GEREJA BERPERAN AKTIF MELAKSANAKAN TUGAS PERUTUSANNYA DI DUNIA, MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT DENGAN MENJADI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

 

 

  1. PENGANTAR

Di tengah maraknya perang yang berkecamuk, akibat serangan Israel di wilayah Jalur Gaza, Paus meniupkan angin segar perdamaian. Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas hari Minggu 8 Juni 2014 ikut bersama Paus Fransiskus di Vatikan dalam acara doa yang belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah.[1] Kehadiran mereka ini, tidak terlepas dari undangan Paus Fransiskus ketika mengunjungi Timur tengah. Peristiwa ini terasa menyejukkan.

Dalam acara doa bersama yang diadakan Paus menyatakan “Para pembuat perdamaian hendaknya punya keberanian, dan menjauhkan peperangan. upaya mencari perdamaian merupakan “tindakan tanggung jawab tertinggi dihadapan hati nurani kita dan di depan rakyat. Ini panggilan untuk memecahkan spiral kebencian dan kekerasan, dan mematahkan dengan satu kata saja: yakni sapaan kata saudara.”

Pernyataan Paus sebagai representasi Gereja Universal ini ingin menunjukkan wajah Gereja yang sesungguhnya, yaitu peduli terhadap situasi dunia ini. Gereja diharapkan lebih berani untuk menampakkan peran rohaninya dalam kenyataan duniawi, dengan menyerukan nilai-nilai kemanusiaan universal, tanpa harus terikat dalam sistem politik tertentu. Mengapa Gereja mampu bersikap demikian?

Paper ini secara singkat mencoba menampilkan hakikat Gereja sesungguhnya dan tugas perutusannya di dunia, khususnya sumbangsihnya bagi masyarakat dunia yang penuh dengan gejolak, pertikaian, konflik, perang, dan kental dengan budaya kekerasan. Penulis mencoba memaknainya secara eksplisit dalam konsep Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian.

 

  1. HAKIKAT GEREJA

Menurut pandangan Bapa-bapa Gereja seperti Ireneus, Leo Agung dan Hieronymus, Peristiwa Pentakosta dianggap sebagai awal lahirnya Gereja. Jemaat yang lahir setelah Pentakosta ini bersekutu membentuk sebuah “communio” dan yang mempersatukan mereka adalah iman akan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit (bdk Kis 2:42-47; 4:32-35; 5:12-16). Jemaat ini berasal dari Roh dan kuasa Tuhan Yesus, dan diutus untuk menjadi saksi wafat dan kebangkitan Kristus Yesus.

Gereja ini mempunyai relasi yang khusus dengan Kristus yaitu Tubuh Kristus. St. Agustinus menyatakan bahwa kepala dan anggota membentuk satu Kritus, bukan karena Kristus tidak lengkap, tetapi karena ia menghendaki membentuk satu kesatuan dengan para pengikutNya. Dengan demikian sejak semula Gereja tidak pernah terpisah dari Kristus. Gelar Kristus hanya bermakna kalau mempunyai relasi yang erat dengan komunitas Kristiani, sebab “tidak ada Gereja tanpa Kristus, tidak ada Kristus tanpa Gereja”.[2] Dokumen Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 1, menyatakan relasi yang kuat antara Gereja dan Kristus sendiri: “Gereja dalam Kristus bagaikan sakramen, yaitu adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. 

Hakekat atau jati diri Gereja itu secara jelas dinyatakan juga dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 204 § 1: “Melalui sakramen Baptis, Kaum beriman Kristiani diinkorporasikan dengan Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Imami, Kenabian, dan Rajawi Kristus.” Hal ini mau menegaskan bahwa pembaptisan merupakan manusia ambil bagian dalam tugas misi Kristus di dunia. Dengan pembaptisan  umat beriman kristiani juga disatukan dengan Kristus didalam tubuhNya yakni Gereja (unsur “communio”). Dalam Persekutuan umat beriman tampak adanya perpaduan unsur manusiawi dan Ilahi.

 

  1. TUGAS PERUTUSAN GEREJA DI DUNIA: MEWARTAKAN INJIL

Perutusan Gereja adalah perutusan Para Rasul yang mereka terima dari Kristus, sebagaimana Kristus diutus oleh Bapa untuk mewartakan kebenaran yang menyelamatkan manusia (LG 17). Sebab seperti Putra diutus oleh Bapa, begitu pula Ia sendiri mengutus para Rasul (bdk. Yoh 20:21).  Gereja menerima perutusan Ilahi yang dipercayakan kepada para Rasul itu untuk mewartakan Kerajaan Kristus serta Misteri Allah, dan untuk menyinari dunia dengan amanat Injil, untuk menyalurkan kasih Allah terhadap semua orang dan segala bangsa, terutama di bidang rohani, dan bukan politik, ekonomi dan sosial (bdk GS. 42). Meski demikian Perutusan Gereja itu berlangsung di tengah dunia, dan harus menanggapi situasi khas dunia zaman sekarang (bdk. LG. 33, 36). Perutusan Gereja itu bersifat keagamaan dan jasmani, dan menyangkut keselamatan rohani maupun jasmani (bdk. GS. 11, 42).[3]

 

  1. MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT
    • Pengertian Bonum Commune

Bonum Commune adalah kata dalam bahasa Latin yang dapat diterjemahkan secara literal sebagai “Kebaikan atau Kesejahteraan Umum”. Kompendium Ajaran Sosial Gereja no. 164 menyatakan bahwa berdasarkan artinya yang utama dan luas diterima, kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”.[4] Pengertian ini berkembang dalam sejarah Gereja yang berakar dalam tradisi teologi politik Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas.[5]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Agustinus

Agustinus dari Hippo mengungkapkan gagasannya tentang bonum commune atau the common good yang tertuang dalam bukunya De Civitate Dei. Buku ini merupakan sebuah jawaban apologetik bagi mereka yang menyalahkan Kristianitas sebagai penyebab kekacauan di kekaisaran Roma pada tahun 410. Agustinus berpendapat bahwa selain perbedaan dalam kebudayaan, bangsa, dan bahasa, perbedaan mendasar dalam diri manusia adalah dua kelompok yang ia sebut sebagai Kota Allah (City of God) dan Kota Duniawi (Eartly City). Menurut Agustinus umat manusia digerakkan oleh apa yang disebutnya “cinta”. Maka kedua kota ini dibentuk oleh dua jenis cinta yang berbeda: cinta pada diri sendiri (yang bahkan dapat mengingkari Allah) dan cinta pada Allah (yang mengingkari diri sendiri).[6]

Kota Allah ini adalah dunia spiritual yang warga negaranya yang berusaha mewujudkan nilai-nilai keutamaan Kristiani. Hanya umat Kristen saja, karena rahmat Allah, dapat sukacita menjadi warga kota Allah ini. Sementara mereka yang lain, yang bukan Kristen, adalah warga kota dunia yang penuh konflik politik[7].  Meski demikian, Agustinus juga menyatakan bahwa para anggota dari kedua kota itu juga ada dalam Gereja yang kelihatan. Pembedaan antara kedua kota itu adalah lebih bersifat eskatologis dari pada politis. Para anggota kedua kota itu bercampur baur dalam apa yang disebut Agustinus sebagai saeculum, bidang realitas temporal di mana unsur-unsur politik itu berada.[8]

Paham bonum commune  dalam pemikiran Agustinus terletak pada dua tesis dasar. Pertama, berangkat dari etika kebaikan (eudamonia) yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para filsuf Yunani. Agustinus menyakini bahwa kebaikan individual tidak akan mungkin terwujud tanpa kebaikan bersama yang datang dari keluarga, negara dan kerajaan. Kedua, karena tiap individu adalah bagian dari negara atau kerajaan, maka seseorang perlu menganggap dengan jujur apa yang baik dirinya sesuai dengan kebaikan bagi orang banyak.[9]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Thomas Aquinas

Gagasan Thomas Aquinas tentang Bonum Commune di pengaruhi oleh aliran Aristotelian. Menurut Aristoteles, ”kebaikan” (bonum) adalah apa yang diinginkan oleh segala makhluk. Dengan dasar inilah Thomas menegaskan bahwa “kebaikan” adalah kodrat semua ciptaan. Kodrat semua makhluk hidup adalah kebaikan yang dicari dengan kebaikan dan cinta kasih, serta bertujuan untuk sampai dan bersatu dengan Allah, sang Kebaikan Tertinggi.

Bonum commune hanya dapat terwujud bila tiap individu yang membentuk satu masyarakat, satu Tubuh itu, berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain dalam kebaikan. dua sumbangan besar Aquinas dalam pemikirannya tentang bonum commune. Pertama, dengan pendasaran bonum commune sebagai hukum kodrat, Thomas Aquinas memberi dasar filosofis-teologis yang kuat untuk kepentingan sosiologis, yaitu: keterlibatan warga negara dalam membangun negaranya. Kedua, cita-cita persatuan dengan Allah – Sumber Kebaikan – sebagai tujuan negara memungkinkan pendasaran moral bagi laku para warga negara.

 

  • Bonum Commune dalam Konsili Vatikan II

Gereja juga menegaskan dirinya dalam hubungannya dengan Negara. Dalam masyarakat majemuk, perlu dipahami secara tepat dan jelas hubungan antara Gereja dan negara. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya, gereja sama sekali tidak dapat dicampur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik manapun. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi manusia. Negara dan Gereja bersifat otonom dan tidak saling tergantung dalam bidangnya masing-masing (LG 76). Gereja hendak menegaskan dirinya sebagai institusi spiritual dan bukan sebagai institusi kekuasaan duniawi.

Pada prinsipnya, Gereja Katolik melarang para Pejabat Hirarki Gereja tidak diperkenankan untuk terlibat dalam politik praktis (bdk.  KHK 1983 kan. 287 § 2). Jelasnya, mereka tidak boleh mencalonkan dan dicalonkan sebagai anggota legislatif atau jabatan publik seperti Bupati, Gubernur, atau Presiden dan wakil presiden. Namun, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.

Menurut Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 74, “Negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya”. Hal ini mau menyatakan bahwa kesejahteraan umum (bonum commune) adalah Hakekat dan Tujuan Negara.

Gereja juga melihat dirinya harus untuk terlibat dalam mewujudkan bonum commune dalam masyarakat. Maka, Gereja memandang perlu untuk menjalin kerjasama dengan Negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum dalam masyarakat. Gereja dan negara dapat secara lebih efektif menunaikan pelayanan ini “demi kesejahteraan umum jika semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat”. Peran gereja ini dijalankan oleh kaum awam. Gereja justru mendorong kaum awam Kristiani untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial terutama dalam bidang-bidang keluarga, kebudayaan, kerja, ekonomi dan politik sesuai dengan kemampuannya. Justru dalam bidang inilah yang menjadi ciri khas kaum awam, yang terlibat dalam urusan keduniawian. Disitulah mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas mereka dengan dijiwai semangat Injil, ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia (LG 31).

 

  1. GEREJA SEBAGAI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

Lantas, bagaimana Gereja ikut serta membangun bonum commune dalam masyarakat? Salah satu hal yang dapat dibuat Gereja adalah menjadi Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Penulis terispirasi dari Konstitusi Kongregasi Imam-imam Hati Kudus no. 7b yang berbicara mengenai Nabi-nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Dalam Konstitusi itu dinyatakan bahwa, “Pater Dehon mengharapkan dari para religiusnya supaya menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian manusia dan dunia dalam Kristus (2Kor 5:18)”.

Tentu saja, panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian harus ditempatkan dalam rangka misi Gereja jaman ini. Saat ini pelaksanaan karya kenabian bukan dengan mewartakan rencana Allah yang diterima secara langsung lewat pewahyuan, melainkan dengan mewartakan sabda Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa yang lampau. Menurut Al. Purwahadiwardaya, untuk menjadi nabi jaman ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu: pertama, sungguh-sungguh memahami rencana dan kehendak Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa lampau. Kedua, memahami rencana dan kehendak Allah bagi dunia pada jaman modern ini, di mana kita saat ini ada dan hidup dalam dinamikanya.[10]

 

  • Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih
    • Nabi dalam Perjanjian Lama

Penggunaan istilah “Nabi” sering muncul dalam dunia Perjanjian Lama. Beberapa istilah tentang Nabi (Prophet) diambil dari prophētēs (Yunani) berarti berbicara di depan, berbicara sebelumnya dan berbicara atas nama seseorang; nabu (Akkadia) berarti memanggil, naba’a (Arab) berarti mewartakan.[11] Nabi adalah perantara antara Allah dan manusia untuk membangun Yudaisme yang ketat. Dengan kata lain, nabi adalah “penyambung lidah” HYWH kepada umat Israel.

Perjanjian Lama menampilkan para nabi dalam konteks kekuasaan raja. Secara khusus masalah yang dihadapi para nabi yakni adanya berbagai bentuk ketidakadilan dalam hal politik, ekonomi dan militer. Tugas para nabi yakni membawa pesan YHWH bagi kesejahteraan seluruh rakyat yang seringkali bertentangan dengan raja yang berkuasa.[12] Keontentikan seorang nabi (nabi sejati) dinilai berdasarkan  kebenaran isi nubuatnya; apakah berasal dari YHWH atau tidak. Mereka menyuarakan perubahan sosial-politik dengan melontarkan kritik terhadap bentuk penindasan dan ketidakadilan yg terjadi atas nama YHWH dan dengan demikian menyatakan bahwa YHWH hadir di dalam kehidupan umat sehari-hari.

 

  • Nabi Cinta Kasih

Paham nabi dalam Konstitusi SCJ agak berbeda. Nabi dalam Konstitusi SCJ bukanlah sekelompok orang tertentu saja, tetapi semua orang diutus untuk meneruskan karya para nabi dan “Sang Nabi” Tuhan Yesus sendiri dengan menjadi Nabi-nabi cinta kasih. Panggilan menjadi nabi Cinta kasih mencakup suatu tindakan untuk menyebarluaskan kasih Allah kepada setiap orang. Panggilan itu berpangkal dari pengalaman akan Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia, dan manusia dipanggil untuk menjadi pelayan cinta kasih sebagai bentuk balasan kasih kepada Allah dan sesama. Kita mencintai sesama kita karena Dia pertama-tama telah mencintai kita (bdk. I Yoh 4:11-19). Dia telah mengasihi kita, dan inilah perintahNya supaya kita saling mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi kita (bdk. Yoh 15:7-17)[13].

Gagasan Konstitusi SCJ ini sejalan dengan apa yang diwartakan oleh Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menegaskan apa tugas Kenabian Gereja Umat Allah yang kudus. Lumen Gentium (LG) 12 menyatakan bahwa “Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentangNya, terutama melalui hidup iman dan cintakasih”. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes 12, menyatakan bahwa Cinta kasih Kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku bangsa, keadaan sosial dan agama, tanpa mengharapkan keuntungan dan ungkapan terima kasih.

Bagaimana peran sebagai nabi cinta kasih itu dapat diwujudkan Gereja? Panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih ini menjadi jelas melalui tindakan dan karya sosial karitatif Gereja.

Kompendium Ajaran sosial Gereja no 5 menegaskan bagaimana cinta kasih itu dilaksanakan: “Cinta kasih menghadap medan kerja yang luas dan Gereja berhasrat untuk memberi andilnya dengan ajaran sosialnya, yang berkenaan dengan seluruh pribadi dan ditujukan kepada semua orang.” Begitu banyak saudara dan saudari yang berkekurangan yang sedang menantikan pertolongan, begitu banyak orang tertindas yang sedang menantikan keadilan, begitu banyak orang menganggur yang sedang menantikan pekerjaan, begitu banyak orang yang sedang menantikan penghargaan. Maka menjadi nabi cinta kasih adalah berani berjuang bersama saudara-saudara yang menderita dan mengembangkan semangat solidaritas.

 

  • Pelayan Pendamaian (2 Kor 5:18)

Tema pendamaian dan panggilan menjadi pelayanan pendamaian muncul karena situasi dunia yang penuh dengan ketidakadilan, dan adanya ketidakharmonisan hubungan antar manusia.

Dalam 2 Kor 5: 18, Paulus menyatakan bahwa Allah melalui perantaraan Kristus telah mendamaikan manusia dengan diriNya, dan kini Allah telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Paulus ingin menyatakan bahwa proses pendamaian yang terjadi antar manusia itu bukanlah melulu usaha manusia semata, tetapi berdasarkan inisiatif Allah. Pendamaian dan upaya-upaya pendamaian dan kerjasama antara bangsa-bangsa merupakan tanda kehadiran Allah yang berkarya dalam setiap hati manusia.

Berpangkal dari kasih Allah yang mendamaikan dunia dengan diriNya melalui darah Kristus, Gereja hendaknya menjadi pelayanan pendamaian. Keterlibatan sebagai pelayan pendamaian dimulai dengan ikut serta merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain, tanpa memnandang identitas. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 1 secara jelas menyatakan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Hal ini berarti bahwa Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari dunia, namun bukan milik dunia ini, dan diutus kepada dunia (bdk. Yoh 17:14-18).

Gereja mesti juga terlibat dalam masalah-masalah dunia, khususnya dalam hal perdamaian. Menurut Konsili, damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula sekadar menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Memajukan perdamaian di tengah dunia adalah bagian terpadu dari misi Gereja melanjutkan karya penebusan Kristus di muka bumi. Sesungguhnya, Gereja adalah, dalam Kristus, “‘sakramen’ atau tanda dan sarana perdamaian di tengah dunia dan bagi dunia”. Gereja mengajarkan bahwa perdamaian yang sejati dimungkinkan hanya melalui pengampunan dan rekonsiliasi. Gereja juga menetapkan adanya Hari Perdamaian Sedunia sebagai saat-saat khusus untuk mendaraskan doa bagi perdamaian dan bagi komitmen untuk membangun sebuah dunia yang damai. Paus Paulus VI meresmikan hari tersebut untuk mempersembahkan pikiran dan tekad tentang Perdamaian sebuah kebaktian khusus pada hari pertama tahun baru.

 

 

 

 

[1] Bdk. http://www.kabar24.com/international/read/20140609/10/220555/paus-fransiskus-minta-presiden-israel-palestina-ciptakan-perdamaian, diakses pada Selasa 30 September 2014.

 

[2] J.-M. R. Tillard, Church of Churches The Ecclesiology of Communion, diterjemahkan dari Église d’églises oleh R. C. De Peaux, The Liturgical Press, Minnesota 1994, 20-22.

[3] R. Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II, Indeks Analitis, Obor, Jakarta, 1993, 685.

[4] Lihat juga dalam Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 26: AAS 58 (1966), 1 046; bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1 905-1912; Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra AAS 53 (1961), 417-421; Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris: AAS 55 (1963), 272-273; Paulus VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens, 46: AAS 63 (1971), 433-435.

 

[5] bdk. Gregory M. Scott, Political Science: Foundations for a Fifth Millenium, Prentice Hall, New Jersey 1997, 33-35

 

[6] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy” dalam The Cambridge Companion to Augustine, Cambridge University Press, 2006, 236-237.

[7] bdk. J.H. Rapar, Filsafat Politik Agustinus, CV Rajawali, Jakarta 1989, 65-67

 

[8] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy”, 237.

[9]  Bdk. Agustinus dari Hippo, Confessiones, III, 8

[10] Al. Purwahadiwardaya, “Menggemakan Suara Nabi Pada Zaman Ini”, dalam Orientasi Baru, Jurnal Filsafat dan Teologi, 22 (2013:1) 32.

[11] Indra Sanjaya, The Prophetic Literature Diktat Kitab Nabi-nabi, pro manuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2008, 9.

[12] The Prophetic Literature, Indra Sanjaya, 15.

[13] Albert Bourgeois, Our Rule of Life, diterjemahkan dari Notre Regle De Vie oleh Guiseppe Manzoni, General Center of Studies, Roma 1987, 543.