ALOYSIUS PIERIS: BERINKULTURASI DALAM KEMISKINAN DAN KERELIGIUSAN ASIA

 

 

  1. Pengantar

Inkulturasi adalah tantangan Gereja sepanjang masa yang menuntut dirinya sendiri untuk senantiasa memperbarui diri sesuai konteks jaman (ecclesia semper reformanda est). Apalagi, dalam situasi jaman ini, Gereja berada di tengah dunia dengan segala bentuk kemajemukan dan pluralitas di segala lini kehidupan: sosial, politik, budaya, religius. Bagaimana injil itu dapat dihayati, sesuai dengan konteks jaman dan realitas konkret di mana Gereja hadir termasuk di kawasan Asia. Salah satu tokoh yang mencoba membangun teologi dan inkulturasi dalam konteks Asia adalah Aloysius Pieris yang berusaha mempertemukan warta Injil dengan kemajemukan agama-budaya Asia dan realitas kemiskinan yang nyata.

Paper ini hendak memaparkan refleksi teologis Pieris dalam memandang inkulturasi dalam konteks realitas yang di hadapi oleh orang-orang Kristen di Asia, khususnya ketika berhadapan dengan kemiskinan yang masif-dominan, dan kemajemukan religiusitas di Asia.

 

  1. Riwayat hidup Pieris

Aloysius Pieris lahir di Ampitiya, Sri Lanka tahun 1934. Ia bergabung dengan Serikat Yesus pada usia 19 tahun dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan gelar licenciat filsafat di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India pada tahun 1959. Ia juga meraih gelar BA dalam Bahasa Sansekerta dan Pali dari Universitas London. Pada tahun 1972, Pieris berhasil menjadi orang Kristen pertama yang memperoleh gelar doktor dalam Filsafat Budha dari Universitas Sri Lanka. Kemudian ia mengajar Filsafat Budha di Universitas Gregoriana, Roma. Namun, ia memutuskan untuk kembali ke negaranya dan mendalami praksis hidup layaknya penganut ajaran Budha.

Pieris mulai membentuk komunitas sendiri dekat Universitas Budha di Kelayina, sebelah utara Kolombo. Kelompok ini berkembang pesat dan menjadi Pusat Riset dan Dialog Antaragama, yang dinamakan “Tulana”. Pusat riset ini bertujuan untuk mendorong dialog antara umat Budha dan Kristen pada basis tiga lapis. Pertama, penelitian mengenai cara umat biasa menghayati keberagamannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, studi teks-teks filosofis Budhisme dan membangun dialog dengan para pengajar dan mahasiswa. Ketiga, refleksi teologis, dalam konteks Budhisme demi tranformasi sosial.

Pieris memiliki beberapa karya berupa tulisan-tulisan berbentuk artikel dalam berbagai jurnal ilmiah. artikel-artikel itu kemudian dikumpulkan disatukan dalam bentuk buku. Ada buku penting yang menegaskan gagasan teologisnya. Buku pertama berjudul An Asian Theology of Liberation yang mengulas persoalan tentang banyaknya realitas kemiskinan di Asia dan kemajemukan religiusitas di Asia. Buku kedua berjudul Love Meets Wisdom: A Christian Experience of Buddhism yang menyajikan tema tentang kehidupan doa dan kontemplatif.

 

 

  1. Latar Belakang Pemikiran Pieris

Ada beberapa hal yang mempengaruhi sekaligus membentuk gagasan dan pemikiran Pieris. Pertama, pengalaman dan keterlibatan hidupnya. Pieris mengakui bahwa teologinya terinspirasi oleh dua pengalaman fundamental di Asia: pengalaman berkubang dalam studinya tentang Budha dan penelusurannya pada kemiskinan masif Asia.[1]

Kedua, pengaruh Konsili Vatikan II. Bagi Pieris, Konsili Vatikan II adalah titik tolak bagi refleksinya. Itulah yang muncul dalam pikirannya ketika ia bergabung dengan rekan-rekannya di Asia, yang berusaha menerapkan semangat aggiornamento dari ajaran-ajaran Konsili pada konteks Asia dan memberikan bentuk konkret kepada semangat konsili Vatikan II.[2]

 

  1. Realitas Kontekstual Asia dalam pemikiran Pieris

Dalam membangun teologinya, Pieris memusatkan perhatiannya pada realitas kontekstual Asia dengan membuat batasan yang jelas antara Asia dan negara-negara Ketiga lainnya dari sudut religi dan kebudayaan. Ia menemukan tiga ciri khas Asia yang membedakan dengan lainnya.

  • Bahasa yang beraneka ragam

Menurut Pieris, sekurang-kurangya ada tujuh wilayah bahasa besar di Benua Asia; wilayah bahasa Semitis di pinggir Asia Barat, Wilayah kelompok ural-altais di wilayah pecahan Uni Soviet bagian Asia dan di Asia Barat Laut, kelompok indo-iranis dan dravidis di Asia Selatan, wilayah melayu-polinesia di Asia Tenggara, bahasa Jepang di Asia  Timur, dan wilayah Sino-tibet yang paling luas, membentang dari Asia Tengah sampai Timur Jauh.[3]

Implikasi nyata dari keanekaragaman bahasa bagi teologi menyangkut pemahaman bahasa itu sendiri. Bagi Pieris, agama bukanlah pengalaman dari realitas dan bahasa adalah pengungkapannya; sebaliknya, bahasa merupakan pengalaman realitas dan agama merupakan pengungkapannya. Agama berawal dari bahasa. Oleh karena itu, Pieris dengan berani menduga bahwa bahasa merupakan theologia inchoativa, suatu permulaan teologi. Pieris menegaskan argumentasinya dengan menunjuk realitas mendasar yang diserap oleh suatu kebudayaan setempat di Asia melalui bahasa rakyat dan simbol-simbol mereka sendiri; melalui adat istiadat, upacara-upacara, kidung-kidung dan tarian mitos dan legenda mereka.

“bacalah apa yang telah dihasilkan oleh rakyat biasa Asia selama berabad-abad, bukan hanya tulisan-tulisan canggih semacam Veda dan Upanishad, Tripitaka, Torah atau Tao Te Ching. Pertama, pelajarilah bahasa rakyat. Hadirilah upacara dan ritual rakyat Asia; dengarkanlah nyanyian mereka; bergetarlah dengan irama mereka, ikutilah langkah tarian mereka, nikmatilah syair-syair mereka; tangkaplah mitos-mitos mereka; pahamilah mereka lewat legenda-legenda mereka. Anda akan menemukan, bahwa bahasa yang mereka gunakan menghubungkan mereka dengan kebenaran-kebenaran dasar, di mana setiap agama bergulat dengannya, tetapi masing-masing dengan cara yang berbeda…. Singkatnya, perjuangan demi kemanusiaan yang penuh.”[4]

 

  • Integrasi unsur kosmis dan metakosmis dalam Kereligiusan Asia

Pieris melihat bahwa kerangka institusional agama-agama di Asia terdiri dari dua unsur yang saling melengkapi: agama kosmis yang berfungsi sebagai pondasi atau dasar dan ajaran keselamatan (soteriologi) meta kosmis sebagai bangunan utamanya.

Dengan menyebut istilah agama kosmis, Pieris menunjuk macam-macam agama yang  ditemukan di Afrika, Asia, dan Oceania, dan secara peyoratif dianggap “animisme” oleh para antropolog Barat tertentu. Sejatinya agama kosmis merupakan bentuk sikap psikologis manusia sebagai homo religious yang secara tidak sadar diambil saat berhadapan dengan misteri kehidupan yang berkaitan dengan kekuatan kosmis (panas, api, dingin, angin ribut, gempa bumi dst). Asia mempunyai kekhasannya sendiri. Ciri khas kereligiusan Asia adalah, bahwa agama kosmis tidak tampil dalam bentuk murni dan purba, namun secara praktis telah dijinakkan dan diintegrasikan ke dalam salah satu dari ketiga agama soteriologi meta kosmis yaitu Hinduisme, Budhisme, dan Taoisme.

Agama-agama besar itu disebut “metakosmis” karena ada sesuatu yang lebih dalam agama-agama itu. Agama-agama itu merumuskan soteriologinya dalam pengertian sebuah daya “di seberang” alam semesta yang diterima sebagai yang menyelamatkan dan menebus pribadi manusia, dan membawa manusia pada suatu kebebasan dari ketakutan terhadap kuasa-kuasa tertentu di dunia, baik melalui jalan cinta kasih (agapeic path) maupun melalui jalan pengetahuan yang memerdekakan (gnostic way).[5] Maka, agama-agama soteriologis metakosmis ini tidak pernah ditemukan dalam bentuk teks yang abstrak, namun selalu berbentuk konteks realitas konkret, di dalam pandangan-dunia religi kosmis dari kebudayaan tertentu.[6]

 

  • Banyaknya ajaran mengenai keselamatan (soteriologi) non-Kristiani di Asia

Pieris sadar bahwa Asia adalah sebuah palungan tempat lahirnya semua agama besar di dunia yang memiliki Kitab Suci termasuk Kristen. Sayangnya, Kristianitas mengalami paradoks. Kristianitas lahir di Asia Barat dan dengan segera meninggalkan kawasan itu, untuk tumbuh besar di Barat, selanjutnya berabad-abad kemudian “memaksakan diri” kembali sebagai orang asing pendatang (bahkan ada yang menganggap “pengacau”) yang kurang diterima di Asia. Faktanya, orang-orang Kristen di Asia menjadi minoritas, tidak lebih dari 3% dari seluruh penduduk Asia. Maka Pieris mempertanyakan,” dapatkah agama Kristen yang telah kehilangan rasa Asianya itu berpikir menciptakan suatu teologi Asia?”[7]

Pieris mempunya harapan justru posisinya sebagai minoritas, Gereja mempunyai kesempatan menghadirkan diri secara lebih kreatif dengan berperan serta secara rendah hati dalam pengalaman pembebasan orang-orang bukan Kristen di Asia.

 

  1. Gagasan Pieris mengenai Inkulturasi

Pieris menegaskan bahwa  adalah sebuah kesesatan eklesiologis jika mengatakan bahwa suatu gereja diinkulturasikan di Asia kalau para uskup kulit putih sudah diganti dengan yang berkulit hitam, cokelat, atau kuning (para klerus bumiputera atau pribumi). Inkulturasi bukan soal mengganti bungkus atau mengganti rumus. Inkulturasi adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah dan tidak pernah dihasilkan secara artifisial. Inkulturasi merupakan hasil keterlibatan dengan umat, lebih dari pada target penyadaran suatu program aksi, karena umatlah yang menciptakan kebudayaan.[8] Pieris menyatakan, sebenarnya seluruh masalah inkulturasi di Asia berasal dari bagaimana perutusan dasariah gereja-gereja lokal yang harus menjadi kabar baik bagi kaum miskin di Asia.

Menurut Pieris ada 4 bentuk inkulturasi. Pertama, Model Latin yaitu penjelmaan atau inkarnasi dalam kebudayaan non Kristiani. Kedua, Model Yunani yaitu asimilasi filsafat non-Kristiani. Ketiga, Model Eropa Utara: penyesuaian pada kereligiusan non-Kristiani. Keempat, Model Monastik yakni dengan mengambil bagian dalam spiritualitas non-Kristiani. Pieris menguraikannya sebagai berikut:

  • Model Inkulturasi Greko-Romawi: Tidak cocok untuk Asia

Menurut Pieris, dari keempat model di atas, model Latin dan Model Yunani, paling tidak dapat diterapkan di Asia dewasa ini. Pieris menyebutkan beberapa alasan:

Pertama, teologi agama-agama yang meresapi tradisi Latin –Yunani tidak membantu di Asia, selain tidak sesuai dengan pandangan Konsili Vatikan II. Tradisi Patristik selalu memandang agama lain secara negatif. Dalam penilaian bapa Gereja, hanya kebudayaan Roma dan filsafat Yunani yang pantas diambil oleh Gereja yang telah ditebus oleh Kristus dari cenkeraman “iblis” agama kafir.

Kedua, memisahkan agama dari kebudayaannya (seperti dalam kristianitas Latin) dan agama dari filsafat (seperti dalam Kristianitas Yunani) tidak mungkin dilakukan dalam konteks Asia. Dalam konteks Asia selatan, misalnya, kebudayaan dan agama adalah dua unsur dari soteriologi yang tak terpisahkan, tak terbagi, yang saling bertautan, yaitu sebuah pandangan hidup sekaligus sebuah jalan pembebasan; agama adalah filsafat yang pada dasarnya merupakan sebuah pandangan (vision) religius, dan agama adalah filsafat hidup.  Kata inkulturasi sendiri adalah berakar dari dikotomi budaya dan agama orang-orang Latin. Inkulturasi dipahami sebagai usaha melepaskan agama Kristen dari kebudayaan Eropa dan masuk ke dalam kebudayaan Asia yang dilepaskan agama non Kristiani. Oleh karena itu, Pieris lebih menerima istilah “inreligiusisasi” Gereja dari pada inkulturasi untuk kawasan Asia Selatan. Pieris sadar bahwa istilah ini agak sensitif bagi Gereja Latin.

Ketiga, model Latin-Yunani telah mewariskan kepada Gereja sebuah “teori instrumental” inkulturasi yang begitu saja diterima dalam teologi Barat. Filsafat Yunani dikeluarkan dari konteks religiusnya dan dimanfaatkan untuk agama Kristiani sebagai alat untuk mengungkapkan ajaran yaitu, sebagai ancilla theologiae. Dalam konteks Asia, kebijakan ini kontra produktif, karena inkulturasi semacam ini menyepelekan secara tidak hormat terhadap acuan soteriologis dari simbolisme agama-agama non Kristen dan dengan mudahnya ditafsirkan sebagai bentuk imperialisme tersembunyi. Misalnya di Thailand, orag-orang Budha bereaksi keras melawan Gereja lantaran menganggap Gereja merampas lambang-lambang suci mereka untuk penggunaan Kristiani.[9]

 

  • Model Inkulturasi Eropa Utara: terlambat untuk Asia

Model ketiga yaitu model Eropa Utara pun, menurut Pieris, terlalu lambat untuk diterapkan di Asia. Situasi masyarakat “klan” Eropa Utara pada abad pertengahan nampaknya serupa dengan masyarakat “suku” di Asia, di mana ada pada mereka kebudayaan yang bersifat kosmis yang berlawanan dengan agama-agama metakosmis yang menuntut adanya realitas transfenomenal yang secara imanen bekerja dalam kosmos dan secara soteriologis ada dalam jangkauan manusia entah lewat agape (cinta yang menebus) atau lewat gnosis (pengetahuan yang menebus). Pieris menyebut Kristianitas dan Yudaisme adalah bentuk  agama agapeis, dan bentuk-bentuk monastik Hinduisme, Budhisme, dan Taoisme sebagai agamai gnosis. Pada abad pertengahan, Pieris mengutip Jean Delumeau, baik Gerakan Reformasi dan Kontra Reformasi merupakan pertobatan yang kaku berdasarkan kepercayaan bahwa rakyat petani Eropa Utara abad XVI belum sepenuhnya dipisahkan dari kekafiran non Kristiani.

Hal ini tidak berlaku di Asia. Agama-agama metakosmis lain telah mendahului Kristianitas dan mereka sudah lebih dulu berinkulturasi dengan budaya kosmis Asia. Misalnya, kepercayaan para dewa di Asia Selatan, Konfusianisme dan penghormatan kepada nenek moyang di Vietnam, Korea dan Cina, menjadi lahan subur bagi agama-agama monastik mengakarkan diri. Sejarah menunjukkan bahwa satu agama metakosmis yang sudah diinkulturasikan dalam masyarakat klan Asia tidak dengan mudah dapat dicabut oleh agama metakosmis lainnya kecuali dengan pertobatan massal yang tidak religius atau paksaan.[10]

 

  • Model Monastik: Suatu penafsiran baru Inkulturasi sesuai “Selera” Asia

Bagi Pieris, model keempatlah yang paling memungkinkan dan paling aplikatif untuk diterapkan di Asia, yaitu model monastik. Bagi Pieris, tradisi monastik justru menampakkan tradisi Timur yang secara kreatif diam dalam dunia Barat. Pieris dalam konteks ini menafsirkan Barat dan Timur pertama-tama bukan soal pembagian geografis atau teritorial, tetapi sebagai dua arah manusia yang tidak lengkap tanpa yang satu dengan yang lain dan secara fenomenologis masing-masing tampak dalam idiom agapeis dan gnostik agama biblis dan non biblis. Bahkan, Pieris yakin bahwa dalam ortodoksi Kristiani yang selalu bersifat agapeis, terdapat garis-garis gnostisisme yang sah.

Bagi Pieris, tradisi monastik dapat memperbaiki ketidakseimbangan dalam teologi Kristen yang disebabkan oleh sikap akademisme yang terlalu menekankan pada refleksi intelektual. Pieris menunjuk Thomas Merton sebagai contoh, yang telah merintis usaha mempertajam insting monastik Gereja yang ditumpulkan oleh kelalaian berabad-abad lamanya.

Menurut Pieris para rahib dan rubiah Barat telah belajar bahwa cita-cita (gnosis) untuk fuga mundi harus dilengkapi dengan keterlibatan (agapeis) dengan dunia kaum miskin yang mengantarai kehadiran Kristus di dunia. Maka, penyangkalan Kristiani terhadap kekayaan sejatinya selalu harus dipahami demi kaum miskin, dimana pencarian para rahib akan Allah tidak dapat dipisahkan dari tindakan pelayanan dan kesetiakawanan atau solidaritas terhadap orang miskin. Jika hubungan dua sisi ini, yaitu unsur-unsur spiritualitas gnosis dan agapeis ini dipisahkan bahkan dihilangkan, maka kebobrokan akan terjadi, sehingga cara hidup monastik ini akan menjadi seperti garam yang hambar, tanpa rasa, tak berguna, dan pantas diinjak-injak. Oleh karena itu, Gereja sebenarnya tidak berhak berbicara dengan dunia Asia, jika Gereja tidak belajar dari tradisi monastik Kristianinya sendiri mengenai bahasa gnosis yang dibicarakan oleh monastik non-Kristiani Asia dan mengenai bahasa agape, satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh kaum miskin Asia.

Monastik Asia berbicara tentang penerangan rohani yang mendorong terjadinya pembebasan batin manusia dari rasa ketamakan mereka, namun kaum miskin Asia menjerit untuk emansipasi sosial dari pranata yang menindas.

Kemiskinan sukarela yang dilaksanakan oleh monastik Asia tidak diarahkan secara positif menuju pelepasan manusia dari kemiskinan yang secara struktural dipaksakan pada orang-orang Asia, maka revolusi yang terjadi justru merugikan kehidupan monastik Asia yang bersifat feodal, seperti pertapaan di Tibet dan Mongolia. Dalam pertapaan-pertapaan itu, kemiskinan monastik yang dihidupi secara sukarela itu secara sosial tidak liberatif. Maka inkulturasi yang benar dan sejati bukanlah mewartakan Gereja Asia ke dalam dimensi liberatif kemiskinan sukarela. Bila pengikut Kristus memilih secara sukarela untuk menjadi meski demi Injil, mereka tidak hanya hidup dalam kesetiakawanan dengan rahib dan rubiah Asia dalam usaha pencarian realitas metakosmis, tetapi juga dalam solidaritas mereka dengan kaum miskin di Asia yang mengharapkan tatanan kosmis yang lebih suci dan adil.

Pieris menekankan bahwa Gereja yang berinkulturasi di Asia adalah Gereja yang dibebaskan dari kuasa mamon dan harus terdiri dari kaum miskin; miskin karena pilihan (sukarela) dan miskin karena keadaan (realitas).

 

  1. Dasar Teologi dan Inkulturasi Pieris: Hubungan Kemiskinan dan Religiusitas Asia

Berdasarkan pengalaman studinya dan pengalaman “exposure” dalam masyarakat Sri Lanka selama bertahun-tahun, Pieris menemukan benang merah yang penting dalam membangun teologinya. Menurutnya, teologi Asia harus bergerak di antara dua kutub, yaitu pertama Asia sebagai bagian dari Dunia Ketiga yang identik dengan kemiskinan yang bertumpah ruah (overhelming poverty), dan kedua adalah sifat Asia yang khas yang membedakan dengan Dunia Ketiga lainnya adalah kereligiusan yang majemuk (multifaceted religiousness).[11]

Pieris menegaskan bahwa kemiskinan di Asia tidak dapat direduksi hanya sebagai problem ekonomi semata. Kemiskinan di Asia adalah sebuah situasi yang lahir akibat adanya struktur sosial yang menindas, sehingga mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik. Kekhasan masyarakat Asia yang kedua adalah religiusitas yang beragam. Rasa keagamaan tertanam dalam hati mereka sehingga keseluruhan kehidupan, sikap dan pikirannya sangat diilhami dan diarahkan olehnya. Semua masalah manusia, termasuk pengalaman penderitaan dilihat dari perspektif agama. Mereka berusaha mencari jawaban atas realitas penderitaan yang menimpa mereka.

Pieris melihat usaha-usaha, strategi, dan program ideologis untuk mengatasi kemiskinan di Asia dengan sikap naif terhadap situasi religiusitasnya dan upaya-upaya teologis untuk berjumpa dengan agama-agama di Asia tanpa keprihatinan radikal akan kemiskinannya yang kuat akan berujung pada kegagalan dan kesia-siaan. Kristianitas tidak akan dapat mengatasi kemiskinan dengan tepat, tanpa melakukannya dalam kerangka dialog bersama agama-agama Asia; sebaliknya tidak ada dialog yang otentik dan berdaya guna antara agama-agama itu jika tanpa didasari rasa empati, keprihatinan terhadap orang miskin Asia.

Bagi Pieris, Kristianitas akan mencapai inkulturasi sejati di Asia dan menjadi Asia jika Kristianitas menerima baptisan rangkap: dalam “Yordan Religiusitas Asia” dan pada “Kalvari kemiskinan Asia”. Baptisan yang pertama bertujuan untuk memasuki perjumpaan mendalam dengan religiusitas Asia dan belajar padanya, sementara baptisan kedua adalah pilihan Gereja pada orang miskin dan tertindas di Asia. Inilah tema-tema dasar dalam karya-karya teologis Pieris.

  • Baptisan dalam Yordan religiusitas Asia

Menurut Pieris, ada 4 implikasi eklesiologis bagi gereja-gereja di Asia dari peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (Mrk 1:9-11).

Pertama, Yesus dalam melaksanakan perutusannya tidak memilih gerakan ideologis kaum Zelot, atau puritanisme sekte Esseni, atau bahkan semangat aristokratis Farisi dan Saduki, namun memilih tradisi asketis kenabian Yohanes Pembaptis. Opsi semacam inilah yang harus dibuat gereja di Asia di hadapan religiusitas di Asia.

Kedua, dalam peristiwa itu ada perjumpaan dua arus spiritual antara semangat pengingkaran dunia yang radikal dari Yohanes Pembaptis dengan semangat kesalehan yang sederhania dari pengikutnya yaitu kaum anawim dan kaum miskin yang tertarik oleh gaya hidup dan pewartaannya. Dalam diri Yesus, dua spiritualitas itu juga bertemu Yesus yang mengidentifikasi diri dengan kaum papa miskin datang kepada Yohanes untuk dibaptis dan kemudian Yesus memasuki pengalaman “padang gurun”. Maka, bagi Pieris, gereja-gereja Asia pun harus menjadi titik temu antara spiritualitas metakosmis dari agama-agama monastik dan spiritualitas kosmis dari kereligiusan kaum sederhana di Asia. Dengan demikian, Gereja menjadi tempat tumbuhnya daya-daya liberatif dari kedua tradisi itu yang saling mempengaruhi sehingga dapat mengatasi dimensi keagamaan yang memperbudak.

Ketiga, Sikap perendahan diri yang dibuat Yesus justru menguatkan kewibawaannya sendiri lewat kesaksian “Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan” (Mat 3:17). Gereja-gereja Asia  perlu diinisiasi ke dalam tradisi-tradisi sebelum keristenan. Gereja-gereja di Asia harus dibaptis dalam dua lapis tradisi yang liberatif dari kaum rahib dan kaum kecil yang saleh di Asia serta dengan rendah hati duduk bersimpuh dekat kaki “guru-guru” Asia. Gereja Asia harus tampil sebagai gereja yang belajar (ecclesia discens) bukan sebagai gereja yang mengajar (ecclesia docens).

Keempat, mengenai identitas gereja. Dengan menceburkan diri ke dalam Sungai Yordan, Yesus menegaskan prinsip pengosongan diri. Gereja Asia pun perlu menceburkan diri dalam arus spiritual di antara kaum sederhana dan kemudian keluar dengan sikap dan hidup yang baru. Jadi baptisan itu sendirilah yang memberikan identitas Kristianitas dan sikap Kekristenan baru yang dicari gereja-gereja Asia. Ketakutan akan hilangnya identitas tidak akan terjadi karena kekristenan yang bercorak Asia hanya akan muncul sebagai hasil keterlibatan total kita dalam kehidupan dan anspirasi kaum miskin religius (anawim) Asia.

 

  • Baptisan dalam Kalvari kemiskinan Asia

Sikap diri Yesus di Yordan membawa iplikasi kepada tindakan kenabianNya yang terakhir di Kalvari. Perutusan Yesus adalah perutusan dari kaum miskin dan perutusan untuk orang miskin. Hanya mereka yang miskin secara radikal layak untuk Kerajaan Allah dan hanya mereka yang miskin ditentukan untuk menerimanya. Tidak ada kompromi untuk mengabdikan diri kepada Allah sekaligus kepada Mamon. Yesus menentang mamon karena merupakan saingan Allah (Mat 6: 24), dan menyatakan bahwa Kerajaan Allah yang diwartakanNya bukanlah ditujukan kepada orang kaya (Luk 6:20-26). Bahkan Ia sendiri mengidentifikasikan diriNya terhadap mereka yang miskin, lemah, tersingkir dan tertindas (Mat 25:40). Perutusan ini Ia sempurnakan dalam peristiwa Salib (Luk 23:1-23) yang ditancapkan di Kalvari oleh suatu keagamaan massa yang terkontaminasi uang dan kekuasaan kolonial.

Oleh karena itu, ada kaitan antara peristiwa di Sungai Yordan dan di puncak Kalvari. Jika dalam peristiwa Yordan otoritas kenabian Yesus  dinyatakan Allah sebagai “Anak yang terkasih” pada baptisan di Kalvari ia diproklamasikan sebagai oleh “Anak Allah” bahkan oleh seorang aparat kolonial (Mrk 15:39). Saat perendahan diri melahirkkan suatu peninggian yang menarik semua orang kepada Yesus (Yoh 12:32-33).

 

  1. Inkulturasi dalam Liturgi

Inkulturasi Pieris tidak hanya berhenti pada gagasan teologis, dan praksis dalam hidup bersama agama-agama yang lain. Aloysius Pieris juga mencoba mengembangkan sebuah inkulturasi Liturgi khas Sri Lanka. Aloysius Pieris pernah merintis misa inkulturasi atas permintaan uskup Leo dan menandatanganinya sebagai permittatur ad experimentum  pada bulan Januari 1968. Uskup inilah yang bertanggung jawab penuh atas tata perayaan liturgi yang disusun oleh Pieris, dan tata perayaan liturgi kemudian dikenal sebagai “Pilimatawala experiment”.[12]

Dalam Liturgi ini, perayaan Ekaristi, bacaan-bacaan, mazmur tanggapan sabda, kidung persiapan  persembahan dan lagu komuni diambil dari Tripitaka -Kitab Suci Budha- yang mengambil tema mengenai “Kerajaan Yang Akan Datang”. Pieris melaksanakan eksperimen ini setelah mempelajari Tripitaka dan mengadakan konsultasi dengan para rahib dan sarjana Budhis. Bacaan pertama dan kedua mewartakan penantian kaum Budha akan “Dia Yang Akan Datang” (Buddha Metteyya yaitu Cinta) yang meraja dalam Kerajaan Yang Akan Datang. Bacaan ketiga menampilkan Asoka, sang raja adil, personifikasi dari Dia yang dinantikan itu. Bacaan Injil dari Lukas 7:18-23, tentang  pertanyaan dari mereka yang menantikan datangnya Mesias; “Adakah engkau orang yang dinanti-nantikan ataukah kami harus menantikan seorang yang lain?” ada semacam titik temu antara komunitas Budha yang menantikan Dia Yang Akan Datang (Buddha Metteyya) dengan orang-orang Kristiani yang telah dipanggil untuk menjadi tanda sakramental dari Dia Yang Akan Datang itu[13].

Selain itu, Pieris perhah mendukung komunitas basis, yaitu The Christian Workers Fellowship, sebuah gerakan kaum awam yang mengadakan perayaan “Misa Para Pekerja”, yang menghadirkan para pekerja baik orang beriman maupun tidak beriman. Bagi Pieris, dalam perayaan misa ini, Kristus diwartakan  sebagai Allah yang bekerja dalam diri semua orang yang bekerja dengan membangun  Kerajaan Allah yang damai dan penuh keadilan. Orang yangbertanggung jawab atas lirik lagu dan musik dalam perayaan itu adalah orang Budha.[14]

 

  1. Catatan Kritis Pieris dalam Proses Inkulturasi

Selama proses usahanya berinkulturasi dan berteologi selama bertahun-tahun, Pieris merangkum delapan hal yang ia temukan:[15]

  1. Pieris belajar  bahwa inkulturasi seharusnya tidak membuat orang lain tersiksa.
  2. Pieris sadar bahwa inkulturasi bukanlah soal mengganti Ritus Roma (Latin) dengan Ritus Pribumi. Pembaharuan liturgi yang diamanatkan Konsili Vatikan II adalah sebuah perubahan hidup (change of life) dan bukan perubahan ritus (change of rite).
  3. Pieris menemukan bahwa Ekaristi lebih sebagai sebuah tanda sebagai titik berangkat inkulturasi.
  4. Inkulturasi berawal bukan dengan liturgi Gereja (yaitu perayaan-perayaan sakramental seperti Ekaristi) namun dengan Liturgi Hidup yaitu hidup kita dalam Misteri Paskah yang kita hidupi dalam perjuangan pribadi dan apostolik dalam rangka antisipasi Kerajaan Allah yang hadir di antara kita.
  5. Liturgi hidup mengisyarakatkan sebuah usaha komunitas yang berkumpul  mendengarkan sabda Allah. Liturgi hidup tidak dapat dipisahkan dari Liturgi Sabda.
  6. Inkulturasi adalah sebuah proses alamiah dan tidak dapat dipaksakan. Inkulturasi terlaksana secara spontan dan begitu saja dalam perjuangan kita membawa Kerajaan Allah dalam konteks lokal kita.
  7. Inkulturasi adalah sebuah istilah yang tidak cocok: setiap Gereja menempa identitas eklesial lokalnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah Gereja kita masih “sebuah perluasan dari Gereja lokal Roma” atau sungguh “sebuah Gereja lokal dalam komunio dengan Gereja Roma?”
  8. Inkulturasi, dalam praksis, adalah proses di mana Gereja lokal menjadi pernyataan dalam hidup dan karyanya di hadapan dunia non Kristen, dalam hal ini Gereja menghidupi hidupnya dalam Kristus dan merayakannya secara sakramental dalam idion agama dan budaya dari tetangga-tetangga non-Kristen.

 

  1. Relevansi Gagasan Pieris terhadap Inkulturasi di Indonesia

Setelah melihat analisis dan gagasan Pieris terhadap proses inkulturasi di Asia, penulis mencoba menemukan relevansi gagasan itu terhadap Gereja di Indonesia. Tentu saja kita perlu melihat konteks di Indonesia. Konteks pertama adalah, posisi Gereja Indonesia yang minoritas. Kedua, posisi Gereja Indonesia yang hadir beriringan dengan Imperialisme, sehingga cenderung dianggap sebagai agama penjajah. Ketiga, perjumpaan dengan agama-agama lain. Konteks keempat, gereja hadir dalam situasi masyarakat yang miskin, menderita akibat struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil.

Gagasan Pieris dapat diterapkan di Indonesia tentu dengan penyesuaian, karena konteks di mana Pieris hidup berbeda dengan Indonesia. Gagasan dapat diaplikasikan di Indonesia dalam rangka membangun dialog antar agama dan suku sebagai bagian atau komponen bangsa Indonesia, khususnya dalam membangun dialog demi terwujudnya sebuah bonum commune yang berpihak pada mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan menderita. Gereja tidak boleh tinggal diam menutup mata terhadap situasi disekitarnya dan menyibukkan diri dalam perdebatan “liturgi” intern. Justru Gereja harus menyibukkan diri dalam mewujudkan liturgi kehidupan, yang justru mendapat kekuatannya dari Liturgi Gereja yang dirayakan. Ada kesinambungan antara Liturgi (Sabda) Ekaristi dengan Liturgi yang peduli padah kehidupan semua makluk. Inilah inkulturasi yang sejati sebagaimana telah ditunjukkan oleh Romo Mangunwijaya yang “membawa” Kristus dari altar menuju pelataran (pasar).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Pieris,

1988    An Asian Theology Of Liberation, Orbis Books, Maryknoll, New York.

1993    “Inculturation: Some Critical Reflections” dalam Vidyajoti Journal of Theological Reflection, Vol. LVII, No. 11.

1996    Fire And water: Basic Issues In Asian Budhism And Christianity, Maryknoll, New York: Orbis Books.

1996    Berteologi dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta.

 

Alexander Hendra Dwi Asmara,

2014    “Multiple Religious Belonging and the New Way of doing Theology” dalam Jurnal Theology Vol 03, No. 02, Yogyakarta.

 

J.S. Hayon,

2006    Inkulturasi Yang Dijalankan Aloysius Pieris Di Sri Lanka, Ledalero, Maumere.

 

Martasudjita, E.,

2015    Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal Catatan kuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti Univeritas Sanata Dharma, Yogyakarta.

 

Vitus Rubianto,

1997    Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan Dalam Teologi Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta.

 

 

 

 

[1] Alexander Hendra Dwi Asmara, “Multiple Religious Belonging and the New Way of doing Theology” dalam Jurnal Theology Vol 03, No. 02, November 2014, Yogyakarta, 157.

[2] Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, Orbis Book Maryknoll, New York 1988, 5.

[3] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta 1997, 33.

[4] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta 1996, 116-117.

[5] Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, 98-99.

[6] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 36.

[7] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 41-42.

[8] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 72.

[9] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 72.

[10] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, 99.

[11] Vitus Rubianto, Paradigma Asia Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris, 41-42.

[12] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections” dalam Vidyajoti Journal of Theological Reflection, Vol. LVII, No. 11, November 1993, 641.

[13] Y. S. Hayon, “Inkulturasi Yang Dijalankan Aloysius Pieris Di Sri Lanka”, Ledalero, Maumere 2006, 169.

 

 

[14] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections,” 646.

[15] Aloysius Pieris, “Inculturation: Some Critical Reflections”, 643-644.

GEREJA BERPERAN AKTIF MELAKSANAKAN TUGAS PERUTUSANNYA DI DUNIA, MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT DENGAN MENJADI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

 

 

  1. PENGANTAR

Di tengah maraknya perang yang berkecamuk, akibat serangan Israel di wilayah Jalur Gaza, Paus meniupkan angin segar perdamaian. Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas hari Minggu 8 Juni 2014 ikut bersama Paus Fransiskus di Vatikan dalam acara doa yang belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah.[1] Kehadiran mereka ini, tidak terlepas dari undangan Paus Fransiskus ketika mengunjungi Timur tengah. Peristiwa ini terasa menyejukkan.

Dalam acara doa bersama yang diadakan Paus menyatakan “Para pembuat perdamaian hendaknya punya keberanian, dan menjauhkan peperangan. upaya mencari perdamaian merupakan “tindakan tanggung jawab tertinggi dihadapan hati nurani kita dan di depan rakyat. Ini panggilan untuk memecahkan spiral kebencian dan kekerasan, dan mematahkan dengan satu kata saja: yakni sapaan kata saudara.”

Pernyataan Paus sebagai representasi Gereja Universal ini ingin menunjukkan wajah Gereja yang sesungguhnya, yaitu peduli terhadap situasi dunia ini. Gereja diharapkan lebih berani untuk menampakkan peran rohaninya dalam kenyataan duniawi, dengan menyerukan nilai-nilai kemanusiaan universal, tanpa harus terikat dalam sistem politik tertentu. Mengapa Gereja mampu bersikap demikian?

Paper ini secara singkat mencoba menampilkan hakikat Gereja sesungguhnya dan tugas perutusannya di dunia, khususnya sumbangsihnya bagi masyarakat dunia yang penuh dengan gejolak, pertikaian, konflik, perang, dan kental dengan budaya kekerasan. Penulis mencoba memaknainya secara eksplisit dalam konsep Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian.

 

  1. HAKIKAT GEREJA

Menurut pandangan Bapa-bapa Gereja seperti Ireneus, Leo Agung dan Hieronymus, Peristiwa Pentakosta dianggap sebagai awal lahirnya Gereja. Jemaat yang lahir setelah Pentakosta ini bersekutu membentuk sebuah “communio” dan yang mempersatukan mereka adalah iman akan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit (bdk Kis 2:42-47; 4:32-35; 5:12-16). Jemaat ini berasal dari Roh dan kuasa Tuhan Yesus, dan diutus untuk menjadi saksi wafat dan kebangkitan Kristus Yesus.

Gereja ini mempunyai relasi yang khusus dengan Kristus yaitu Tubuh Kristus. St. Agustinus menyatakan bahwa kepala dan anggota membentuk satu Kritus, bukan karena Kristus tidak lengkap, tetapi karena ia menghendaki membentuk satu kesatuan dengan para pengikutNya. Dengan demikian sejak semula Gereja tidak pernah terpisah dari Kristus. Gelar Kristus hanya bermakna kalau mempunyai relasi yang erat dengan komunitas Kristiani, sebab “tidak ada Gereja tanpa Kristus, tidak ada Kristus tanpa Gereja”.[2] Dokumen Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 1, menyatakan relasi yang kuat antara Gereja dan Kristus sendiri: “Gereja dalam Kristus bagaikan sakramen, yaitu adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. 

Hakekat atau jati diri Gereja itu secara jelas dinyatakan juga dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 204 § 1: “Melalui sakramen Baptis, Kaum beriman Kristiani diinkorporasikan dengan Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Imami, Kenabian, dan Rajawi Kristus.” Hal ini mau menegaskan bahwa pembaptisan merupakan manusia ambil bagian dalam tugas misi Kristus di dunia. Dengan pembaptisan  umat beriman kristiani juga disatukan dengan Kristus didalam tubuhNya yakni Gereja (unsur “communio”). Dalam Persekutuan umat beriman tampak adanya perpaduan unsur manusiawi dan Ilahi.

 

  1. TUGAS PERUTUSAN GEREJA DI DUNIA: MEWARTAKAN INJIL

Perutusan Gereja adalah perutusan Para Rasul yang mereka terima dari Kristus, sebagaimana Kristus diutus oleh Bapa untuk mewartakan kebenaran yang menyelamatkan manusia (LG 17). Sebab seperti Putra diutus oleh Bapa, begitu pula Ia sendiri mengutus para Rasul (bdk. Yoh 20:21).  Gereja menerima perutusan Ilahi yang dipercayakan kepada para Rasul itu untuk mewartakan Kerajaan Kristus serta Misteri Allah, dan untuk menyinari dunia dengan amanat Injil, untuk menyalurkan kasih Allah terhadap semua orang dan segala bangsa, terutama di bidang rohani, dan bukan politik, ekonomi dan sosial (bdk GS. 42). Meski demikian Perutusan Gereja itu berlangsung di tengah dunia, dan harus menanggapi situasi khas dunia zaman sekarang (bdk. LG. 33, 36). Perutusan Gereja itu bersifat keagamaan dan jasmani, dan menyangkut keselamatan rohani maupun jasmani (bdk. GS. 11, 42).[3]

 

  1. MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT
    • Pengertian Bonum Commune

Bonum Commune adalah kata dalam bahasa Latin yang dapat diterjemahkan secara literal sebagai “Kebaikan atau Kesejahteraan Umum”. Kompendium Ajaran Sosial Gereja no. 164 menyatakan bahwa berdasarkan artinya yang utama dan luas diterima, kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”.[4] Pengertian ini berkembang dalam sejarah Gereja yang berakar dalam tradisi teologi politik Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas.[5]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Agustinus

Agustinus dari Hippo mengungkapkan gagasannya tentang bonum commune atau the common good yang tertuang dalam bukunya De Civitate Dei. Buku ini merupakan sebuah jawaban apologetik bagi mereka yang menyalahkan Kristianitas sebagai penyebab kekacauan di kekaisaran Roma pada tahun 410. Agustinus berpendapat bahwa selain perbedaan dalam kebudayaan, bangsa, dan bahasa, perbedaan mendasar dalam diri manusia adalah dua kelompok yang ia sebut sebagai Kota Allah (City of God) dan Kota Duniawi (Eartly City). Menurut Agustinus umat manusia digerakkan oleh apa yang disebutnya “cinta”. Maka kedua kota ini dibentuk oleh dua jenis cinta yang berbeda: cinta pada diri sendiri (yang bahkan dapat mengingkari Allah) dan cinta pada Allah (yang mengingkari diri sendiri).[6]

Kota Allah ini adalah dunia spiritual yang warga negaranya yang berusaha mewujudkan nilai-nilai keutamaan Kristiani. Hanya umat Kristen saja, karena rahmat Allah, dapat sukacita menjadi warga kota Allah ini. Sementara mereka yang lain, yang bukan Kristen, adalah warga kota dunia yang penuh konflik politik[7].  Meski demikian, Agustinus juga menyatakan bahwa para anggota dari kedua kota itu juga ada dalam Gereja yang kelihatan. Pembedaan antara kedua kota itu adalah lebih bersifat eskatologis dari pada politis. Para anggota kedua kota itu bercampur baur dalam apa yang disebut Agustinus sebagai saeculum, bidang realitas temporal di mana unsur-unsur politik itu berada.[8]

Paham bonum commune  dalam pemikiran Agustinus terletak pada dua tesis dasar. Pertama, berangkat dari etika kebaikan (eudamonia) yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para filsuf Yunani. Agustinus menyakini bahwa kebaikan individual tidak akan mungkin terwujud tanpa kebaikan bersama yang datang dari keluarga, negara dan kerajaan. Kedua, karena tiap individu adalah bagian dari negara atau kerajaan, maka seseorang perlu menganggap dengan jujur apa yang baik dirinya sesuai dengan kebaikan bagi orang banyak.[9]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Thomas Aquinas

Gagasan Thomas Aquinas tentang Bonum Commune di pengaruhi oleh aliran Aristotelian. Menurut Aristoteles, ”kebaikan” (bonum) adalah apa yang diinginkan oleh segala makhluk. Dengan dasar inilah Thomas menegaskan bahwa “kebaikan” adalah kodrat semua ciptaan. Kodrat semua makhluk hidup adalah kebaikan yang dicari dengan kebaikan dan cinta kasih, serta bertujuan untuk sampai dan bersatu dengan Allah, sang Kebaikan Tertinggi.

Bonum commune hanya dapat terwujud bila tiap individu yang membentuk satu masyarakat, satu Tubuh itu, berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain dalam kebaikan. dua sumbangan besar Aquinas dalam pemikirannya tentang bonum commune. Pertama, dengan pendasaran bonum commune sebagai hukum kodrat, Thomas Aquinas memberi dasar filosofis-teologis yang kuat untuk kepentingan sosiologis, yaitu: keterlibatan warga negara dalam membangun negaranya. Kedua, cita-cita persatuan dengan Allah – Sumber Kebaikan – sebagai tujuan negara memungkinkan pendasaran moral bagi laku para warga negara.

 

  • Bonum Commune dalam Konsili Vatikan II

Gereja juga menegaskan dirinya dalam hubungannya dengan Negara. Dalam masyarakat majemuk, perlu dipahami secara tepat dan jelas hubungan antara Gereja dan negara. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya, gereja sama sekali tidak dapat dicampur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik manapun. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi manusia. Negara dan Gereja bersifat otonom dan tidak saling tergantung dalam bidangnya masing-masing (LG 76). Gereja hendak menegaskan dirinya sebagai institusi spiritual dan bukan sebagai institusi kekuasaan duniawi.

Pada prinsipnya, Gereja Katolik melarang para Pejabat Hirarki Gereja tidak diperkenankan untuk terlibat dalam politik praktis (bdk.  KHK 1983 kan. 287 § 2). Jelasnya, mereka tidak boleh mencalonkan dan dicalonkan sebagai anggota legislatif atau jabatan publik seperti Bupati, Gubernur, atau Presiden dan wakil presiden. Namun, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.

Menurut Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 74, “Negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya”. Hal ini mau menyatakan bahwa kesejahteraan umum (bonum commune) adalah Hakekat dan Tujuan Negara.

Gereja juga melihat dirinya harus untuk terlibat dalam mewujudkan bonum commune dalam masyarakat. Maka, Gereja memandang perlu untuk menjalin kerjasama dengan Negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum dalam masyarakat. Gereja dan negara dapat secara lebih efektif menunaikan pelayanan ini “demi kesejahteraan umum jika semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat”. Peran gereja ini dijalankan oleh kaum awam. Gereja justru mendorong kaum awam Kristiani untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial terutama dalam bidang-bidang keluarga, kebudayaan, kerja, ekonomi dan politik sesuai dengan kemampuannya. Justru dalam bidang inilah yang menjadi ciri khas kaum awam, yang terlibat dalam urusan keduniawian. Disitulah mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas mereka dengan dijiwai semangat Injil, ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia (LG 31).

 

  1. GEREJA SEBAGAI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

Lantas, bagaimana Gereja ikut serta membangun bonum commune dalam masyarakat? Salah satu hal yang dapat dibuat Gereja adalah menjadi Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Penulis terispirasi dari Konstitusi Kongregasi Imam-imam Hati Kudus no. 7b yang berbicara mengenai Nabi-nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Dalam Konstitusi itu dinyatakan bahwa, “Pater Dehon mengharapkan dari para religiusnya supaya menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian manusia dan dunia dalam Kristus (2Kor 5:18)”.

Tentu saja, panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian harus ditempatkan dalam rangka misi Gereja jaman ini. Saat ini pelaksanaan karya kenabian bukan dengan mewartakan rencana Allah yang diterima secara langsung lewat pewahyuan, melainkan dengan mewartakan sabda Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa yang lampau. Menurut Al. Purwahadiwardaya, untuk menjadi nabi jaman ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu: pertama, sungguh-sungguh memahami rencana dan kehendak Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa lampau. Kedua, memahami rencana dan kehendak Allah bagi dunia pada jaman modern ini, di mana kita saat ini ada dan hidup dalam dinamikanya.[10]

 

  • Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih
    • Nabi dalam Perjanjian Lama

Penggunaan istilah “Nabi” sering muncul dalam dunia Perjanjian Lama. Beberapa istilah tentang Nabi (Prophet) diambil dari prophētēs (Yunani) berarti berbicara di depan, berbicara sebelumnya dan berbicara atas nama seseorang; nabu (Akkadia) berarti memanggil, naba’a (Arab) berarti mewartakan.[11] Nabi adalah perantara antara Allah dan manusia untuk membangun Yudaisme yang ketat. Dengan kata lain, nabi adalah “penyambung lidah” HYWH kepada umat Israel.

Perjanjian Lama menampilkan para nabi dalam konteks kekuasaan raja. Secara khusus masalah yang dihadapi para nabi yakni adanya berbagai bentuk ketidakadilan dalam hal politik, ekonomi dan militer. Tugas para nabi yakni membawa pesan YHWH bagi kesejahteraan seluruh rakyat yang seringkali bertentangan dengan raja yang berkuasa.[12] Keontentikan seorang nabi (nabi sejati) dinilai berdasarkan  kebenaran isi nubuatnya; apakah berasal dari YHWH atau tidak. Mereka menyuarakan perubahan sosial-politik dengan melontarkan kritik terhadap bentuk penindasan dan ketidakadilan yg terjadi atas nama YHWH dan dengan demikian menyatakan bahwa YHWH hadir di dalam kehidupan umat sehari-hari.

 

  • Nabi Cinta Kasih

Paham nabi dalam Konstitusi SCJ agak berbeda. Nabi dalam Konstitusi SCJ bukanlah sekelompok orang tertentu saja, tetapi semua orang diutus untuk meneruskan karya para nabi dan “Sang Nabi” Tuhan Yesus sendiri dengan menjadi Nabi-nabi cinta kasih. Panggilan menjadi nabi Cinta kasih mencakup suatu tindakan untuk menyebarluaskan kasih Allah kepada setiap orang. Panggilan itu berpangkal dari pengalaman akan Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia, dan manusia dipanggil untuk menjadi pelayan cinta kasih sebagai bentuk balasan kasih kepada Allah dan sesama. Kita mencintai sesama kita karena Dia pertama-tama telah mencintai kita (bdk. I Yoh 4:11-19). Dia telah mengasihi kita, dan inilah perintahNya supaya kita saling mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi kita (bdk. Yoh 15:7-17)[13].

Gagasan Konstitusi SCJ ini sejalan dengan apa yang diwartakan oleh Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menegaskan apa tugas Kenabian Gereja Umat Allah yang kudus. Lumen Gentium (LG) 12 menyatakan bahwa “Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentangNya, terutama melalui hidup iman dan cintakasih”. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes 12, menyatakan bahwa Cinta kasih Kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku bangsa, keadaan sosial dan agama, tanpa mengharapkan keuntungan dan ungkapan terima kasih.

Bagaimana peran sebagai nabi cinta kasih itu dapat diwujudkan Gereja? Panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih ini menjadi jelas melalui tindakan dan karya sosial karitatif Gereja.

Kompendium Ajaran sosial Gereja no 5 menegaskan bagaimana cinta kasih itu dilaksanakan: “Cinta kasih menghadap medan kerja yang luas dan Gereja berhasrat untuk memberi andilnya dengan ajaran sosialnya, yang berkenaan dengan seluruh pribadi dan ditujukan kepada semua orang.” Begitu banyak saudara dan saudari yang berkekurangan yang sedang menantikan pertolongan, begitu banyak orang tertindas yang sedang menantikan keadilan, begitu banyak orang menganggur yang sedang menantikan pekerjaan, begitu banyak orang yang sedang menantikan penghargaan. Maka menjadi nabi cinta kasih adalah berani berjuang bersama saudara-saudara yang menderita dan mengembangkan semangat solidaritas.

 

  • Pelayan Pendamaian (2 Kor 5:18)

Tema pendamaian dan panggilan menjadi pelayanan pendamaian muncul karena situasi dunia yang penuh dengan ketidakadilan, dan adanya ketidakharmonisan hubungan antar manusia.

Dalam 2 Kor 5: 18, Paulus menyatakan bahwa Allah melalui perantaraan Kristus telah mendamaikan manusia dengan diriNya, dan kini Allah telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Paulus ingin menyatakan bahwa proses pendamaian yang terjadi antar manusia itu bukanlah melulu usaha manusia semata, tetapi berdasarkan inisiatif Allah. Pendamaian dan upaya-upaya pendamaian dan kerjasama antara bangsa-bangsa merupakan tanda kehadiran Allah yang berkarya dalam setiap hati manusia.

Berpangkal dari kasih Allah yang mendamaikan dunia dengan diriNya melalui darah Kristus, Gereja hendaknya menjadi pelayanan pendamaian. Keterlibatan sebagai pelayan pendamaian dimulai dengan ikut serta merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain, tanpa memnandang identitas. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 1 secara jelas menyatakan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Hal ini berarti bahwa Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari dunia, namun bukan milik dunia ini, dan diutus kepada dunia (bdk. Yoh 17:14-18).

Gereja mesti juga terlibat dalam masalah-masalah dunia, khususnya dalam hal perdamaian. Menurut Konsili, damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula sekadar menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Memajukan perdamaian di tengah dunia adalah bagian terpadu dari misi Gereja melanjutkan karya penebusan Kristus di muka bumi. Sesungguhnya, Gereja adalah, dalam Kristus, “‘sakramen’ atau tanda dan sarana perdamaian di tengah dunia dan bagi dunia”. Gereja mengajarkan bahwa perdamaian yang sejati dimungkinkan hanya melalui pengampunan dan rekonsiliasi. Gereja juga menetapkan adanya Hari Perdamaian Sedunia sebagai saat-saat khusus untuk mendaraskan doa bagi perdamaian dan bagi komitmen untuk membangun sebuah dunia yang damai. Paus Paulus VI meresmikan hari tersebut untuk mempersembahkan pikiran dan tekad tentang Perdamaian sebuah kebaktian khusus pada hari pertama tahun baru.

 

 

 

 

[1] Bdk. http://www.kabar24.com/international/read/20140609/10/220555/paus-fransiskus-minta-presiden-israel-palestina-ciptakan-perdamaian, diakses pada Selasa 30 September 2014.

 

[2] J.-M. R. Tillard, Church of Churches The Ecclesiology of Communion, diterjemahkan dari Église d’églises oleh R. C. De Peaux, The Liturgical Press, Minnesota 1994, 20-22.

[3] R. Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II, Indeks Analitis, Obor, Jakarta, 1993, 685.

[4] Lihat juga dalam Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 26: AAS 58 (1966), 1 046; bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1 905-1912; Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra AAS 53 (1961), 417-421; Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris: AAS 55 (1963), 272-273; Paulus VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens, 46: AAS 63 (1971), 433-435.

 

[5] bdk. Gregory M. Scott, Political Science: Foundations for a Fifth Millenium, Prentice Hall, New Jersey 1997, 33-35

 

[6] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy” dalam The Cambridge Companion to Augustine, Cambridge University Press, 2006, 236-237.

[7] bdk. J.H. Rapar, Filsafat Politik Agustinus, CV Rajawali, Jakarta 1989, 65-67

 

[8] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy”, 237.

[9]  Bdk. Agustinus dari Hippo, Confessiones, III, 8

[10] Al. Purwahadiwardaya, “Menggemakan Suara Nabi Pada Zaman Ini”, dalam Orientasi Baru, Jurnal Filsafat dan Teologi, 22 (2013:1) 32.

[11] Indra Sanjaya, The Prophetic Literature Diktat Kitab Nabi-nabi, pro manuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2008, 9.

[12] The Prophetic Literature, Indra Sanjaya, 15.

[13] Albert Bourgeois, Our Rule of Life, diterjemahkan dari Notre Regle De Vie oleh Guiseppe Manzoni, General Center of Studies, Roma 1987, 543.

WHY PRIEST? IMAM SEBAGAI SATU-SATUNYA PELAYAN SAKRAMEN REKONSILIASI


Pendekatan Historis, Biblis-Teologis, Yuridis dan Pastoral

Pengantar

Dewasa ini, pertanyaan mengenai sakramen Rekonsiliasi, khususnya diantara kaum muda dan terpelajar semakin kritis. Tidak jarang ada orang-orang yang mempertanyakan kegunaan Sakramen rekonsiliasi dan peran imam sebagai satu-satunya pelayan Sakramen Rekonsiliasi. “Mengapa harus mengaku dosa kepada imam? Bukankah yang mengampuni dosa itu hanya Allah? Mengapa kita tidak cukup mengaku dosa kepada Allah langsung? Apa istimewanya seorang imam dibandingkan orang-orang kebanyakan? Bukankah mereka juga manusia biasa?” pertanyaan-pertanyaan demikian adalah sebagian dari pertanyaan yang muncul mengenai Sakramen Rekonsiliasi.

Paper ini mencoba mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penulis mencoba menguraikan gagasan dan argumentasi berdasarkan beberapa pendekatan, sehingga penjelasan itu diharapkan lebih komprehensif. Ada empat pendekatan yang penulis coba uraian, yaitu pendekatan Historis, Biblis-teologis, Yuridis dan Pastoral.

1. Pendekatan Historis

Pelayan Sakramen Imamat dalam Sejarah Gereja

Dalam Gereja Kuno, pengakuan dosa secara privat seperti yang dilakukan sekarang ini belum dikenal. Jemaat-jemaat perdana hanya mengenal pengakuan dosa dan tobat secara terbuka di hadapan umum. Secara umum, perlakuan jemaat perdana terhadap anggota-anggotanya yang berdosa muncul dalam bentuk pelaksanaan kasih persaudaraan (exercitio caritatis fraternae). Perlakuan itu diwujudkan dalam dua bentuk yaitu tindakan pencegahan (forma preventiva), dan tindakan penyembuhan (forma curativa). Tindakan pencegahan berkaitan dengan usaha-usaha pastoral untuk membina, mendukung dan menguatkan para anggota untuk tetap bertahan dalam iman Kristiani dan peri hidup yang baik, berupa doa-doa bersama, nasihat-nasihat dan usaha-usaha untuk menjauhkan diri dari kesempatan bertindak dosa. Tindakan penyembuhan berupa pengucilan dari komunitas jemaat, terutama mereka yang berdosa berat (murtad, membunuh dan berzinah). Tujuan pengucilan adalah menghindari bahaya kontaminasi seluruh jemaat, mengoreksi dan menyelamatkan si pendosa sendiri dan memberi kesempatan kepadanya untuk bertobat dan memperbaiki cara hidupnya.[1]

Tindakan-tindakan jemaat perdana itu terekam dalam surat-surat Paulus. Misalnya, Paulus menasehatkan jemaat untuk tidak bergaul dengan saudara (Kristen) yang berbuat dosa, “Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.” (1Kor 5:11). Paulus juga menegaskan bahwa jemaat Kristen punya otoritas atau kuasa  untuk menjatuhkan hukuman resmi (hanya) kepada para saudara Kristen yang berdosa. “Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat?… Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.” (1Kor 5:12c-13).

Bagaimana tindakan dan sikap Jemaat perdana bagi mereka yang bertobat dan ingin kembali dalam persekutuan jemaat Kristen? Dalam Gereja Perdana, para pendosa mengakukan dosanya secara terbuka kepada uskup, atau -di mana umat terlalu besar- kepada penatua jemaat yang ditunjuk secara khusus untuk itu. Sejauh mana hal itu didengar dan diketahui umat tidak jelas. Selanjutnya pendosa itu mendapat tempat khusus, dan diberi pakaian khusus (misalnya dari kulit kambing) sebagai simbol terpisah dari Kristus. Selama masa tobat dan mati raga, para pendosa tidak boleh ikut ibadat jemaat, khususnya perayaan Ekaristi. Mereka diperlakukan juga seperti calon baptis. Mereka juga diwajibkan untuk berpuasa, berdoa banyak dan memberi sedekah. Pada suatu hari tertentu (biasanya pada hari Kamis Putih) mereka diterima kembali ke pangkuan Gereja.[2]

confession

Dalam proses ini, Intervensi Uskup perlu karena ia menerima kuasa dari Kristus atas nama komunitas umat beriman yaitu Gereja untuk mengampuni dosa. Bahkan Cyprianus menegaskan intervensi Uskup atas nama Gereja merupakan syarat yang penting dan perlu (conditio necessaria) untuk memperoleh pengampunan Ilahi. Cyprianus mengatakan “Orang tidak dapat menerima pengampunan dari Allah sebagai Bapa jika ia tidak memperoleh pengampunan dari Gereja sebagai ibu.”[3]

Pada perkembangan selanjutnya mulai akhir abad VI, Rahib-rahib dari Irlandia dan Skotlandia menyeberang dan hadir sebagai misionaris ke daratan benua Eropa. Mereka membawa tradisi penerimaan tobat dan pengampunan dosa yang baru dan lain sama sekali. Mereka datang bukan hanya berkotbah tentang pertobatan, melainkan mereka membawa serta suatu bentuk pertobatan yang lebih sesuai dengan situasi konkret Kekristenan waktu itu dan yang kita kenal sekarang ini, yaitu pengakuan dosa privat atau pribadi. Orang mengaku dosa secara pribadi dan rahasia di hadapan imam, dan setelah menjalankan denda yang dibebankan kepadanya, ia mendapat pengampunan dosa. Praktek ini segera diterima dengan cepat di kalangan jemaat karena sesuai dengan aspirasi mereka. Mereka malu mengakui dosanya di depan publik sehingga pengakuan dosa pribadi dirasakan lebih baik. Praktek ini menuntut para imam untuk menjadi bapa pengakuan dan pembimbing jiwa-jiwa yang cakap. Para imam ini dibekali buku panduan sehingga dapat menentukan denda sesuai dengan dosa para peniten.

Aneka praktek pengakuan dosa pribadi pada abad VI dan sesudahnya adalah sebatas masalah pastoral dan belum menjadi masalah dogmatis hingga sampai pada Konsili Trente tahun 1545. Masalah pastoral berarti bentuk dan cara sakramen pertobatan dilakukan boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan umat. Pengakuan dosa dapat dilakukan secara publik yang dipimpin oleh Uskup atau secara pribadi di hadapan imam (dan uskup). Ada juga cara lain dari bentuk pertobatan yaitu berziarah ke makam orang-orang kudus atau pellegrinaggio penitenziale.[4]

Pada tahun 1215, Konsili Lateran IV menetapkan: “setiap orang beriman, baik pria maupun wanita, kalau telah menjadi akil-balig, paling sedikit setahun sekali harus mengaku dengan jujur segala dosanya secara privat kepada bapa pengakuan dosanya sendiri, dan sedapat-dapatnya menjalankan denda yang dibebankan kepadanya” (DS 437/812; ND 1608). Inilah ketetapan resmi Gereja yang pertama mengenai sakramen tobat secara pribadi dalam bentuk sebagaimana kita mengenalnya sekarang ini.[5]

Pengakuan dosa secara privat itu kemudian semakin berkembang dan mendapat ketetapan kembali dalam konsili Trente dalam upaya menghadapi tentangan kaum reformis yang menolak sakramen tobat. Konsili Trente kembali menegaskan bahwa pelayan sakramen ini adalah imam dan absolusi yang diberikan oleh seorang imam benar-benar infficax (effective) untuk menghapus dosa, bukan sekedar pernyataan atau deklarasi bahwa dosa sudah diampuni, seperti yang diajarkan kaum reformis (bdk. Kanon 9: DS 1709). Absolusi adalah bentuk sententia (eksekusi atau pelaksanaan) suatu otoritas. Kuasa yang dimiliki oleh uskup dan para imam yang telah mereka terima dari Kristus berkat tahbisan Imamat. Kuasa itu termasuk in ordine iurisdictionis yang berkaitan dengan kekuasaan karena adanya tanggung jawab.[6]

Konsili Vatikan II juga memberi peneguhan mengenai Imam sebagai pelayan sakramen Rekonsiliasi. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa para uskup adalah mengurus dan mengatur tata tertib pertobatan (bdk. LG 26); para imam harus memberikan pelayanan kepada mereka yang bertobat (LG 28); melalui sakramen rekonsiliasi ini, para imam mendamaikan para pendosa dengan Allah dan GerejaNya (PO 5).

2. Pendekatan Biblis Teologis

Dasar Teologis: Hanya Allah yang berkuasa Mengampuni Dosa

Gereja mengajarkan bahwa yang berkuasa mengampuni dosa hanya Allah. Gereja mengafirmasi dan meneruskan gagasan perjanjian Lama yang meyakini bahwa Allah adalah Allah pencemburu (bdk. Kel 20: 5) sekaligus Allah yang bersedia mengampuni. Meskipun Israel berulangkali menyimpang dan melanggar perjanjian yang telah diikatnya dengan Allah sendiri, dan selayaknya untuk dimusnahkan, Allah tetap berbelaskasih dan menampakkan kerahimanNya (bdk. Kel 32: 30-35). Allah menampakkan kesediaanNya untuk mengampuni para pendosa, asal mau mengakukan kesalahannya (Mzm 32: 38); pun Allah tidak menghendaki kebinasaan mereka (Mzm 78:38). Bahkan Allah sendiri yang menyucikan hati mereka dan memenuhi hati mereka yang datang kepadaNya penuh sesal dengan sukacita dan kegembiraan (Mzm 51:10-14, 19).

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: jika Allah yang mengampuni dosa mengapa peniten tidak secara langsung mengaku dosa kepada Allah saja? Mengapa harus mengaku dosa kepada imam? Ini terkait dengan Karya Keselamatan Allah yang memuncak dan mewujud nyata dalam diri Kristus, dan diteruskan oleh Para Rasul dan GerejaNya.

Belas kasihan dan Kerahiman Allah benar-benar nyata dan memuncak dalam kehadiranNya dalam diri Kristus yang berkuasa mengampuni dosa. Dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1441, Gereja mengajarkan bahwa “hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa. Karena Yesus itu Putera Allah, Ia mengatakan tentang diriNya, ‘bahwa Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa’ (Mrk 2:10). Ia melaksanakan kuasa Ilahi itu: ‘dosamu sudah diampuni’ (Mrk 2:5; Luk 7:48)”. Kedatangan Kristus bukan ditujukan kepada orang-orang yang benar, namun justru bagi mereka yang berdosa (Mrk 2:17). Ia mengajar banyak orang supaya bertobat (Luk 5:32) dengan mewahyukan bahwa Allah itu Bapa yang berkehendak mengampuni (Luk 15) dan tidak menginginkan manusia mengalami kebinasaan (Mat 5:32). Bahkan Yesus sendiri mengkonkretkan sabda dan karyaNya mengenai pertobatan dan pengampunan itu dalam seluruh hidup dan tindakanNya, terutama secara lebih jelas dalam peristiwa Salib, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:24). Dalam Katekismus Gereja Katolik 1442, Gereja mengajarkan:

“Kristus menghendaki bahwa Gereja secara keseluruhan dalam doanya, dalam kehidupannya, dan dalam kegiatannya adalah tanda dan alat pengampunan dan perdamaian, yang telah Ia beroleh dengan harga darah-Nya. Namun Ia mempercayakan pelaksanaan kuasa absolusi ini kepada jabatan apostolik. Kepadanya dipercayakan “pelayanan pendamaian” (2 Kor 5:18). Rasul diutus “dalam nama Kristus”; melalui dia Allah sendiri menasihati dan memohon: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah (2 Kor 5:20).”

Kristus Mempercayakan Kuasa “Mengikat” dan “Melepaskan” kepada Gereja

Lantas, kepada siapa kuasa Kristus untuk mengampuni dosa itu diserahkan? Data dari Perjanjian Baru memberi petunjuk bahwa Gereja telah menerima kuasa untuk mengampuni dosa itu dari Kristus. Kristus menghendaki bahwa Gereja dapat menjadi tanda dan sarana pengampunan dan belas kasihan Allah. Yesus Kristus menghendaki adanya praktek pengampunan diantara para muridNya. Yesus berkehendak untuk membuat atau mengadakan suatu tanda pengampunan bagi para murid yang berdosa. Dalam teologi Kristiani yang berkembang selanjutnya, tanda pengampunan itu ditafsirkan sebagai tanda sakramental, yaitu sarana keselamatan yang dengannya Allah mengerjakan atau mewujudkan kehendakNya untuk menyelamatkan manusia.[7]

Kehendak tersebut diwujudkan dengan pendelegasian kuasa untuk “mengikat” dan “melepaskan”. Kepada Petrus, kepala Para Rasul Yesus bersabda, “kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini, akan terlepas di surga” (Mat 16:19). Kuasa itu tentunya juga dipercayakan Kristus kepada para rasul yang lain. Pendelegasian kuasa pengampunan itu pun dipertegas Yesus sebelum Ia naik ke Surga. Yang menarik adalah, pendelegasian kuasa itu bersamaan dengan pencurahan Roh Kudus. “terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jikalau kau menyatakan dosa, orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh:20-23). Perlu dipahami bahwa, para murid yang hanyalah manusia biasa, sebenarnya tidak mampu menerima tanggungjawab sebesar itu menurut ukuran manusia, namun dipercaya Yesus Kristus dan diberi olehNya komunikasi khusus dengan Roh Kudus (pneuma) untuk karya khusus ini. Dalam tradisi biblis, hanya ada dua contoh dimana Allah menghembusi nafasnya kepada manusia; pertama, saat Allah menghembusi manusia untuk memberi manusia jiwa yang hidup saat kisah Penciptaan (bdk. Kejadian 2:7), kedua saat Kristus menghembusi para Rasul, sebelum Ia naik ke surga itu. Hal  ini mau menegaskan betapa pentingnya sakramen rekonsiliasi ini. Dalam Katekismus Gereja Katolik 1445, Gereja menjelaskan makna mengikat dan melepaskan:

“kata-kata mengikat dan melepaskan berarti: siapa pun yang akan kamu kucilkan dari persekutuan, maka Allah pun akan mengucilkannya dari persekutuan dengan diri-Nya; siapa pun yang akan kamu terima kembali dalam persekutuanmu, maka Allah pun akan menerima-Nya kembali dalam persekutuan dengan diri-Nya. Perdamaian dengan Gereja tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dengan Allah.”

Para Rasul tentus saja paham bahwa Yesus Kristus telah memberi tugas untuk melaksanakan kuasa pengampunan itu. Paulus, dalam nama Yesus, melaksanakan kuasa untuk mengikat dan melepaskan dari dosa dan akibat-akibat dosa dalam kasus perilaku jemaat di Korintus. Paulus menyatakan, “sebab barangsiapa yang kamu ampuni kesalahannya, aku mengampuninya juga. Sebab jika aku mengampuni, – seandainya ada yang harus kuampuni-, maka hal itu kubuat oleh karena kamu di hadapan Kristus (2 Kor 2:10). Paulus melanjutkan:

“Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:18-20).

Selanjutnya, kuasa untuk mengikat dan melepaskan ini diyakini Gereja sebagai dasar legitimasi teologis dan yuridis bagi imam untuk mengampuni dosa.

Imam Sebagai Representasi Gereja

Mengapa harus imam? Pertanyaan itu muncul karena adanya pemahaman bahwa keselamatan itu menyangkut hal personal atau pribadi belaka. Padahal, karya keselamatan itu juga menyangkut relasi manusia dengan Allah, serta relasinya dengan komunitas Keselamatan, yakni Gereja (sosial). Dosa tidak hanya menyangkut rusaknya relasi manusia dengan Allah tetapi juga menyangkut relasi dengan Gereja. Dosa menghambat kesatuan dan harmoni Gereja.[8] Gereja adalah Tubuh Kristus; satu anggota tubuh menderita, maka semua anggota tubuh juga ikut menderita (bdk 1Kor 12:26). Dosa itu juga melukai Gereja dan melalui pertobatan, relasi pendosa dan Gereja itu disembuhkan dan dipulihkan. Pemulihan relasi itu terjadi secara nyata dalam sakramen rekonsiliasi di hadapan imam. Istilah Imam tentu saja merujuk pada Uskup dan Para Imam. Imam (sacerdos) terdiri dari Uskup (episcopos) dan para imam sendiri (presbyteros). Melalui sakramen ini, para pendosa tidak hanya didamaikan dengan Allah, tetapi juga dengan GerejaNya. Uskup, sebagai kepala Gereja lokal yang kelihatan, yang sejak dulu kala sudah dipandang sebagai tempat pertama yang mempunya wewenang untuk pelayanan perdamaian; ia mengatur disiplin pertobatan (bdk. LG 26). Rekan kerjanya, para imam, yang ambil bagian dalam imamat Uskup, melaksanakan pelayanan ini sejauh mereka menerima tugas ini dari Uskupnya (atau dari pembesar tarekat) atau dari Paus, sesuai dengan hukum Gereja (Bdk. Katekismus Gereja Katolik 1462).

Imam sebagai pelayan Sakramen rekonsiliasi dalam Gereja adalah Representasi Gereja itu sendiri. Dia adalah pelayan Gereja (RP 6) dan Pelayan Allah sendiri (RP 6,10d), bertindak dalam pribadi Kristus atau persona Christi (RP 6,9). Allah menganugerahkan pengampunan kepada Gereja, melalui pelayan sakramen itu yaitu para imam (Uskup dan Imam).[9] Hal ini bukan berarti mereduksi imam sebagai sekedar “juru bicara” Gereja. Imam adalah pemimpin komunitas. Imam adalah simbol Kristus karena dia adalah pemimpin komunitas yang mempresentasikan Allah dan Tubuh Kristus. “Dalam Gereja, para imam adalah representasi Yesus Kristus- Sang Kepala dan Gembala- dengan penuh kuasa mewartakan SabdaNya, mengulangi kembali karya-karya pengampunanNya, khususnya dalam Sakramen Baptis, Rekonsiliasi dan Ekaristi, yang menunjukkan cintaNya yang total kepada domba penggembalaanNya, yang mengumpulkan mereka dalam satu kawanan dan memimpin mereka pada Bapa melalui Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus”.[10]

Dalam peristiwa pendamaian yang berlangsung dalam sakramen rekonsiliasi, Kristus sendirilah yang sebenarnya bertindak. Ia mengikutsertakan pendosa dalam misteri kematianNya untuk mengikutsertakannya pula dalam misteri kebangkitanNya. Peristiwa pendamaian sakramental ini berlangsung ex opera operato.[11]

Dalam konteks ini, Imam, dalam sakramen Rekonsiliasi sejatinya tidak melepaskan dosa kita dalam arti sesungguhnya; imam hanyalah perantara dari satu-satunya Pengantara, ia diangkat dan diberi wewenang oleh satu-satunya Pengantara keselamatan, yaitu Yesus Kristus. Katekismus Gereja Katolik 1461 mengajarkan:

“Karena Kristus telah mempercayakan pelayanan perdamaian kepada Rasul-rasul-Nya Bdk. Yoh 20:23; 2 Kor 5:18., maka pengganti-penggantinya, para Uskup dan rekan kerja mereka, para imam, terus melaksanakan pelayanan ini. Para Uskup dan imam telah menerima wewenang, berkat Sakramen Tahbisan, untuk mengampuni segala dosa atas nama Bapa dan Putera, dan Roh Kudus”.

Maka demi kelayakan dirinya, para imam diundang untuk menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka. Para imam juga diundang untuk menggunakan kesempatan bagi diri mereka sendiri untuk melaksanakan sakramen ini bagi mereka sendiri, yang adalah jaminan hidup spiritual mereka. Para imam semakin dipersatukan mesra dengan dengan Kristus Sang Penyelamat dan gembala melalui penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima Sakramen Tobat, yang bila disiapkan melalui pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan (Bdk, PO 18).

3. Pendekatan Yuridis

Dasar Yuridis Imam sebagai Pelayan Sakramen Rekonsilisiasi

Pada tahun 1983, Gereja Katolik memberlakukan Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) yang mengatur gerak kehidupan Gereja Katolik, termasuk landasan yuridis mengenai sakramen tobat atau rekonsiliasi. Beberapa kanon secara khusus menyatakan mengenai kedudukan penting para imam sebagai satu-satunya pelayan Sakramen Rekonsiliasi. Kanon 965 menyatakan, “Pelayanan Sakramen Tobat hanyalah imam”. Tentu saja dalam hal ini adalah para imam dan para uskup.

Secara Yuridis, Imam yang kompeten sebagai pelayan Sakramen Rekonsiliasi adalah imam yang mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk memberikan absolusi, baik yang didapat melalui tahbisan, maupun kecakapan yang menjamin kelayakan sebagai seorang konfesor melalui kuasa yang diberikan oleh Uskup.[12] Hal ini diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK )1983 kanon 966 yang menyatakan bahwa demi sahnya absolusi dosa dituntut bahwa , di samping kuasa tahbisan, juga kewenangan melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman yang diberi absolusi. Kewenangan itu dapat dapat dimiliki oleh imam, entah berdasarkan hukum entah berdasarkan pemberian oleh otoritas yang berwewenang sebagaimana dinormakan dalam kanon 969. Kewenangan seorang imam untuk menerima pengakuan dosa dari peniten itu hanya diberikan ketika para imam itu terbukti cakap melalui ujian atau melalui cara lain yang ditentukan oleh yang berwewenang (bdk Kanon 970). Hal ini penting dilakukan demi menjadi kualitas imam dan sakramen rekonsiliasi itu sendiri.

Kewajiban Imam Menjaga Rahasia Pengakuan Dosa Peniten

Seorang imam juga mempunyai kewajiban untuk menjaga rahasia pengakuan Dosa Peniten. Mengenai Kerahasiaan pengakuan dosa sebenarnya sudah muncul sejak Konsili Lateran IV tahun 1215, yang dipertahankan sampai sekarang. Konsili ini menghasilkan keputusan yang mewajibkan para imam secara berat dan ketat untuk merahasiakan apapun yang ia ketahui dari pengakuan dosa yang dilayaninya. Imam yang membocorkan rahasia pengakuan dosa mendapat saksi yang berat dari pemimpin Gereja, yaitu dijebloskan dalam penjara biara tertutup untuk melakukan penitensi seumur hidup.[13]

Kanon 983 § 1 menyatakan secara tegas bahwa kerahasiaan sakramental dari pengakuan dosa peniten tidak dapat diganggu gugat, karena ini tidak dibenarkan imam sebagai seorang konfesor dengan kata-kata atau dengan cara lain atas dasar apapun mengkhianati peniten.

Gereja menindak tegas dan tidak mentolerir para imam yang menyalahgunakan wewenang dan membocorkan rahasia pengakuan dosa para peniten ini. Dalam kanon 1388 § 1, Gereja menegaskan bahwa barangsiapa imam, yang bertindak sebagai bapa pengakuan secara langsung melanggar rahasia sakramental ini, terkena hukum ekskomunikasi secara langsung (latae sententiae) yang direservasi oleh Tahta Suci; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum juga menurut besarnya tindak pidana, misalnya terkena suspensi.

4. Pendekatan Pastoral

Kecakapan Imam sebagai seorang Konfesor

Menurut Kurt Stasiak, OSB., perayaan Sakramen rekonsiliasi adalah saat perjumpaan yang paling berarti, paling pribadi, dan paling dituntut antara seorang imam dan jemaatnya. Menurutnya dalam sakramen ini, seorang imam akan mengenal lebih dekat jemaatnya dan melihat sisi kehidupan yang baik, sekaligus sisi kehidupan yang paling buruk mereka. Ini adalah saat-saat dimana peniten membuka diri mereka yang paling dalam bagi dari segi spiritual, emosional maupun psikologis, yang hanya terungkap pada seorang imam. Oleh karena itu, dalam perayaan ini, seorang peniten butuh didengarkan sungguh-sungguh.[14]

Oleh karena itu, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan seorang imam sebagai seorang konfesor dalam perjumpaan dengan peniten.

Prinsip pertama, seorang imam harus menyadari bahwa sakramen ini adalah perjumpaan antara Kristus, dengan GerejaNya dan dengan PelayanNya. Kadang para peniten datang kepada konfesor dengan perasaan takut sekaligus menaruh kepercayaan. Oleh karena itu, imam harus membantu peniten untuk menyadari bahwa dalam sakramen ini, seorang peniten diundang untuk bertemu dan disentuh oleh Kristus sendiri. Jika seorang peniten sampai pada kesadaran bahwa ini adalah saat perjumpaan dengan Kristus sendiri, maka akan tercipta sebuah dialog yang bijak dan efektif yang membantu buah-buah rohani bagi peniten sendiri. Kurt mengutip kata-kata Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam seruan Apostoliknya  “Reconciliatio et Paenitentia” yang menegaskan bahwa tugas seorang imam adalah memahami kelemahan dan kejatuhan mereka, membantu  peniten membangun kehendak untuk melakukan pembaruan diri, melihat gerakan Roh Kudus dalam hati mereka, memberi pemahaman kepada mereka bahwa Allah sendiri yang dapat menganugerahkan pengampunan, merayakan pendamaian antara peniten dengan Allah sebagaimana digambarkan dalam perumpaan Anak Yang Hilang, mengembalikan kembali para pendosa yang tertebus itu dalam komunitas eklesial bersama saudara-saudara lainnya, dan mengingatkan para peniten secara bersahabat layaknya seorang bapa, “jangan berbuat dosa lagi”.[15]

Prinsip Kedua, seorang imam harus sungguh-sungguh memberi perhatian pada kata-kata para peniten. Menjadi seorang konfesor berarti harus mendengarkan pengakuan para peniten dengan baik. Seorang konfesor harus memberi kesempatan paniten untuk mengungkapan segala apa yang ada dalam pikiran dalam isi hati mereka. Agar dapat menangkap persoalan dengan baik, seorang imam boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai bentuk klarifikasi. Hal ini bukan berarti melanggar privasi dan kebebasan para peniten. Dialog yang terjadi bertujuan untuk menemukan akar permasalahan sesungguhnya, sehingga dapat membantu peniten menyadari sungguh perbuatan yang telah dilakukannya.[16]

Prinsip Ketiga, seorang imam harus menyampaikan “kata-kata Kristus dan GerejaNya” sendiri, kata-kata pengampunan, damai, dan rekonsiliasi. Kata-kata yang disampaikan oleh seorang konfesor kepada umatnya adalah ungkapan belaskasihan Allah yang senantiasa mengampuni mereka yang datang kepadaNya. Kata-kata yang terungkap oleh konfesor hendaknya bukan kata-kata yang menuduh atau menghakimi, tetapi justru meneguhkan dan membangunkan dalam hati para peniten semangat untuk memperbarui diri di hadapan Allah.[17]

Refleksi: Tantangan di Masa Depan

Dari penjelasan mengenai jati diri imam sebagai pelayanan Sakramen Rekonsiliasi dari berbagai pendekatan itu, dapatlah ditarik kesimpulan betapa istimewanya seorang imam. Tidak semua orang diberi rahmat dan karunia sebagaimana yang diterima oleh para imam.

Namun, di masa-masa yang akan datang, tantangan seorang imam sebagi seorang pelayan sakramen rekonsiliasi akan semakin kompleks. Oleh karena itu, kualitas, kapabilitas dan kompetensi seorang imam sebagai seorang konfesor mesti terus menerus diperbarui. Sebagaimana prinsip Gereja yang fenomenal “Ecclesia semper reformanda est”, begitu pula para imam. Dunia semakin membutuhkan imam yang mempunyai segala kapasitas dan kompetensi seorang imam dari berbagai aspek, terutama dalam bidang rohani.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Albertus Sujoko,

2008    Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Al. Purwa Hadiwardaya,

2007    Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Bert van der Heijden,

1985    Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta.

George V. Lobo,

1976    Renewal of The Sacrament of Reconciliation, Sint Paul Publications, Allahabad.

James Dallen,

1974    The Reconciling Community: The Rite of Penance, Pueblo Book  The Liturgical Press, Minnesota.

Kongregasi untuk para Klerus,

2011    The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan.

Kurt Stasiak,

1999    A Confessors’s Handbook, Paulist Press, New York.

Tom Jakobs (ed.),

1987    Rahmat Bagi Manusia Lemah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Dokumen:

Dokumen Konsili Vatikan II

Katekismus Gereja Katolik

Kitab Suci Katolik.

[1] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2008, 37-38.

[2] Tom Jakobs (ed.), Rahmat Bagi Manusia Lemah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1987, 72.

[3] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 47.

[4] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 59-60.

[5] Tom Jakobs (ed.), Rahmat Bagi Manusia Lemah, 71.

[6] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 72.

[7] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 43.

[8] George V. Lobo, Renewal of The Sacrament of Reconciliation, Sint Paul Publications, Allahabad, 1976, 31.

[9] James Dallen, The Reconciling Community: The Rite of Penance, Pueblo Book  The Liturgical Press, Minnesota 1974, 304-305.

[10] Kongregasi untuk para Klerus, The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan 2011, 11.

[11] Bert van der Heijden, Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta 1985, 33.

[12] James Dallen, The Reconciling Community The Rite of Penance, 305.

[13] Al. Purwa Hadiwardaya, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2007, 30.

[14] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, Paulist Press, New York 1999, 1-2.

[15] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 12.

[16] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 14.

[17] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 15.

MENGGALI GAGASAN TEOLOGI MINJUNG DALAM BUKU MINJUNG THEOLOGY PEOPLE AS THE SUBJECTS OF HISTORY

 

  1. Pengantar

Konsili Vatikan II telah membuka suasana baru dalam berteologi. Teologi yang sifatnya kontekstual menjadi semacam kebutuhan Gereja dewasa ini. Bahkan para teolog menyatakan bahwa saat ini tidak ada “teologi” – semacam ungkapan “iman yang mencari pemahaman” dengan “satu ukuran yang cocok untuk semua”, yang berlaku secara universal dan dapat diterapkan secara universal juga. Sebaliknya, satu-satunya teologi yang ada adalah “teologi kontekstual” yang mencari pemahaman iman dalam situasi, tempat waktu dan budayanya sendiri.[1] Teologi ini selalu menempatkan pengalaman iman masa lalu para leluhur kita dalam  iman sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci dan Tradisi sekaligus mengaktualisasikan pengalaman mereka sehingga kesaksian Kitab Suci dan Tradisi tetap hidup dan relevan bagi semua bangsa. Bevans juga menambahkan bahwa teologi dewasa ini tidak memerlukan lagi sebuah Summa Theologiae atau sebuah Church Dogmatics yang mungkin mengklaim berlaku dalam segala situasi manusia di dunia dewasa ini. Sebaliknya, apa yang Gereja butuhkan ialah mekarnya aneka teologi di setiap penjuru dunia, di setiap situasi historis di antara setiap kelompok sosial.[2]

Teologi Minjung adalah salah satu teologi kontekstual yang berusaha merefleksikan iman Kristiani dalam konteks Korea. Salah satu referensi tentang teologi minjung adalah buku Minjung Theology People as the Subjects of History. Dalam Buku Minjung Theology People as the Subjects of History, para teolog minjung memaparkan bagaimana pengalaman kaum minjung di Korea menjadi langkah pertama dalam berteologi, dan selanjutnya mengkaitkannya dengan teks Kitab Suci.

 

 

  1. Latar Belakang Buku Minjung Theology People as the Subjects of History

 

Penulisan buku Minjung Theology People as the Subjects of History ini tidak dapat dilepaskan dari sebuah pertemuan konsultasi teologis pertama yang digagas oleh Theological Commission of National Council of Churches in Korea di Seoul tanggal 22-24 Oktober 1979. Buku ini adalah sebuah dokumentasi hasil pertemuan konsultasi teologi ini.

Pertemuan ini dihadiri oleh tujuh belas orang dari beberapa negara di Asia ini dan mengusung tema umum “The People of God and the Mission of the Church”. Menurut kesaksian Suh Kwang-sun David, tema ini sebenarnya hanya cover name atau bukan tema sesungguhnya agar pertemuan ini tidak menarik banyak perhatian pemerintah atau para penguasa diktator yang akan mengawasi ketat khususnya para partisipan lokal atau orang-orang Korea.

Kata “People of God” diangkat karena merupakan jargon Gereja Korea, sedangkan “mission” bagi para penguasa hanyalah sebuah rumusan yang tidak berbahaya (cliché). Sebenarnya, tema konsultasi teologis itu adalah “minjung” dan perkembangan teologis dewasa ini di Korea dari kategori minjung. Namun penggunaan istilah minjung nampak disamarkan karena kata minjung sendiri adalah sebuah kata yang berbahaya.

 

  1. Pengertian Minjung

Minjung adalah kosakata bahasa Korea tetapi berakar dari bahasa Cina. Menurut Suh Kwang-sun David, minjung merupakan sebuah kata hasil kombinasi dari dua karakter Cina: min (民) dan jung (衆). Min dapat diterjemahkan sebagai “orang-orang atau rakyat” dan jung sebagai “massa”. Oleh karena itu, “Minjung” berarti massa rakyat, massa, atau cukup rakyat saja.[3]

Minjung adalah sebuah kata yang tumbuh dari pengalaman-pengalaman orang-orang Kristen Korea dalam perjuangan politis demi keadilan selama bertahun-tahun. “…Teologi minjung adalah sebuah akumulasi dan artikulasi dari refleksi teologis atas pengalaman-pengalaman para pelajar, kaum buruh, para pekerja media, profesor, petani, para penulis, dan kaum intelektual Kristen sama baiknya dengan para teolog di Korea selama dekade 1970an.”[4] Teologi ini adalah hasil refleksi murid-murid Kristus dalam penderitaan penjara, yang nampak dalam surat-surat mereka dari dalam penjara untuk keluarga dan para sahabat mereka. Wan San Han mengidentifikasikan minjung sebagai orang-orang yang tersingkir secara politis, dieksploitasi secara ekonomis, dialienasikan atau diasingkan secara sosiologis, dan yang dihilangkan secara akademis.[5]

 

  1. Sumber-Sumber Teologi Minjung

Menurut Bevans, Konsili Vatikan II memberi nasihat bahwa Kitab Suci harus menjiwai seluruh teologi (OT 16) sehingga gerak pertama dalam penyelidikan positif historis harus berupa penelitian atas Kitab Suci. Setelah menyelidiki Kitab Suci seorang teolog positif historis mempelajari berbagai karya teolog dari awal Gereja atau tradisi Bapa-bapa Gereja dan Magisterium.[6]

Teologi minjung mempunyai metode yang berbeda. Meskipun teologi minjung tidak melepaskan Kitab Suci sebagai sumber teologinya, namun bukan pada gerak pertama dalam berteologi. Teologi minjung justru menempatkan pengalaman manusia sebagai titik tolak refleksi. Refleksi atas pengalaman penderitaan rakyat Korea yang terungkap dalam bahasa-bahasa mereka yang khas yaitu bahasa han dan seni pertunjukan tari topeng, dan memadukannya dengan refleksi biblis, melahirkan sebuah teologi minjung. Tugas hermeneutis dasar teologi minjung bukanlah menafsirkan teks-teks Kitab Suci dalam terang situasi dan konteks Korea, tetapi menafsirkan pengalaman penderitaan kaum minjung Korea dalam terang teks Kitab Suci. Ini bukan berarti bahwa minjung lebih penting dari Kitab Suci, namun hanya mau menegaskan bahwa minjung adalah titik awal dari sebuah hermeneutika biblis.[7]

Sumber teologi minjung bertitik tolak dari pengalaman penderitaan, kemudian pengalaman itu direfleksikan dalam terang Kitab Suci, dan membentuk sebuah teologi melalui  perjumpaan dengan tradisi lokal khususnya berkaitan dengan gerakan-gerakan mesianik lokal. Akhirnya teologi ini mendorong berkembangnya teologi yang mengusung tema gerakan pembebasan.

4.1 Pengalaman Penderitaan sebagai Dasar Teologi Minjung

Teologi minjung merupakan sebuah hasil refleksi kaum tertindas di Korea atas pengalaman penderitaan mereka dalam terang iman Kristiani. Para teolog tidak melepaskan begitu saja pengalaman konkret mereka dengan akar dan tradisi leluhur mereka yang telah terbangun selama berabad-abad, sekaligus memadukannya dengan nilai-nilai pembebasan Kristiani. Dalam konteks ini, realitas minjung menjadi penting. Pada bagian ini, tulisan-tulisan yang ada mencoba menguraikan secara singkat mengenai realitas minjung dalam kehidupan rakyat Korea.

 

4.1.1 Realitas Han Kaum Minjung

Dalam makalahnya yang berjudul “Toward a Theology Han”, Suh menjelaskan bahwa bahwa inti dari teologi minjung adalah refleksi atas perasaan han kaum minjung Korea. Secara etimologis, han adalah sebuah istilah psikologis. Han adalah sebuah kata yang menunjukkan perasaan menderita dari seseorang yang tertekan baik oleh dirinya sendiri maupun penindasan dari orang lain. Perasaan penderitaan dan penindasan yang tanpa harapan sama sekali semacam ini ada dalam hati setiap orang Korea yang tertindas.[8]

Suh Nam-dong merujuk dua peristiwa untuk menjelaskan realita han agar gambaran mengenai pengertian han dapat dipahami secara tepat oleh para peserta konsultasi non-Korea sama seperti yang dirasakan bangsa Korea. Suh menggunakan dua buah peristiwa aktual pada saat itu yaitu kematian nona Kim dan peristiwa Bruder Oh Won-choon.

Kim Kyong-suk atau nona Kim, gadis berusia 21 tahun, adalah seorang anggota komisi eksekutif Persatuan Buruh T.H Company (T.H Trade Union), sebuah  perusahaan yang memproduksi rambut palsu atau wig. Ia mati tertembak ketika 200 buruh wanita perusahaan itu mengelar aksi demostrasi di depan gedung Partai Demokratis Baru (New Democratic Party) pada tanggal 9 Agustus 1979. Mereka menuntut partai penguasa ini mengeluarkan sebuah solusi yang adil menyangkut upah mereka yang tidak dibayarkan oleh pihak perusahaan.

Peristiwa kedua adalah Bruder Oh Won-chun, anggota Dewan Federasi Keuskupan Andong dari Asosiasi para Petani Katolik (the Andong Diocese Federation of Catholic Farmers’ Association). Dia seorang aktivis gerakan perjuangan hak-hak kaum petani, khususnya dalam kampanye menuntut ganti rugi penghancuran lahan pertanian kentang manis. Pada tanggal 5 Mei 1979 dia ditangkap oleh “oknum penguasa”. Ketika berapa imam berhasil menemukan Br. Oh dalam tahanan isolasi, kondisinya amat memprihatinkan. Br. Oh tidak mampu menceritakan situasi yang sesungguhnya. Beberapa orang yakin bahwa selama dalam tahanan, Br. Oh mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan paksaan untuk tidak meneruskan perjuangannya.

Suh Nam Dong menegaskan bahwa dua peristiwa itu merupakan salah satu bentuk han para buruh dan petani Korea. Ia melihat bahwa dari dua peristiwa itu tampak adanya struktur politik dan ekonomi Korea yang menindas dan melahirkan han dalam diri delapan juta buruh waktu itu. Karena itu dapat dikatakan bahwa han adalah perasaan umum dari rakyat Korea yang tidak berdaya. Ini adalah akumulasi pengalaman penindasan yang tertekan dan dipadatkan, yang diwariskan dan diteruskan yang mendidih dalam darah kaum minjung.

Han adalah sebuah perasaan mendalam yang bangkit dari minjung yang tertindas dan menderita. Di satu sisi, han adalah perasaan dominan tentang kekalahan, kemunduran, dan ketiadaan yang dapat disublimasikan dalam bentuk eskpresi-ekspresi artistik yang hebat. Syair-syair kuno Korea, Pansori dan tari topeng (T’alchum), merupakan bentuk sublimasi artisitik dari han yang lemah dan frustasi itu. Namun, di sisi lain, han adalah perasaan kegigihan kehendak untuk hidup yang datang dari orang-orang yang lemah. Kegigihan ini melahirkan sebuah tendensi pada revolusi sosial sebagai perlawanan atau pemberontakan atas situasi yang menindas mereka.

Dia mengembangkan kata dan dalam teologi minjung sebagai jawaban atas han kaum minjung.[9] Kata Dan berarti “memotong”. Dia menjelaskan dua dimensi dari dan untuk memperdalam uraiannya tentang dan. Pertama, dan adalah penyangkalan diri. Orang yang tertindas melepaskan diri impian-impian:

Aku memisahkan tubuh dan pikiranku dari segala kehidupan yang nyaman dan mudah, lingkaran mimpi-mimpi borjuis yang kecil, rawa sekular tanpa kematian. Inilah isi keseluruhan dari imanku- aku tahu bahwa hanya penyangkalan diri yang hebatlah jalanku… inilah revolusi yang harus aku tunjukkan dan wujudkan  dengan hidupku sendiri. Khayalan itu sudah berakhir.[10]

Dimensi kedua adalah dimensi sosial yaitu mencoba memutus belenggu lingkaran han. “Dan adalah untuk mengatasi han. Secara personal, dan adalah penyangkalan diri. Secara kolektif atau sosial dan adalah untuk memotong lingkaran setan balas dendam.”[11] Artinya, jika han kaum minjung meledak tak terkendali dan destruktif, mereka akan membenci, membunuh, dan membalas dendam pada para penindas mereka tanpa henti. Dan berfungsi untuk mencegah munculnya sifat destruktif han dan lingkaran setan balas dendam itu.

Sistem pemikiran dan ini terdiri dari  empat tahap. Pertama, menyadari Allah dalam hati kita. Karena kesadaran ini kita terdorong untuk memuliakan Allah dalam pikiran (Shichonju). Kedua, memelihara tubuh Allah-membiarkan Allah (kesadaran Ilahi) tumbuh dalam diri kita (Yangchonju). Ketiga, melaksanakan perjuangan untuk mewujudkan Allah dan mempraktekkan apa yang kita percayai ada dalam Allah (Haengchonju). Tahap ini menandai perjuangan kita untuk mengalahkan ketidakadilan dunia dengan daya kuasa Allah. Keempat, mentransendensikan kematian dan kehidupan sebagai sebuah pejuang yang dibangkitkan untuk rakyat atau hidup sebagai para minjung pemenang yang rendah hati dan dibangkitkan mengatasi kematian (Sangchonju). Tahap ini orang mengalahkan ketidakadilan dengan mentransendensikan dunia.[12]

Para teolog minjung memandang serius han sebagai “bahasa” kaum minjung dan menjadikannya titik kontak dalam pencariannya sebagai basis teologis dalam rangka memulihkan kedudukan kaum minjung sebagai subyek sejarah.

 

4.1.2 Tari Topeng (T’alchum)

Bahasa han kaum minjung itu tidak hanya terungkap dalam cerita-cerita dan puisi, namun juga dalam seni pertunjukan tari Topeng (T’alchum). T’alchum adalah salah satu cara untuk mencapai dan pada tingkat pribadi.[13] Hyun Young-Hak dalam tulisannya yang berjudul “A Theological Look at the Mask Dance in Korea” menguraikannya bagaimana tari topeng menjadi semacam bahasa yang digunakan kaum minjung untuk mengungkapkan realitas penderitaannya.

Tari topeng adalah sebuah kesenian yang berakar pada festival atau pertunjukan desa kuno. Sebelum tanggal 15 Januari menurut kalender lunar, biasanya penduduk pedesaan menampilkan berbagai macam bentuk upacara religius memohon berkat kepada para dewa untuk hasil panenan yang lebih baik. Upacara-upacara itu biasanya diikuti dengan berbagai macam pertunjukan yang di dalamnya orang memasukkan unsur-unsur satiris terhadap kehidupan aristokrat. Namun ketika kelas-kelas perdagangan mulai muncul pada tahun 1700-an dan melahirkan kota-kota, unsur satiris dalam tari topeng semakin kuat dan berani. Seni pertunjukan yang awalnya bersifat religius,  justru bergeser menjadi media untuk mengungkapkan rasa ketertindasan mereka, dengan mengejek atau mengkritik para penindas mereka.

Tari topeng bukan hanya tarian semata, namun juga musik instrumental ritmik, lagu-lagu, dan dialog antara para pemain dengan pemusik dan para pemain dengan para penonton atau audiens. Tari topeng penuh dengan lelucon, sindiran, dan ekspresi vulgar berupa kata-kata kotor yang berkaitan dengan seks.

Tari topeng terdiri atas 11 adegan. Hyun Young-hak menyebutkan tiga adegan yang menurutnya penting berkaitan dengan minjung, yaitu Nojang (Biksu Budha Tua), Tiga Yangban (tiga orang aristokrat atau bangsawan), dan Miyal Halmi (Wanita Tua Miyal).[14]

Nojang adalah sebuah kritikan terhadap agama yang cenderung menjadi spiritualitas yang kuno dan agama metafisis yang jauh terpisah dari dunia nyata sehingga tidak bermakna dan tak produktif bagi rakyat.[15] Kisah Tiga Yangban ini mau menunjukkan bagaimana realitas kehidupan Kelas yangban. Kelas ini adalah kelas elit penguasa menganggap diri terpelajar, terhormat dan terpisah dari dunia fana rakyat jelata. Namun, dalam kisah ini mereka terlihat bodoh. Mereka begitu menikmati dunia mereka sendiri dan eksistensi sistem yang memberikan previlese dan prestise khusus bagi posisi mereka. Sikap ini membuat mereka buta akan realitas dunia. Kisah ketiga adalah Miyal-Malmi, yang menggambarkan seorang perempuan tua yang mencari suaminya. Dia terpisah dari suaminya selama bertahun-tahun karena perang di pulau Cheju, tempat tinggal mereka dulu. Kisah ketiga ini mau mengungkapkan kenyataan dunia di mana kaum bangsawan memerintah sekaligus kritik terhadap penindasan laki-laki atas kaum perempuan.

Tari topeng menjadi sarana untuk mentransendensi pengalaman mereka. Dalam dan melalui tari topeng, minjung mengalami dan mengekspresikan sebuah transendensi kritis melampaui dunia ini dan menertawakan absurditasnya.[16]

Menurut Hyun Young-hak, pengalaman transendensi ini mempunyai pengaruh baik secara positif maupun negatif. Ketika penindasan menjadi-jadi, kemarahan kaum minjung dapat saja meledak dan memberontak, namun tanpa mempunyai visi untuk mengubah sistem sosial dalam masyarakat. Untuk mencegah pecahnya pemberontakan, para pemimpin yang cerdas dan licik biasanya memanipulasi dan “mencuci otak” kaum minjung. Mereka mengijinkan dan bahkan membantu kaum minjung mengadakan festival-festival dan pertunjukan tari topeng yang berarti menyebarkan perasaan minjung yang terpendam. Mereka juga mengilahikan penglihatan minjung supaya perwujudan harapan mereka terjadi dalam “dunia lain” bukan dalam dunia nyata. Dalam hal inilah pengalaman transendental menjadi sesuatu yang negatif, karena membuat minjung menjadi pasif dan terjebak oleh pengharapan dan utopia belaka.

Namun, pengalaman transendensi itu juga mempunyai pengaruh positif. Pertama, pengalaman itu membangun dalam diri kaum minjung sikap bijaksana dan mempunyai daya untuk bertahan hidup dalam dunia yang tidak menghargai martabat mereka. Keyakinan bahwa dunia yang ada sekarang tidak berpihak dan mereka mampu mengatasi dunia itu, membuat mereka mampu menanggung beratnya kehidupan di dunia nyata ini dengan humor yang baik tanpa jatuh ke dalam keputusasaan. Kedua, pengalaman ini mendukung kaum minjung untuk berjuang demi perubahan dan kebebasan.

  1. Dasar Biblis Teologi Minjung

Setelah diskusi teologis dan sosio-politis dalam teologi minjung, diskusi bergerak pada diskusi biblis. Dalam diskusi selama konsultasi itu, muncul pertanyaan fundamental: Apa dasar-dasar biblis teologi minjung? Apakah kita menemukan minjung dalam Kitab Suci? Dapatkah kita merumuskan sebuah teologi biblis seputar gagasan tentang minjung?

Dua orang tokoh Korea mempresentasikan makalah penelitian biblis sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, Moon Hee-suk Cyris yang memusatkan pada kitab Kejadian 1:26-28 dalam makalahnya yang berjudul “An Old Testament Understanding of Minjung.” Kedua, Profesor Ahn Byung-mu mempresentasikan makalahnya yang berjudul “Jesus and the Minjung in the Gospel of Mark” yang meneliti kata “ochlos” dalam Injil menurut Markus sebagai sebuah jalan untuk memahami minjung dalam hubungannya dengan Yesus.[17]

 

5.1 Minjung dalam Perjanjian Lama

Moon Hee-suk Cyris berusaha menarik sebuah teologi Perjanjian Lama tentang hak-hak asasi manusia berdasarkan bagian ini dan melihat kitab Keluaran sebagai sebuah usaha untuk merestorasi sebuah rakyat. Dari kisah naratif Keluaran itu, Moon menemukan sebuah fakta penting: YHWH tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam gerakan pembebasan. Menurutnya, manusia diundang untuk bertindak sebagai partner Allah. Selain itu, perjumpaan Allah dengan Musa dikaitkan dengan para Bapa bangsa, terkait dengan janji Allah kepada mereka. Allah bukanlah Allah yang ingkar janji, namun selalu menepati janjiNya.[18] Sejak semula atau sejak penciptaan Allah telah memberkati mereka dan menjadikan mereka penguasa atas karya ciptaanNya. Dengan kata lain, Allah mempercayakan tanggung jawab kepada manusia untuk menjadi subyek atas sejarah. Ini jelas terungkap dalam Kej 1:28 “…Beranakcuculah dan bertambah banyak: penuhilah bumi dan takluklah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Oleh karena itu, menurut Moon, minjung adalah mereka yang membentuk sejarah manusia dengan menaklukkan dan menguasai bumi, yang memenuhi tujuan Allah dalam penciptaan.

Saat mengalami penindasan, berkat yang diberikan Allah dan hak minjung untuk menjadi penguasa atas dunia dan sejarah disangkal. Sejarah Keluaran merupakan sebuah sejarah restorasi martabat manusia sebagai yang diberkati oleh Allah.[19] Para teolog minjung memahami peristiwa Eksodus sebagai penegasan akan kedudukan sebagai subyek. Sebagaimana bangsa Israel diselamatkan Allah, demikian pula kaum minjung di Korea akan dibebaskan oleh Allah yang sama, sehingga mereka memperoleh kembali kedudukannya kembali sebagai subyek dalam sejarah.

Moon melihat bahwa realitas minjung dibicarakan juga dalam tulisan-tulisan Kenabian. Para nabi tampil sebagai orang-orang yang menyuarakan tangisan atau han kaum minjung. Para nabi tampil dengan berani membuka topeng kesalahan para anggota keluarga kerajaan dan memohon kesadaran mereka mengenai situasi realitas kaum minjung. Para nabi tidak berbicara mengenai sesuatu yang jauh di masa depan, namun mereka berbicara mengenai situasi sosio-ekonomi dan politik yang konkret terjadi saat ini.

Moon memusatkan perhatiannya pada dua pewartaan nabi yang terkenal yaitu Mikha dan Amos. Kedua nabi ini adalah nabi yang paling keras dan lantang menyuarakan kritikan terhadap sikap hidup para penguasa dan sekaligus menyuarakan jeritan penderitaan rakyat kecil.

Kritikan Amos terhadap kelas penguasa menunjuk sebuah titik dasar ketidakadilan yaitu penindasan. Penindasan ini terwujud dalam bentuk praktek jual beli budak, perampasan, pajak gandum dan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Para penguasa yang bersekongkol mengabaikan atau mendiamkan permintaan kaum minjung, kecuali mau memberi uang suap, menerapkan sistem kebijakan perdagangan yang korup dan merugikan kaum petani. Dalam Am 5:10-12, Amos mengecam praktek korupsi dalam sistem yang ada. Sistem pengadilan kacau dan kehilangan integritasnya.

Amos tidak hanya mengkritik keculasan para pemimpin dalam sistem sosial ekonomi dan politik  masyarakat Kerajaan Utara, namun juga mengkritik bobroknya sistem religius Israel. Dalam Am 7:10-17, Moon menunjukkan adanya bukti konfrontasi antara Amos dengan Amazia, seorang imam di Bethel. Amos mengkritik Amazia dengan berani dan keras yang dianggapnya melanggar Taurat dan mencoba menghentikan perkataan Allah meskipun kritikannya menyinggung raja.

Nabi lain yang tak kalah keras mengkritik ketidakadilan adalah Mikha. Moon menyatakan bahwa tulisan-tulisan kenabian Mikha memusatkan perhatian pada kata “my people atau umatKu” yaitu mereka yang tertindas. Mereka meyakini dirinya sebagai orang-orang yang dipilih sebagai gambar Allah dan seharusnya mereka menjadi subyek sejarah. Faktanya mereka kini tertindas, bukan oleh bangsa asing misalnya Mesir, namun oleh penguasa mereka sendiri, yang digambarkan oleh Mikha sebagai “ this people atau orang-orang ini” (Mi 2:7b-9).

Mikha melihat adanya dua kelas yang berbeda yaitu kelas orang miskin yang tertindas oleh para penguasa yang kaya. Lahan-lahan pertanian dan rumah-rumah yang bagus di Moresyet diambil alih oleh para penguasa secara paksa dan tidak adil dengan menggunakan kekerasan fisik. Mikha dengan lantang mengecam tindakan para pemimpin yang kejam dan tamak itu ibarat orang yang “memakan daging bangsaku, dan mengupas kulit dari tubuhnya” (Mi 3:3).

Mikha melihat juga perilaku para imam dan “nabi-nabi palsu” sama buruknya dengan para pemimpin yang tidak adil itu. “Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang” (Mi 3:10). Mikha menuduh mereka telah membangun iman dan teologi yang salah untuk membenarkan tindakan mereka sehingga melawan sabda Allah. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah cara untuk menjaga dan meningkatkan kekayaan pribadi mereka.[20]

Kata ”umatKu” menjadi semacam tema pusat atau inti ajaran dalam pewartaan nubuat Mikha. Mikha merasa bahwa seorang nabi sejati harus terlibat dalam penderitaan umatNya yang tertindas dan ikut merasakan betapa berat kesengsaraan mereka. Moon menegaskan bahwa dari tokoh Mikha, kita dapat belajar bahwa seorang nabi sejati selalu berdiri di samping dan bersama kaum minjung.[21]

Moon mencoba menarik sebuah benang merah yang menghubungkan realitas pewartaan nabi Mikha dengan  teologi minjung di Korea. Moon Hee-suk melihat bahwa situasi pada zaman nabi Mikha mempunyai kemiripan dengan kondisi kehidupan para petani, buruh, kelas pekerja, dan para pengangguran yang hidup seperti budak di Korea saat ini.[22] Sikap dan karakter nabi Mikha nampak dalam diri para teolog dan para pemimpin gerakan-gerakan pembebasan yang menyuarakan harapan dan keluhan kaum minjung di Korea.

5.2 Minjung dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru khususnya Injil Markus, juga mengungkapkan keberpihakan Yesus terhadap kaum minjung. Markus mengidentifikasi “ochlos” sebagai minjung pada jaman Yesus.

Dalam analisisnya, Ahn Byung-mu menemukan ada beberapa karakteristik dari ochlos ini.[23] Pertama, ochlos adalah orang-orang yang selalu berkumpul di sekeliling Yesus kemanapun Ia pergi (2:4,13; 3:9, 20, 32;  4:1; 5:21, 24, 31; 8:1; 10:1). Kedua, mereka kebanyakan adalah orang-orang yang disebut sebagai para pendosa, mereka yang disingkiri oleh masyarakat. Ketiga, kaum ochlos dibedakan dengan para murid. Dalam beberapa kesempatan, ajaran Yesus hanya ditujukan pada para murid (4:36; 6:46; 7:17; 33) sehingga ada kesan bahwa Yesus menempatkan para murid di atas kaum ochlos ini. Namun perlu diingat bahwa Yesus sering mengkritik sikap para murid, misalnya Yesus memarahi sikap mereka yang kurang memahami arti penderitaan Yesus (8:32; 9:32 dst). Sebaliknya Yesus tidak pernah memarahi kaum ochlos. Baginya, fakta ini seharusnya diingat ketika memandang para murid sebagai representasi Gereja.[24] Keempat, ochlos dikontraskan dengan para penguasa di Yerusalem yang menyerang dan mengkritik Yesus sebagai musuh mereka. Kelima, karena ochlos berlawanan dengan para penguasa, para penguasa takut terhadap mereka dan mencoba untuk tidak membangkitkan kemarahan mereka.

Ahn Byung-mu juga mengidentifikasi bagaimana sikap Yesus terhadap kelompok ochlos. Pertama, Yesus tergerak hatiNya oleh belaskasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala (6:34). Kedua, Yesus mewartakan bahwa mereka adalah ibuNya dan saudara-saudaraNya (Mrk 3:34) Dan menerima kaum ochlos ini sebagai anggota keluarga atau komunitas yang baru. Ketiga, Yesus mempunyai kebiasaan mengajar mereka (bdk Mat 10:1; 11:18). Ini berarti kaum ochlos kagum akan ajaran-ajaran Yesus.[25]

Bagi para teolog minjung, Yesus tidak hanya sekedar datang “untuk” kaum minjung, namun Yesus sendiri adalah bagian dari minjung itu sendiri. Bahkan Ia sendiri adalah personifikasi atau lambang kaum minjung. Yesus berjalan bersama mereka dan menjadi sahabat mereka. Justru pada titik inilah menurut Ahn, Yesus mewartakan kepada mereka bahwa “Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15).

Yesus mewartakan sebuah jalan dan pengharapan yang baru. Pada titik ini, Yesus berjuang bersama dengan minjung yang menderita. Bahkan Allah dipandang sebagai Allah yang ikut menderita, yang memandang serius penderitaan manusia sebagai akibat ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan. Dengan demikian, ada kesatuan antara “Allah dan Revolusi (unification of God and revolution)”. IdentifikasiNya dipandang sebagai jalan kaum minjung untuk mengadakan revolusi memperjuangkan status mereka sebagai subyek sejarah, yang menentukan sejarah mereka sendiri, bukan oleh kaum elit penguasa.

 

  1. Teologi Minjung: Sebuah Gerakan Mesianik dan Praksis Pembebasan

Teologi minjung tidak hanya berhenti pada refleksi teologis atas pengalaman penderitaan kaum minjung sepanjang sejarah dalam terang Kitab Suci.

Teologi minjung itu juga menghasilkan sebuah refleksi sebagai basis dan dasar bagaimana minjung harus menjadi subyek sejarah yaitu melalui perjuangan konkret menuju sebuah pembebasan kaum minjung. Makalah Kim Yong-bock yang berjudul “Messiah and Minjung: Discerning Messianic Politics over against Political Messianism”, menggali lebih luas mengenai transendensi diri kaum minjung.[26] Para teolog minjung mencoba merunut genealogi teologi minjung dalam pengalaman-pengalaman historis dan pembangunan komunitas Kristiani di Korea yang menghidupi perasaan han baik sifatnya personal maupun kolektif, yang termanifestasikan dalam berbagai macam bentuk seni dan pertunjukan seperti novel-novel, puisi-puisi, dan tari topeng. Refleksi itu bergerak menuju pada tindakan-tindakan yang mempunyai daya ubah bagi kaum minjung. Gagasan mesianik berkembang dengan mengkolaborasikan gagasan mesianik dalam Budha Maitreya, Donghak, dan Kristianitas. Proses kolaborasi itu mengarah pada terbentuknya Mesianisme Yesus atau mesianisme seorang Hamba yang menantang secara radikal semua bentuk mesianisme politis dan kekuasaan. Mesianisme Yesus akan membebaskan kaum minjung dari segala penderitaannya dan menempatkannya sebagai subyek sejarah, dan menciptakan sebuah umat Allah yang bersekutu (koinonia) dan dan damai (shalom). Pembebasan tidak hanya menyentuh unsur spiritual kaum minjung, namun juga secara sosio-ekonomis-politis.

Bagi Kim, ada beberapa tugas yang muncul atas situasi semacam itu di Korea. Pertama, orang-orang Kristen harus menyingkapkan sejarah panjang mesianisme politis yang memperbudak mereka dan dan berjuang untuk melawan mesianisme politis ini. Usaha ini melibatkan adanya evaluasi-evaluasi kritis terhadap nilai-nilai politis, struktur-struktur politis dan kepemimpinan politis. Kedua, mencoba menemukan kembali tradisi-tradisi mesianis populer yang diwariskan oleh Budhisme mesianik Maitreya dan agama Donghak, melalui sebuah penelitian literatur-literatur yang ada dan melalui dialog dengan para pemimpin Budhis dan Donghak yang mempunyai keprihatinan sama dengan orang-orang Kristen. Ketiga, terlibat dalam sebuah langkah konkret dalam perspektif politis seorang Kristen, berdasarkan gagasan-gagasan berikut ini: gagasan tentang kebangkitan umum rakyat (jasmani maupun spiritual) yang dipahami dalam istilah-istilah subyektivitas mesianis rakyat, shalom dalam hubungannya dengan proses unifikasi kedua Korea, dan koinonia (partisipasi) dan keadilan dalam hubungannya dengan pembangunan sosial politik orang-orang Korea. Untuk melaksanakan tiga hal ini, kita memerlukan sebuah pemahaman umum tentang sejarah Korea dan kita harus berdialog dengan kaum intelektual sekuler yang mencoba untuk melayani rakyat.[27]

 

  1. Relevansi Teologi Minjung terhadap Perkembangan Teologi di Asia

Teologi minjung mempunyai relevansi dalam pembangunan teologi kontekstual di Asia. Teologi minjung memberi contoh bagaimana teologi itu berangkat dari konteks realitas konkret rakyat Korea dan bagaimana mempribumikan refleksi teologi. Teologi minjung adalah sebuah hasil natural dari refleksi hermeneutik yang mendalam dan perjuangan mereka yang telah terlibat dalam praksis pembebasan kaum tertindas dan menderita, serta perjuangan humanisasi dari anak-anak Allah yang dihumanisasikan oleh para penguasa. Bagi teologi minjung, keselamatan berarti pembebasan, dan pembebasan berarti humanisasi mereka yang hak-haknya sebagai citra Allah dihilangkan.[28]

Penghargaan layak diberikan untuk minjung atas usahanya memberi contoh melakukan hermeneutik kreatif, atas kontribusinya dalam pembebasan teologis para teolog dan para pemimpin gereja lokal, atas usahanya membuka mata sejumlah orang Kristen pada dimensi sosio-politis dalam Injil, dan atas usahanya menampilkan makna universal dari Injil dalam usaha pembebasan manusia yang tertekan, tertindas dan menderita di Korea pada khususnya dan di Asia pada umumnya.[29] Teologi minjung menantang Gereja Korea dan Gereja Asia tradisional yang menekankan pertumbuhan Gereja dari segi kuantitas, namun kurang memperhatikan situasi sosial di sekitarnya. Teologi minjung menantang Gereja untuk memberi perhatian pada pertumbuhan dan kematangan Gereja yang seimbang, antara dimensi spiritual dan dimensi-dimensi sosial.[30]

Selain itu, pendekatan para teolog minjung, dengan perhatiannya pada cerita-cerita rakyat, tari topeng, dan pengharapan-pengharapan mesianik rakyat (kolaborasi mesianik dalam Budha Maitreya, agama Donghak, dan Kristianitas) juga memberi tekanan pada proses inkulturasi dalam teologi. Dengan menggunakan unsur-unsur budaya-religius setempat sebagai titik kontaknya, para teolog minjung mengembangkan sebuah “teologi pembebasan” sebagai hasil perjumpaan dan dialog antara realitas historis dengan segala konteks kulturalnya, iman Kristiani, dan inter-religius.[31] Inilah salah model teologi bagi Gereja Asia yang merindukan adanya teologi yang dibangun atas dasar kekhasan Asia: Kemiskinan, multi-kultural, dan multi-religius.

Teologi minjung juga membantu Gereja Asia untuk melaksanakan langkah-langkah apa yang ditawarkan oleh FABC dalam  mewujudkan teologi kontekstual Asia dengan metodologi teologis “See, Judge, and Act”. Pada tahap “See” teologi minjung melihat realitas penderitaan kaum minjung, tidak hanya dalam pengalaman konkret saat ini, tetapi juga dalam sejarah yang diwariskan dalam bentuk cerita atau narasi, Pansori, tari topeng (T’alchum). Narasi memainkan peran penting dalam budaya-budaya Asia. Mgr Luis Antonio G. Tagle (sekarang Kardinal dan Uskup Agung Manila) dalam First Asian Mission Congress menyatakan bahwa teologi diuntungkan dengan adanya kisah-kisah naratif itu karena cerita menyatakan identitas personal dan peristiwa-peristiwa yang mempertajam identitas itu.[32] Selanjutnya, pada tahap “Judge” teologi minjung membantu merefleksikan dan menafsirkan pengalaman itu dalam terang Kitab Suci yaitu Kisah Eksodus, nubuat profetis Amos-Mikha, dan kisah mesianis Yesus. Akhirnya pada tahap “Acts” teologi minjung mencoba membuat langkah-langkah konkret demi perjuangan untuk pembebasan kaum minjung yang miskin dan tertindas.

Oleh karena itu, tugas teologi minjung di Korea bersama-sama dengan teologi-teologi kontektual Asia lainnya seperti Teologi Akar Rumput di Filipina, Teologi Planeter di Sri Lanka, Teologi Kerbau di Thailand, dan teologi-teologi lainnya adalah membuat wajah-wajah Gereja khas Asia semakin tampak. Yewangoe mengutip gagasan Schillebeeckx yang menyatakan bahwa gereja-gereja Asia harus menjadi tempat pertemuan antara aksi dan kontemplasi. Dalam liturgi, pembebasan dan keselamatan Allah dirayakan, tetapi pada saat yang sama, liturgi pun harus menjadi tempat di mana praksis yang membebaskan itu mendapatkan makanannya.[33]

  1. Catatan Kritis terhadap Teologi Minjung

Beberapa teolog mengakui bahwa teologi minjung mampu memberi contoh dalam menghadirkan sebuah teologi yang kontekstual khas Gereja lokal. Namun, ini tidak berarti teologi ini langsung diterima begitu saja. Mayoritas orang-orang Kristen dan para teolog Korea tidak (belum) menerima teologi minjung sebagai sebuah teologi yang ideal. Bahkan ada beberapa teolog  seperti, Se Yoon Kim dan Eunsoo Kim secara ekstrim menyebut teologi minjung sebagai teologi heretik dalam terang Kitab Suci.[34]

  • Problem pada Hermeneutika Teologi Minjung

Dalam paper yang berjudul Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective, Eunsoo Kim mengkritik hermeneutika-hermeneutika teologi minjung dan kontekstualisasi teologi minjung. Menurutnya, teologi minjung hanya memperhatikan kultur homosentris dan bukan tentang keabsolutan dan transendensi Allah dan kebenaranNya. Sebagai sebuah teologi kontemporer yang berpusat pada manusia, menurut istilah Kim, teologi minjung memusatkan diri pada “sekarang-bukan masa depan atau kehidupan kekal, manusia- bukan Allah dan kondisi yang lebih baik dalam kebebasan-bukan kondisi esensi manusia.”  [35].

Eunsoo juga mengkritik hermenutika para teolog minjung yang menempatkan manusia (kaum minjung) sebagai subyek Kitab Suci, subyek sejarah dan subyek Gereja. Ia mengutip Kim Myung-hyuk yang mengatakan bahwa teologi minjung telah keluar dari batas teologis karena minat terbesarnya bukanlah Allah atau Yesus dalam Kitab Suci, melainkan pembebasan dan humanisasi kaum minjung.

  • Kedudukan Allah sebagai Sang Pembebas dalam Peristiwa Eksodus

A.A. Yewangoe memberi catatan pada gagasan teologi minjung tentang Allah yang membebaskan. Ia pada dasarnya dapat memahami sikap para teolog minjung yang mengkritik “spiritualisasi” peristiwa Eksodus sebagai sebuah pembebasan yang ada di luar kehidupan duniawi. Kritik itu dapat dibenarkan karena spritualisasi peristiwa Eksodus itu kadang digunakan sebagai alasan untuk mempertahankan status quo struktur sosial yang menindas rakyat dan menguntungkan kelas penguasa.[36]

Namun Yewangoe melihat masih ada masalah yang belum terjawab oleh para teolog Asia termasuk teolog minjung, berkaitan dengan karya penebusan Allah yang berkaitan dengan status khusus umat perjanjian Allah. Menurutnya, tekanan utama dalam peristiwa Eksodus adalah peristiwa pendamaian, yaitu dipulihkannya hubungan Israel dengan Allah. Oleh karena itu, faktor dosa harus dianggap serius dan penting. Melalui tindakan pendamaian, pengampunan dosa terjadi dan relasi dengan Allah dipulihkan. Allah tidak menutup mata terhadap Israel yang menjadi korban “kedosaan” Mesir dalam sistem sosialnya yang menindas. Allah menghukum dengan serangkaian bencana (bdk. Kel 7:14-12:42) sebagai tanda keprihatinan Allah akan situasi sosial ekonomi dan politik umatNya. Namun harus pula diingat bahwa Allah juga tidak menutup mata atas potensi “pemberontakan” Israel terhadap Allah. Oleh karena itu, pembebasan dari struktur-struktur sosial yang menindas tidaklah otomatis pembebasan dari dosa. Tindakan penebusan Allah dalam peristiwa Paskah harus selalu diingat. Tanpa pertobatan dan tanpa pengampunan dosa kaum tertindas dapat menjadi penindas, jika ada kesempatan. Itulah sebabnya Allah memperingatkan Israel agar tidak menghisap orang asing di negeri mereka, karena mereka pun dahulu orang asing di Mesir (bdk Im 19:33-34).[37]

Pendapat Yewangoe ini mau menjawab pemahaman Kim Yong-bock, seorang teolog minjung, yang menyatakan bahwa pemahaman tentang dosa tidak memainkan peran dalam teologi minjung di Korea. Yewangoe mengkritik para teolog minjung yang tidak seimbang dalam memperhatikan sisi pembebasan secara politis dan pembebasan secara spiritual. Mereka lebih menekankan makna politis dalam pembebasan kaum minjung dan kurang menekankan pada makna penebusannya. Para teolog minjung menafsirkan orang berdosa sebagai minjung. Orang berdosa hanyalah “cap atau gelar” yang dikenakan pada kaum minjung oleh kelas penguasa pada jaman Yesus. Oleh karena itu, gagasan apakah kaum minjung berdosa dan memberontak kepada Allah tidak memainkan peran apapun dalam teologi minjung.[38]

 

8.3 Gagasan tentang Allah yang Menderita

Yewangoe juga menyoroti tentang konsep Allah yang ikut menderita bersama minjung. Ia juga dapat memahami konsep itu. Ia yakin bahwa penekanan Allah yang berpihak pada orang tersingkir dan tertindas bukan hanya menguntungkan, tetapi sebuah keharusan, karena ini memberikan penekanan kepada orang-orang menderita sebuah kekuatan untuk menanggung penderitaannya.[39] Namun, teologi minjung harus memperhitungkan kedudukanNya sebagai “yang ikut menderita” sekaligus “kuasa dan kepemimpinan” Allah dalam sejarah. Choang Seng Song, memahami bahwa hakikat Allah bukanlah penderitaan, tetapi kasih. Justru karena kasihNya pada manusia, Allah mengosongkan diriNya (kenosis) demi keselamatan manusia (bdk. Flp 2:6-8).[40]

Yewangoe mengutip gagasan Choan Seng Song yang mengkritik pandangan teolog minjung yang menyatakan bahwa Allah menderita dan mati “bersama” dunia dan manusia. Song menegaskan bahwa Allah menderita dan wafat “untuk” dunia dan manusia.[41] Penekanan yang berlebihan pada Allah yang menderita dan mati “bersama” manusia dan enggan menggunakan kata “untuk” berarti mengabaikan keutuhan citra Yesus Kristus. Penggunaan mesianisme Hamba Yahwe yang menderita dalam teologi minjung, harus dimaknai pula sebagai jalan Allah yang menyelamatkan dengan cara menanggung dosa banyak orang, yang dari padaNya datang keselamatan bagi semua orang.[42]
[1] S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, Ledalero, Maumere 2010, 228-229.

[2] S. B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 259.

[3] Suh Kwang-sun David, ”A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 16.

[4] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 16.

[5] Wan Sang-han, Minjung dan Society, Sugak Publishing House, Seoul 1980, 26-27.

[6] Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 192-200.

[7] A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, dalam Pasific Theological Review 18:2 (1985), 10.

[8] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 25.

[9] A. Sung Park, “Minjung Theology: A Korean Contextual Theology”, 3.

[10] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 64.

[11] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 64.

[12] Suh Nam-dong, “Towards a Theology of Han”, 65-67. Bdk. Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001, 7.

[13] Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 7.

[14] Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981,48-50.

[15] A.A Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, 136.

[16] Hyun Young-Hak, “A Theological Look at the Mask Dance in Korea”, 50.

[17] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 33.

[18] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, Orbis Books, New York 1985, 6.

[19] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, 34.

[20] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 47.

[21] Cyris H.S. Moon, A Korean Minjung Theology- An Old Testament Perspective, 48.

[22] “Saat ini” menunjuk pada situasi saat tulisan itu dibuat, yaitu pada tahun 1970an. Moon Hee-suk Cyiris “An Old Testament Understanding of Minjung”, 133.

[23] Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 140-141.

[24] J Gnilka, “Das Evangelium nach Markus, EKK I”, 1978, 279, dalam Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 139.

[25] Moon Hee-suk Cyiris, “An Old Testament Understanding of Minjung”, 141-142.

[26] Suh Kwang-sun David, “A biographical Sketch of an Asian Theological Consultation”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 28.

[27] Kim Yong-bock, “Messiah and Minjung: Discerning Missianic Politics over against Political Mesianisme”, dalam The Commission of Theological Concerns of the Christian Conference of Asia (Ed.), Minjung Theology People as the Subjects of History, Christian Conference of Asia, Singapore 1981, 192.

[28] Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in Korea”, dalam Inter-Religio 24 (1993), 52.

[29] Keel Hee-sung, “Can Korean Protestantism be Reconciled with Culture? Rethinking Theology and Evangelisme in Korea”, 53.

[30] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, dalam Japan Christian Review 64 (1998), 62.

[31] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 310.

[32] Mario Saturnino Dias (ed.), Telling the Story of Jesus in Asia: A Celebration of Faith and Life at the First Asian Mission Congress, FABC- Office of Evangelization, Goa 2006, 133.

[33] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 363.

[34] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.

[35] Eunsoo Kim, “Minjung Theology in Korea: A Critique from a Reformed Theological Perspective”, 62.

[36] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 332.

[37] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 335-336.

[38] David Mol, “Minjung Theologie-Zuidkoreaanse bevrij dingstheologie in een geïndustrialiseerde samenleving”, Wending, 1985, 21-22 dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 330-331.

[39] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 341-342.

[40]  Choan Seng Song, Third Eye Theology, Maryknoll, 1979, 69, dalam A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 349-350.

[41] Choan Seng Song, Third Eye Theology, 165-166.

[42] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia, 357.