NIETSZCHE: PEMBUNUHAN ALLAH DEMI KEUNGGULAN MANUSIA

Friedrich Nietzsche

 Pengantar

Perkembangan dunia modern ditandai dengan memudarnya peran “Allah” sebagai pusat pembicaraan manusia (teosentris) yang mampu menjawab segalanya. Tekanan teosentris menjadi pudar dan peran antroposentris lambat laun bergerak menguat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan daya rasionalitas manusia yang liar, membawa pemahaman akan keunggulan rasio manusia. Arus ateisme semakin deras, menggerus keortodoksian pemikiran manusia tentang Allah sebagai yang absolut.

Nietzsche hadir dalam suasana demikian. Pandangan tentang dunia sebagai sesuatu yang jahat, kemutlakan Allah, dan ketergantungan manusia terhadap Allah, menjadi sasaran utama dari kritik Nietzsche terhadap agama (Kristen) saat itu. Baginya Allah membuat keunggulan manusia hilang dan menyebabkan manusia kehilangan daya kekuatannya lewat nilai-nilai yang dibawaNya. Maka ia ingin menyingkirkan konsep Allah dalam kehidupan manusia.

 

Allah dan Moralitas Kristen, pembunuh kebebasan manusia

Selama berabad-abad, Wilayah Eropa diwarnai oleh tradisi Judeo- Kristiani. Tradisi ini, merasuk dalam hampir seluruh bidang kehidupan manusia di wilayah Eropa, sehingga menjadi menjadikan wilayah ini tak terpisahkan dari Tradisi Judeo-Kristiani. Segala bidang kehidupan masyarakat dipengaruhi dan diatur oleh tradisi Judeo-Kristiani, sehingga mau tak mau nilai dan moralitas yang bergantung pada Allah sebagai tekanan Kristiani sungguh dominan. Hal ini menjadi area kritik Nietzsche sepanjang karyanya.

Bagi Nietzsche, Moralitas Kristiani merupakan moralitas para budak. Di dunia ada 2 macam moralitas yang lahir dari peradaban manusia yaitu moralitas Tuan (Hereenmoral) dan Moralitas kaum budak (Herdenmoral).[1] Moralitas Tuan menunjukkan suatu moralitas sebagai ungkapan penghargaan terhadap diri sendiri. Sedangkan moralitas para budak tidak pernah bertindak dari diri sendiri, sebab amat tergantung pada perintah majikannya. Bertindak menurut kebebasan diri berarti menyangkal kodrat sebagai budak.

Manusia harus keluar dari mentalitas dan moralitas budak dan menghidupkan kembali moralitas para tuan. Nilai-nilai yang ada dalam moralitas kristiani mesti dibuang karena telah menjungkirbalikkan nilai-nilai yang seharusnya dipelihara. Bagi Nietzsche, yang membuat manusia mampu keluar dari kebinatangan dan membangun peradaban adalah proses eliminasi yang terus-menerus yang lemah oleh yang kuat. Justru melalui proses eliminasi inilah maka hal-hal yang paling kita hargai tentang eksistensi manusia menjadi ada. Namun kemunculan tokoh moralitas seperti Yesus dengan ajaran Kristianitasnya, yang menolak adanya eliminasi dan menekankan perlindungan bagi yang lemah (bdk. Sabda Bahagia Yesus dalam Mat 5:1-12) mengubah kebenaran itu. karakteristik para budak justru dihormati sebagai keutamaan: melayani orang lain, menyangkal diri dan mengorbankan diri.  Yang rendah, lemah, jelek malah disebut “baik”, sedangkan yang luhur, agung, berdaulat, bagus, malah disebut “jahat”. Semuanya itu dilakukan atas nama moralitas! Moralitas itu digantungkan pada Dia yang transeden, merupakan peingkaran akan moralitas tuan dan affirmasi akan moralitas budak. Baginya inilah kemunduran paling buruk dalam sejarah peradaban manusia.

 

 Nietzsche, pembunuh Allah demi keunggulan manusia Ubermensch

Untuk memulihkan peradaban yang telah dijungkirbalikkan itu, secara tegas dan terbuka Nietzsche menyerang ketaatan pada moral ideal dari tradisi Kristen. Nietsche menyatakan “Tuhan telah mati, dan kita telah membunuhnya”.(Gott ist tot! Und wir haben ihn getotet!)”.[2] Kata-kata ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa jaminan absolut akan nilai-nilai Kristiani yakni Tuhan yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia telah runtuh. Secara terang-terangan ia mengungkapkan pandangan ateistiknya itu dalam karya aforismenya yang berjudul Orang Gila (“Der tolle Mensch”, “The Madman”). Dengan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang gila, Nietzsche mau menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri saat masih berstatus calon pendeta yang amat religius.[3] Kegilaan ini menandakan lahirnya zaman kegilaan universal, orang kehilangan Allah yang “dibunuhnya” dan siap menyambut lahirnya era baru bagi kemerdekaan dan kreatifitas manusia untuk berkembang secara penuh.[4]

Bagi Nietzshe, manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya; manusia sendiri yang harus menciptakan dunia dan memberi nilai. Karena manusia adalah bebas atas dirinya maka Allah dan segala penentuannya tidak boleh ada. Manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri. Karena Allah sudah tidak ada, tidak ada dunia selain dunia kita sekarang ini, maka segala moralitas, etika nilai tidak mungkin bersifat dan bermakna transendental.

Nietzsche juga menyatakan bahwa kematian ide “Allah” membuka jalan untuk hidup manusia, di mana ia sendiri menjadi semacam keilahian, Uebermensch, Superman.[5] Uebermensch adalah cara manusia memberikan nilainya pada diri sendiri tanpa berpaling dari duniadan menengok keseberang dunia. Dirinyalah sumber nilai, bukan agama, bukan Allah, karena Ia telah mati! Manusia harus berani menghargai hidup, dan tidak perlu taku pada hidup. Dari dalam dirinya ada potensi untuk mengatasi kebinatangannya dan menuju pada Ubermensch. Manusia adalah sebuah entitas atau kesatuan kekuasaan yang terus-menerus hendak mengaktualisasikan diri lewat konflik.  Maka, orang harus berani dan bergairah untuk menghadapi perang dan konflik. Karena lewat inilah dirinya sungguh mencapai batas maksimum kemampuan mereka. Allah sebagai penghambat manusia untuk mencapai tahap ini telah mati, maka jangan pernah takut lagi untuk untuk menghayati kehidupannya sendiri secara penuh.

 

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gerakan dan tekanan pada atroposentris telah menggeser kedudukan teosentris. Allah tidak lagi menjadi yang utama. Bahkan Nietzsche konsep Allah harus “dibunuh” agar manusia menjadi bebas dalam mengaktualisasikan diri, seturut moralitas para tuan. Saatnya manusia sendiri menentukan nilai bagi dirinya tanap harus terkekang akan bualan moralitas kaum budak kristiani yang membuai manusia mencintai hal-hal yang palsu. Nietszche memberi gagasan baru yang tidak saja mengguncang dunia saat itu, tetapi melahirkan pengaruh di sana-sini.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Budiman Hardiman, F.,

2007         Filsafat Modern, dari Machiaveli Sampai Nietzsche. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Harry Hamersma,

1984         Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Sunardi. St.,

1996         Nietzsche. Penerbit LKiS, Yogyakarta.


[1] F. Budiman Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiaveli Sampai Nietzsche, Penerbit PT Gramedia, Jakarta 2007, 267

[2] St. Sunardi. Nietzsche, Penerbit LKiS, Yogyakarta 1996, 23.

[3] St. Sunardi. Nietzsche, 26.

[4] F. Budiman Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiaveli Sampai Nietzsche, 279

[5] Dr. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Penerbit PT Gramedia, Jakarta 1984, 81.