lain yang sifatnya apologetik demi mempertahankan keutamaan-keutamaan Kristiani,  sementara Surat kepada Jemaat di Roma (Epistle to the Romans) berbeda karena melukiskan secara panjang lebar hasrat Ignatius yang besar untuk menghadapi kematian. Selama tinggal di Smyrna, Ignatius menulis surat kepada Jemaat Gereja di Roma, yang berisi mengenai inti refleksi Ignatius tentang kemartirannya.

Ignatius bukanlah martir Kristen pertama, namun dialah orang pertama yang mendekati kematian dengan penuh kegembiraan. Dia juga orang pertama yang menasehati jemaat yang lain untuk mengikutinya dan mencari Kemartiran.[2]

Surat Ignatius kepada Jemaat Gereja di Roma berisi mengenai inti refleksi Ignatius tentang kemartirannya. Surat ini adalah satu-satunya surat Ignatius yang mempunyai tanggal.

  1. Struktur Teks Surat kepada Jemaat di Roma

Struktur teks Surat Ignatius dari Antiokhia kepada Jemaat di Roma dapat dibagi dalam 10 bab yaitu:[3]

Bab I dan II. Dalam kedua bagian ini tampak bahwa Ignatius menyadari ada beberapa individu dalam komunitas jemaat Kristen di Roma, yang berasal dari srata sosial tinggi dalam lingkungan Roma yang mempunyai koneksi dan pengaruh politik untuk dapat membebaskan Ignatius. Ignatius sadar, bahwa jika ia tidak menuliskan sesuatu untuk melarang orang-orang itu menggunakan pengaruh mereka, mereka pasti akan berusaha membebaskan mereka. Maka Ignatius perlu menuliskan sesuatu:

1.2…. Apa yang membuatku kuatir adalah perasaanmu yang baik untukku yang justru mengangguku. Karena kau dapat dengan mudah melakukan apa yang ingin kamu lakukan, padahal sulitlah bagiku untuk mendapatkan Allah jika kamu tidak membiarkanku sendiri. 2.1 Aku tidak ingin kamu menyenangkan manusia, tetapi menyenangkan Allah, sebagaimana yang sedang kamu lakukan. Karena aku tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi seperti ini untuk mendapatkan Allah, begitu juga kamu, jika engkau tetap diam, mendapatkan penghargaan karena perbuatan yang lebih baik. Sebab jika kamu sungguh-sungguh membiarkanku sendiri, orang akan melihat dalam diriku Sabda Allah. Namun, sebaliknya, jika kamu terpikat tubuhku belaka, aku akan menjadi suara yang tak berarti.[4]

Pernyataan Ignatius itu menegaskan bahwa ia meminta jemaat Roma yang berpengaruh untuk tidak melakukan tindakan penyelamatan, sehingga kemartirannya menjadi nyata, dan dapat menjadi pewartaan bagi dunia ketulusan dan kesungguhan hati dari imannya. Pernyataan Ignatius untuk menjadi Kristen akan lebih tampak melalui kemartiran dari pada sekedar kata-kata. Pernyataan itu akan dibuktikannya melalui perbuatan yaitu melalui tindakan kemartiran.

Bab III. Ignatius meminta para Jemaat Roma untuk mewujudkan ajaran-ajaran yang telah mereka terima dan ajarkan. Ignatius menulis, “berdoalah supaya aku mempunyai kekuatan jiwa dan raga sehingga aku tidak hanya berbicara [soal kemartiran], namun sungguh menginginkannya.”[5] Ignatius meminta doa para jemat supaya keteguhan hatinya memperlihatkan realisasi iman yang sejati.

Bab IV.  Ignatius meminta supaya para jemaat membiarkan dirinya menjadi mangsa binatang-binatang buas. Sekali lagi Ignatius mengingatkan jemaat untuk tidak melakukan sesuatu untuk membebaskan dirinya dari penganiayaan. Ia mengumpamakan dirinya sebagai gandum milik Allah yang dibentuk melalui gigi-gigi binatang buas menjadi Roti yang murni bagi Kristus.

Bab V. Ignatius mengungkapkan hasratnya pada kematian.

Bab VI. Ignatius menyatakan bahwa lewat kematian, ia akan mencapai kehidupan yang sejati.

Bab VII. Ia mengungkapkan alasan mengapa ia sangat berhasrat pada kematian. Meski demikian, Ignatius kuatir bahwa pada akhirnya, keberaniannya menjadi sirna dan meminta bantuan jemaat Roma untuk membebaskannya. Oleh karena itu ia meminta mereka untuk tidak menghiraukan jika hal itu terjadi, “jika tibalah waktunya, aku mengajukan permintaan yang berbeda, jangan hiraukan. Lebih baik perhatikan apa yang sekarang aku tuliskan kepadamu.[6]

Bab VIII. Ignatius memohon doa dari jemaat Roma supaya ia mampu menghadapi kematiannya, dan mampu menyingkirkan keraguannya.

Bab IX. Ignatius meminta jemaat di Roma untuk mendoakan jemaat di Syiria.

Bab X.  Kesimpulan.

 

  1. Pokok Tesis Ignatius mengenai Kemartiran

Paling tidak ada tiga hal pokok tesis Ignatius tentang kemartiran dalam suratnya kepada jemaat di Roma:[7]

  • Kemartiran sebagai “Imitation” dan “Renunciation

Menurut Ignatius, kemartiran adalah kesempurnaan dalam mengikuti jejak Kristus (the perfect imitation of Christ). Partisipasi manusia pada sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus tidak dapat terpenuhi secara penuh kecuali dengan kemartiran. Dalam konsepnya, kemartiran adalah tanda dari kemuridan yang sejati pada Penyelamat kita, yang telah mengurbankan hidupNya untuk kita. Oleh karena itu, Gereja dipanggil untuk menjadi tempat pengurbanan diri.

Mengapa ia berkehendak untuk mati? Pertama, Ignatius yakin bahwa kemartirannya akan menyenangkan Allah. Sebagaimana ia sendiri menyatakan dengan penuh keyakinan tentang hasratnya untuk mati bagi Kristus: “aku menulis ini sekarang bukan semata sebagai seorang manusia belaka, tetapi aku menyatakan pikiran Allah”.[8] Ia menggunakan istilah untuk menyebut dirinya sendiri sebagai “Gandum milik Allah” (His wheat) yang dibentuk oleh gigi-gigi binatang buas menjadi “roti paling murni bagi Kristus” (the purest bread for Christ) untuk menyatakan kesadarannya bahwa Allah sendirilah pengarang Kemartiran. Akibatnya, Allah harus disenangkan dengan mereka yang mati demi imannya akan Kristus.

Mengapa kemartiran itu menyenangkan Allah? Ignatius memahami kemartiran itu sebagai jalan mengikuti jejak kematian Kristus (an imitation of the death of Christ). Kepada jemaat di Roma, Ignatius menulis: “Perkenankanlah aku mengikuti Jejak Sengsara Allahku”.[9] Jika Allah telah “disenangkan” dengan kematian PuteraNya bagi para pendosa, kematiannya (Ignatius) karena iman dalam Kristus juga menyenangkan Allah.

Kemartiran juga sebuah ekspresi dan puncak penolakan Ignatius pada dunia.[10] Ia menulis, “Semua akhir dari dunia, semua kerajaan dunia tidak akan menjadi sebuah keuntungan bagiku; sejauh yang ku anggap penting, mati dalam Yesus Kristus lebih baik dari pada menjadi penguasa batas-batas terluas dunia.[11] Kemartiran dengan membawa pada permulaan tema kunci dari banyak ajaran dan keyakinan Gereja awal: dunia, dalam konteks ini adalah dunia Kekaisaran Romawi, bukanlah sahabat Gereja maupun. Satu dari tulisan Ignatius yang paling kuat menggemakan tema penolakan ini datang dari suratnya kepada jemaat di Roma: “hasrat keduniawian telah disalibkan dan di dalam diriku tak ada lagi percikan hasrat untuk hal-hal duniawi, namun hanya ada sebuah bisikan air yang hidup yang membisik dalam diriku” Datanglah kepada Bapa”.[12]

Kata air yang yang hidup (the living water) adalah sebuah kiasan yang digunakan Yesus dalam Yoh: 37-39 yang menyamakan Roh Kudus dengan “aliran-aliran air yang hidup”. Oleh karena itu, Ignatius merasa bahwa Roh Kuduslah yang berkata dalam diri Ignatius “Datanglah kepada Bapa”. Roh Kuduslah yang memadamkan hasrat keduniawiannya dan yang mendorong Ignatius untuk datang kepada Bapa. Roh Kudus pulalah yang memimpin Ignatius kepada Bapa melalui jalan kemartiran. Tulisan Ignatius ini menunjukkan sebuah pemahaman yang mendalam mengenai pertentangan antara Roh Kudus dengan “hasrat duniawi” serta kesadaran bahwa kemartiran, dalam hal ini, adalah sebuah karunia Roh Kudus.

  • Kemartiran sebagai sebuah jalan Kemuridan

Daniel N. McNamara mencatat bahwa dalam Surat-suratnya, Ignatius dari Antiokhia menuliskan bentuk jalan kemuridan Kristiani dapat dijalani dalam dua jalan yang berbeda.[13] Pertama, pemahaman mengenai jalan kemuridan itu ditempatkan pada devosi orang-orang Kristen kepada Tuhan Yesus. Kedua, Ignatius mengungkapkan harapan bahwa dia akan disebut sebagai seorang murid Kristus dalam konfrontasinya dengan kematian sebagai seorang martir.

Bagi Ignatius, jalan kemuridan melalui kemartiran ini adalah jalan yang paling jelas untuk mengungkapkan devosi personalnya kepada Kristus dan penolakannya kepada dunia. Namun, ia sungguh sadar bahwa ada cara lain untuk sampai kepada Kristus. Meskipun Ignatius melihat jalan kemartiran sebagai jalan yang paling jelas baginya untuk sampai kepada Kristus, namun Ia tidak pernah menyerukan secara langsung dan terang-terangan bahwa kepada jemaat beriman di Roma, dan juga jemaat-jemaat lainnya, untuk mengikuti jejaknya sebagai seorang Martir.

  • Kemartiran sebagai Jalan untuk Mempertahankan Iman

Ignatius juga menekankan kemartirannya adalah jalan untuk mempertahankan iman dan melawan serangan dari ajaran bidaah yang mengancam kesatuan jemaat setidaknya kesatuan gereja di Smyrna dan Tralles. Ajaran bidaah itu adalah kaum Docetisme, yang menyangkal kematian Kristus dan menyatakan bahwa penderitaan Kristus tidaklah sungguh-sungguh.

Dalam suratnya kepada jemaat di Smyrna, Ignatius membuat sebuah hubungan yang sangat kuat antara kematiannya sendiri dengan kematian Kristus. Ia menuliskan bahwa Kristus sungguh ditembusi oleh paku-paku dalam daging manusiawinya dan sungguh menderita. Keyakinan Ignatius ini menjadi penting untuk melawan para heretik dan menekankan bahwa “penderitaan Kristus adalah bukanlah sebuah ilusi yang tidak nyata” (no unreal illusion). Demikian juga mengenai kebangkitan Kristus. Ignatius yakin dan percaya bahwa Kristus sungguh nyata dalam daging manusiawi, bahkan setelah kebangkitanNya. Ignatius menemukan bukti dari pernyataannya tentang kebangkitan itu dalam Lukas 24, dimana Kristus menampakkan diri kepada para muridNya, menantang ketidakpercayaan mereka, dan mendesak mereka untuk makan dan minum bersamaNya (bdk. Smyrna 3.1-2).

  1. Kritik terhadap Ajaran Ignatius mengenai kemartiran

Hasrat Ignatius untuk mengalami kemartiran tidak selalu dapat diterima oleh semua orang. Ada beberapa orang menilai bahwa hasrat Ignatius mengenai kemartiran merupakan tanda bahwa Ignatius adalah seseorang yang secara mental tidak seimbang (man mentally unbalanced). Michael A.G. Haykin mencatat bahwa W.H.C.Frend yang menulis sebuah karya studinya monumental Martyrdom and Persecution in the Early Church, mendeskripsikan surat-surat Ignatius mempertunjukkan sebuah pernyataan yang hampir “menyerupai seorang maniak”.[14] G.E.M. de Ste Croix secara blak-blakan menyatakan bahwa Ignatius mempunyai sebuah “kerinduan patologis” pada kematian. Croix menilai bahwa kata-kata Ignatius yang sangat berhasrat pada kematian, melarang jemaat Roma membebaskannya, dengan berani ingin mati dengan “dibakar, disalib, disiksa, pada seluruh tubuhnya” (bdk Rom 4. 1-2, 5. 2-3) adalah tanda menyakinkan dari sebuah “mentalitas yang tidak normal (an abnormal mentality)”.[15]

  1. Kontribusi ajaran Ignatius mengenai Kemartiran

Gagasan Ignatius tentang kemartiran memberikan kontribusi tersendiri khususnya bagi jemaat Gereja awal. Ia menawarkan sebuah jalan yang baru untuk mencapai kesatuan dengan Allah. Menurut Mitchel F. Cordes, tindakan Kemartiran Ignatius menjadi sebuah inspirasi bagi begitu banyak orang untuk berani menghadapi kematian sebagai martir demi imannya akan Yesus Kristus. Meskipun sebelum Ignatius, para Rasul sudah menjadi martir (misalnya Petrus dan Paulus yang menjadi martir pada jaman pemerintahan kaisar Nero), namun dialah yang secara jelas menghubungkan kemartiran sebagai usaha mengikuti jejak Kristus secara sempurna.[16]

Kemartiran pun merupakan sebuah karunia luar biasa dan bukti cinta kasih tertinggi. Dokumen Konsili Vatikan II, yaitu Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium 42, mengamini bahwa sudah sejak permulaan ada orang-orrang Kristiani yang telah dipanggil, dan selalu memberi kesaksian cinta kasih tertinggi di hadapan semua orang khususnya di muka penganiaya. Kesaksian cinta kasih tertinggi itu adalah menyerahkan nyawa untuk Dia dan saudara-saudaranya (bdk. Yoh 15:13; 1Yoh 3:16). Gereja memandang kemartiran itu sebagai karunia luar biasa dan bukti cinta kasih tertinggi, sebagaimana sang Guru yang dengan rela menerima wafatNya demi keselamatan dunia.

Katekismus Gereja Katolik juga memberikan pemahaman mengenai kemartiran sebagai jalan untuk memberikan kesaksian untuk kebenaran. Kewajiban orang Kristen adalah untuk ambil bagian dalam kehidupan Gereja, mendorongnya supaya bertindak sebagai saksi Injil dan untuk segala kewajiban yang mengalir di dalamnya. Kesaksian ini melanjutkan iman dalam kata dan perbuatan (KGK 2472). Martirium adalah kesaksian paling agung yang dapat diberikan orang untuk kebenaran iman; itulah kesaksian sampai mati. Seorang martir memberikan kesaksian untuk Kristus yang telah wafat dan bangkit dan yang denganNya ia terikat melalui kasih (KGK 2473).

DAFTAR PUSTAKA

 

Cordes Mitchel F.,

2012    “Ignatius of Antioch: A True Roman,” dalam Chrestomathy Vol. 11.

Croix G.E.M. de Ste.,

2006    Christian Persecution, Martyrdom, and Orthodoxy, Oxford University Press Inc., New York.

Dave, Christopher J.,

2009    “Joyful Martyr? A Brief look at Montanistic Interpolation in Ignatius’ Epistle to the Romans”, dalam Journal Studia Antiqua 7.2.

Haykin, Michael A.G.,

“Come to the Father: Ignatius of Antiokhia and his Calling to be a Martyr”, dalam Themeleos, 32/3.

Konferensi Waligereja Indonesia,

1993    Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, Jakarta.

Katekismus Gereja Katolik, Percetakan Arnoldus, Ende.

Schaff, Philip,

1867    ANF01. The Apostolic Fathers with Justin Martyr and Irenaeus, Christian Classics Ethereal Library, Edinburgh.

Wellem, F.d.,

2005    Hidupku Bagi Kristus, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

[1] F.d. Wellem, Hidupku Bagi Kristus, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2005, 73.

[2] Christopher J. Dave, “Joyful Martyr? A Brief look at Montanistic Interpolation in Ignatius’ Epistle to the Romans”, dalam Journal Studia Antiqua 7.2, (2009), 61.

[3] Pembagian struktur teks surat ini mengikuti apa yang dibuat oleh Philip Schaff dalam ANF01. The Apostolic Fathers with Justin Martyr and Irenaeus, Christian Classics Ethereal Library, Edinburgh, 1867, 105-112.

[4] Terj-1.2….What I fear is your generosity which may prove detrimental to me. For you can easily do what you want to, whereas it is hard for me to get to God unless you let me alone. 2.1 I do not want you to please men, but to please God, just as you are doing. For I shall never again have such a chance to get to God, nor can you, if you keep quiet, get credit for a finer deed. For if you quietly let me alone, people will see in me God’s Word. But if you are enamored of my mere body, I shall, on the contrary, be a meaningless noise. (Roma 1.2-2.1).

[5] Terj-3.2 Just pray that I may have strength of soul and body so that I may not only talk [about martyrdom], but really want it (Roma 3.2).

[6] Terj- If, when I arrive, I make a different plea, pay no attention to me. Rather heed what I am now writing to you (Roma 7.2).

[7] Michael A.G. Haykin, “Come to the Father: Ignatius of Antiokhia and his Calling to be a Martyr”, dalam Themeleos, 32/3, 34.

[8] Terj- I have written prompted, not by human passion, but by God’s will. (Roma 8.3)

[9] Terj- Leave me to imitate the Passion of my God (Roma 6.3).

[10] Michael A.G. Haykin, “Come to the Father: Ignatius of Antiokhia and his Calling to be a Martyr”, 35.

[11] Terj-All the ends of the earth, all the kingdoms of the world would be of no profit to me; so far as I am concerned, to die in Jesus Christ is better than to be monarch of earth’s widest bounds” (Roma 6.1)

[12] Terj- Earthly longing have been crucified (ho emos erōs estaurōtai) and in me there is left no spark of desire for mundane things, but only a murmur of living water (hydōr zōn) that whispers within me, “Come to the Father” (Roma 7.8)

[13] Daniel N. McNamara, Ignatius of Anthioch On His Death:  Discipleship, Sacrifice, Imitation sebagaimana dikutip oleh Michael A.G. Haykin, “Come to the Father: Ignatius of Antiokhia and his Calling to be a Martyr”, 37.

[14] Michael A.G. Haykin, “Come to the Father: Ignatius of Antiokhia and his Calling to be a Martyr,”, 27.

[15] G.E.M. de Ste. Croix, Christian Persecution, Martyrdom, and Orthodoxy, Oxford University Press Inc., New York 2006, 133.

[16] Mitchel F. Cordes, “Ignatius of Antioch: A True Roman,” dalam Chrestomathy Vol. 11(2012), 51.

SEPUTAR FILSAFAT KONTEMPORER

RINGKASAN MATA KULIAH SEJARAH FILSAFAT KONTEMPORER

 Ajaran Durkheim mengenai Totem:

Durkheim memandang agama lebih pada sisi sosiologis. Maka agama baginya “hanya” semacam Totem. Totem adalah gambar binatang yang menjadi objek penyembahan masyarakat. Totem bukan dewa, karena dari dalam dirinya tidak ada nilai-nilai religius/transendensi. Totem lebih sebagai simbol yang kuat dari sebuah suku bangsa yang mempunyai daya perekat atau pemersatu semua anggota dalam suku/masyarakat tertentu (lebih bernilai sosial).  Masyarakat  atau sosialitas sendirilah yang berperan sebagai dewa dan mempunyai wibawa moral karena idealitasnya yang tinggi. Maka individu yang takut kepada Totem, berarti takut pada masyarakatnya sendiri. Ini diperlukan agar mereka taat dan setia pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Perbedaan Logika Formal (logika simbol) dan logika klasik (Aristoteles)

Logika adalah pengetahuan tentang forma, bukan materi; yaitu abstraksi atau generalisasi umum dari materi maupun ide-ide.

Pembeda Logika Klasik (Aristoteles) Logika Formal
Tujuan Logika adl alat (organon) untukmengutarakan kebenaran atau kenyataan Logika kepentingannya mencapai kepastian Ilmiah, kelurusan penalaran
Bentuk pernyataan Menggunakan pernyataan-pernyataan berupa frase atau kalimat, misalnya “silogisme” Mengganti pernyataan frase/kalimat dengan simbol
kepastian Pernyataan dalam bentuk frase/kalimat mengandung unsur ketidakpastian (kondisional), bukan murni konsep/pemikiran tetapi common sense (perasaan), belum menjamin kepastian Memperlihatkan kepastiandengan mengikuti polamatematika (Gootlob Frege)
Peran logika Hanya sebagai sarana (organon) Justru menjadi objek kajian pokok sebagai hukum-hukum pemikiran
Forma-materia Pemikiran (forma) dan pengalaman(material) masih tercampur misal: Bapak-Ibu dalam bhs Indonesia Pemikiran dan pengalaman sudah mulai dibedakan

Pokok Pemikiran Wittgenstein

Wittgenstein I (semasa di Jerman Austria)

Pada periode pertama, pemikiran Wittgenstein dikenal sebagai paham Picture Theory (teori gambar) dalam buku yang berjudul Tractatus logico-philosophicus. Teori ini menjelaskan peran bahasa yang melukiskan kenyataan yang ada secara tepat dan konsekuen. Sesuatu yang tidak nyata, atau non pengalaman indrawi tidak dapat diungkapkan dalam bahasa. Baginya, gambar bukan sesuatu yang dapatmelukiskan kesamaan material belaka, melainkan kesamaan struktural. Jadi sesuatu yang tak dapat dilukiskan, bukan merupakan sebuah kenyataan atau fakta. Dengan kata-kata seseorang ingin melukiskan kata-kata.

Wittgenstein berpendapat bahawa fakta merupakan hal yang kita alami (bdk. pandangan Aguste Comte). Setiap fakta adalah “primitive sign” di mana kehadirannya menjadi petunjuk atau tanda. Setiap kata dalam bahasa menerangkan fakta. Dengan demikian kumpulan kata menerangkan fakta yang lebih besar. Menurutnya pula, konsep “Ada” bisa dinyatakan dalam pernyataan atau preposisi dan setiap preposisi bernilai sama.

Berkaitan dengan bahasa, Wittgenstein yakin bahwa filsafat bertugas menjelaskan fungsi dan peran bahasa dan bahasa itu bisa dijelaskan jika merupakan hasil pengalaman inderawi. Maka berbicara mengenai fakta dalam bahasa harus berasal dari realitas riil. Suatu bahasa jika tidak ada kenyataan bukanlah sebuah deskripsi atau penjelasan namun sebuah ajaran yang spekulatif. Pandangannya ini mempunyai konsekuensi logis. Karena fakta itu adalah kenyataan, maka pembicaraan mengenai fisafat spekulatif atau metafisika bukanlah sebuah kenyataan. Memang ia menerima agama, namun hanya sebatas sebuah fakta sosial karena secara inderawi ada. Namun isi ajaran agama atau morallah yang hanya omong kosong, karena bersifat spekulatif karena berangkat dari penalaran.

Wittgenstein II (Kembali ke Cambridge)

Sekembali dari Cambridge, Wittgenstein mulai memunculkan gagasan baru mengenai bahasa, karena ia menyadari pandangannya pada periode pertama kurang berhasil. Bahasa mulai dipahami dalam konteks pemakaiannya, tidak sebagai hukum yang terlepas atau terpisah dari kondisi aktual. Pemikirannya ini ia rumuskan dalam bukunya Philosophical Investigations dengan istilah Language Games atauPermainan Bahasa. Menurut pandangan ini, bahasa berperan tergantung dimana ia digunakan. Misalnya aturan bahasa permainan Basket yaitu menggunakan tangan dan tidak boleh menggunakan kaki, hanya akan berperan efektif jika diterapkan dalam pertandingan atau permainan bola basket. Aturan ini tidak akan efektif atau baik jika digunakan pada pertandingan atau permainan sepakbola, karena Sepakbola mempunyai aturan atau bahasanya sendiri.

Dengan demikian, bahasa tidak lagi hanya ditangkap dalam pengertian semantik sempitdalam batasan morfem, melainkan dalam keseluruhan kekayaan ekspresi manusia, termasuk yang di luar logika atau penalaran. Hal ini berarti Wittgenstein menghargai penggunaan bahasa sehari-hari yang mempunyai nuansa yang kaya.

Pendirian dasar dan ciri-ciri Neo- Positivisme

Hanya ada satu sumber pengetahuan saja, yaitu pengalaman

Suatu ungkapan (preposisi) hanya punya arti jika dapat diperiksa lewat fakta yang dapat diamati secara inderawi.

Ciri-ciri:

-Memisahkan dengan tegas pengetahuan empiris dan dalil-dalil logika yang merupakan sarana pengolahan. (bdk. A. Comte masih mencampurnya)

menolak metafisika (agama-moral-sastra) karena dianggap sbg getaran jiwa (the emotional use of language)

menolak pengkhususan ilmu-ilmu kemanusian dari ilmu alam, semua ilmu harus menggunakan satu-satunya bahasa ilmiah yang logis dan ketat.

-Tokoh Moritz Schilck (tugas filsafat hanya klarifikasi arti, bahasa universal utk komunikasi semua ilmu), Rudolf Carnap (pernyataan tidak dpt benar/salah lewat pengalaman inderawi adalah pernyataan tak berarti/non sense, kembangkan arti pangalaman baru untuk ilmu-ilmu baru mis fisika atom)

ANTARA BEKAKAK DAN TUJUH BELASAN: SEBUAH IRONI KEHIDUPAN

 

Pengantar

Seorang tokoh Filsuf Kontemporer, Ludwig Wittgenstein, dalam bukunya Philosophical Investigationsmencetuskan gagasan mengenai Bahasa. Baginya bahasa tidak lagi hanya ditangkap dalam pengertian semantik sempit dalam batasan morfem, melainkan dalam keseluruhan kekayaan ekspresi manusia, termasuk yang di luar logika atau penalaran. Begitu juga dengan sebuah bahasa dalam Film “Laskar Pelangi”, bukan hanya sebuah sekual yang mau menceritakan realita edukasi yang ironis belaka, yaitu keperkasaan kapitalisme dalam menciptakan ruang dan jarak yang makin lebar antara kaum rendahan dan empunya. Kisah ini juga kaya akan makna diluar semantik sempit sebatas dalam benak penulis atau sang sutradara bila eksplorasi kisah makin kreatif dan jeli.

Tulisan singkat ini mau melihat apakah film ini juga berbicara bagi kami, terkait dengan tulisan dan penelitian. Pusat sorotan pada sebuah adegan, semakin mempertajam eksplorasi kisah dan makna khususnya terkait dengan penelitian kami mengenai Tradisi Bekakak di Gamping. Kemiripan-kemiripan makna yang muncul dalam film yang diwakili oleh adegan “Festival Tujuh belasan” diharapkan semakin memperkaya tulisan kami.

Festival “Tujuh Belasan”: sebuah Ironi Pendidikan

Dalam film Laskar Pelangi acara “Tujuh Belasan” ditampilkan dengan cukup menarik perhatian dan kerutan dahi. Adegan yang ditampilkan dalam film ini terlihat sedikit kontras. Untuk sebuah sekolah kaya, yang didukung dengan finansial oleh raksasa pertambangan timah dunia mungkin rangkaian acara ini bukan menjadi hal yang istimewa bahkan menjadi hal biasa. Maka untuk memeriahkan acara tersebut bisa dengan cepat akan dipersiapkan dan dilaksanakan, tentu dengan biaya yang tak sedikit demi sebuah harga diri sebagai juara bertahan. Akan tetapi, berbeda halnya dengan sekolah yang berasal dari keterbatasan dalam segala-galanya.

Adegan yang menarik dalam kisah “Tujuh Belasan” ini adalah saat sekolah miskin Muhammadiyah Gantong, ditawari untuk ikut lomba. Bu Muslimah sebagai guru sekolah ini,merasa sedikit kebingungan dalam mempersiapkan lomba “Tujuh Belasan” ini terutama untuk lomba karnaval, apa yang mau dipersiapkan, biayanya dari mana, dan lain sebagainya meski punya tekad untuk turut serta. Respon murid amat mengejutkan.  Mereka senang hati dan segera mengadakan persiapan yang matang serta kreatif. Untuk menghibur sang guru, salah seorang murid menyatakan kesanggupannya untuk menjadi koordinator dalam mempersiapkan karnaval ini “serahkan saja padaku dan alam, maka semua beres!” Lalu si-murid mencoba memanfaatkan segala yang ada, daya kreatifnya, daya juangnya dan akhirnya dikomunikasikan kepada teman-teman yang lain. Semuanya dengan alat dan bahan yang sangat sederhana. Daun-daun dan buah menjadi sarana pelengkap dalam ajang kreasi ini.

Setiap tanggal 17 Agustus, Negara Kesatuan Republik Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Untuk memperingati hari yang bersejarah seringkali diadakan lomba baik antar desa, antar sekolah maupun untuk kalangan sendiri. Tujuan dari lomba “Tujuh Belasan” (istilah yang lazim untuk menyebut peristiwa tersebut) adalah untuk menjalin persatuan dan kesatuan, karena kemerdekan bukan hanya untuk golongan tertentu, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia. Pengenangan akan jasa para pahlawan semestinya menjadi yang utama, saat dengan keterbatasan dalam segala-galanya berani menyatakan diri merdeka. Makna itu nampaknya kabur dimata sebuah sekolah kaya, yang nampak kuat menonjolkan gengsi dan mengeruk keuntungan demi sebuah nama. Dana banyak digelontorkan untuk mempertahankan sebuah gelar juara bertahan, tanpa pernah sadar makna festival itu sendiri. Film ini nampaknya ingin berbicara lebih. Festival semestinya menjadi ajang menampilkan kreatif dan keberanian dalam keterbatasan dan kesederhanaan. Hal ini diwakili oleh kemenangan kreatif- miskin nan berani dari sebuah sekolah Muhammadiyah.

Selain itu, dalam film ini ada satu hal yang mengalami pergeseran fungsi dan makna dari “Tujuh Belasan” itu sendiri. Memang usia kemerdekaan yang diperingati saat itu ditampilkan dan kemeriahan juga ditayangkan dengan sangat dominan. Sedangkan upacara bendera yang menjadi upacara resmi dan sentral malahan tidak ditampilkan. Bisa jadi bahwa film ini menjadi kritik sosial untuk jaman ini, karena hanya segi kemeriahan yang ditonjolkan dan bukan maknanya bagi peristiwa itu. Dan agaknya pemaknaan peristiwa 17 Agustus-Hari Kemerdekaan RI sudah tidak menjadi penting untuk dimaknai lebih mendalam sesuai dengan esensinya.

Totemisme dalam Tujuh Belasan

“Tujuh Belasan” dari film Laskar Pelangi adalah mengenai keterlibatan SD Muhammadiyah Gantong untuk pertama kalinya dalam festival tersebut. Dari hal menarik ini, kami mencoba untuk menghubungkannya dengan teori-teori dalam Sosiologi Agama atau dalam riset penelitian kelompok kami mengenai Bekakak.

Teori yang coba kami angkat dan kami hubungkan dengan hal yang menarik dalam film Laskar Pelangi adalah totemisme. Menurut Durkheim, totem merupakan sebuah simbol dan juga merupakan sesuatu yang konkrit, gamabaran nyata dari kehidupan manusia. “Tujuh Belasan”  merupakan peristiwa tahunan yang dirayakan oleh segenap warga negara Indonesia. Sebuah masyarakat atau warga negara membutuhkan komitmen individu. Komitmen ini tidak akan ada kecuali melalui kesadaran individu. “Tujuh Belasan” merupakan festival yang menggembirakan bagi Bangsa Indonesia, maka pada saat festival itu, individu telah menghilangkan diri pribadinya dan melebur dalam kerumunan massa.

Dalam festival itu pula, individu-individu meninggalkan keseharian dan kepentingan mereka yang membosankan untuk berpindah kepada keadaan yang lebih umum. Peristiwa atau festival “Tujuh Belasan” ini adalah suatu masa untuk melalukan hal-hal yang bersifat komunal yang dipenuhi oleh berbagai energi, antusiasme, kenyamanan, komitmen pribadi dan merasa terlindungi. Dari peristiwa inilah semagat bangsa lebih dikuatkan dan masing-masing individu dipersatukan menjadi satu kesatuan bangsa.

Dalam festival “Tujuh Belasan” dari film Laskar Pelangi menyiratkan sebuah harapan yaitu semangat kerjasama dan solidaritas. Menurut kelompok kami, festival “Tujuh Belasan” tersebut mengandung sebuah arti mendalam di mana setiap warga masyarakat saling membaur dan menyatukan diri dalam masyarakat yang lebih umum.

Festival mejadi semacam identitas masyarakat untuk semakin menguatkan peran masyarakan sebagai sebuah kesatuan. Melalui festival, orang diingatkan akan jati diri mereka, sehingga festival itu bukan peristiwa biasa, namun ada nilai sakral yng coba dibangun dan dipertahankan sebagai sebuah identitas.

Antara“Bekakak” dan “Tujuh Belasan” : Sebuah Ironi Kehidupan

            Bekakak adalah sebuah fenomena kebudayaan jawa yang terdapat di daerah Gamping D.I Yogyakarta. Upacara tradisional ini mempunyai makna kurban, demi keselamatan atau ketentraman masyarakat. Ritual dimulai oleh Sultan Hamengku Buwono 1 untuk merespon malapetaka gunung Gamping sebagai akibat kemarahan Nyai Poleng. Namun korbannya bukan manusia yang hidup, melainkan replika sepasang pengantin yang terbuat dari tepung beras dan gula merah sebagai darahnya. Gunung Gamping merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat  sekitar. Namun, penggalian batu Gamping yang sulit dan berbahaya, dan bahkan sering kali memakan korban manusia. Oleh sebab itu,  akhirnya upacara Bekakak ini mengalami pergeseran makna menjadi mohon keselamatan bagi para penambang batu Gamping.

Seiring perkembangan jaman, upacara adat ini turut mengalami perkembangan signifikan, baik dari segi peserta maupun transportasi. Awalnya, peserta yang hadir terbatas pada para abdi dalem, keluarga dari kalangan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan masyarakat di sekitar Desa Ambarketawang, sedangkan masyarakat umum hanya bisa menjadi penontonnya saja. Namun kini upacara adat itu telah dihadiri para peserta yang mengikuti ritual upacara adat ini pun berasal dari berbagai macam penjuru tanah air. Transportasi yang digunakanpun juga menyesuaikan, kereta mini dihadirkan khusus untuk mengantarkan pengunjung ke Gunung Gamping. Upacara Bekakak Saparan kini telah menjadi salah satu agenda Wisata, Kabupaten Sleman, yang mampu mendatangkan para wisatawan baik domestic maupun mancanegara, dengan implikasi meningkatnya profit baik Pemda maupun masyarakat sekitar.

Film ‘Laskar pelangi’, khususnya dalam adegan “Tujuh Belasan” mengingatkan kita akan esensi dan semangat awal “festival” Bekakak. Aksi anak ‘Laskar Pelangi’ dalam “Tujuh Belasan” menampilkan sebuah kealamian, kreatif dan kembali pada aslinya, sederhana. Peristiwa ini menyadarkan masyarakat bahwa peringatan “Tujuh Belasan” bukanlah sekedar perayaan meriah dengan biaya yang besar,  namun lebih pada semangat kesatuan dan kecintaan pada negara. Dalam keterbatasannya, anak-anak menyuguhkan sesuatu yang sederhana, dan hampir dilupakan bangsanya, yakni tarian khas daerahnya. Namun hal ini rupanya mengelitik hati para juri dan membuat banyak orang terpesona dan bersorak gembira. Sebagai bukti nyata, merekapun akhirnya dapat mengalahkan SD Timah yang sebelumnya menjadi juara bertahan. Semangat kesederhanaan mereka mengingatkan kita akan semangat kesederhanaan yang ada dalam diri para pejuang pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Bekakak sebagai warisan adat yang mempersatukan masyarakat pun juga dituntut kembali kepada semangat awalnya. Bekakak, jika jatuh dalam sekedar peringatan ritual saja, akan kehilangan wibawa dan kesakralannya. Kesakralan dan keasliannya yang melemah  juga akan membuat tujuan pemersatu menjadi luntur. Jangan sampai keduanya menjadi semacam ironi kehidupan; pergeseran tujuan murni nan mulia, menjadi semacam ambisi pribadi ataupun komunal demi sebuah profit.

Penutup

Sebuah festival ternyata mampu berbicara banyak sebagai bahasa yang paling memungkinkan untuk mengungkapkan ekspresi sekaligus kerinduan manusia akan sesuatu yang ingin dikenangkan. Hal itu nampak dalam kedua festival. Keduanya mampu menjadi semacam penegasan akan identitas masyarakat yang diwakili dalam festival tersebut. Pada mulanya adalah suci dan sakral. Namun, seiring perkembanganya jaman, lambat namun pasti pergeseran makna tak mampu dihindarkan. Ambisi pribadi dan kehendak untuk meraup keuntungan dari  festival itu justru melahirkan sebuah ironi kehidupan. Yang dibutuhkan adalah kemauan bersama untuk mengembalikan setiap peristiwa pada esensi atau rohnya. Dengan demikian, identitas itu semakin nyata dan mampu menegaskan apa yang mau diwakili melalui sebuah peristiwa pengenangan. Semoga!