GEREJA BERPERAN AKTIF MELAKSANAKAN TUGAS PERUTUSANNYA DI DUNIA, MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT DENGAN MENJADI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

 

 

  1. PENGANTAR

Di tengah maraknya perang yang berkecamuk, akibat serangan Israel di wilayah Jalur Gaza, Paus meniupkan angin segar perdamaian. Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas hari Minggu 8 Juni 2014 ikut bersama Paus Fransiskus di Vatikan dalam acara doa yang belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah.[1] Kehadiran mereka ini, tidak terlepas dari undangan Paus Fransiskus ketika mengunjungi Timur tengah. Peristiwa ini terasa menyejukkan.

Dalam acara doa bersama yang diadakan Paus menyatakan “Para pembuat perdamaian hendaknya punya keberanian, dan menjauhkan peperangan. upaya mencari perdamaian merupakan “tindakan tanggung jawab tertinggi dihadapan hati nurani kita dan di depan rakyat. Ini panggilan untuk memecahkan spiral kebencian dan kekerasan, dan mematahkan dengan satu kata saja: yakni sapaan kata saudara.”

Pernyataan Paus sebagai representasi Gereja Universal ini ingin menunjukkan wajah Gereja yang sesungguhnya, yaitu peduli terhadap situasi dunia ini. Gereja diharapkan lebih berani untuk menampakkan peran rohaninya dalam kenyataan duniawi, dengan menyerukan nilai-nilai kemanusiaan universal, tanpa harus terikat dalam sistem politik tertentu. Mengapa Gereja mampu bersikap demikian?

Paper ini secara singkat mencoba menampilkan hakikat Gereja sesungguhnya dan tugas perutusannya di dunia, khususnya sumbangsihnya bagi masyarakat dunia yang penuh dengan gejolak, pertikaian, konflik, perang, dan kental dengan budaya kekerasan. Penulis mencoba memaknainya secara eksplisit dalam konsep Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian.

 

  1. HAKIKAT GEREJA

Menurut pandangan Bapa-bapa Gereja seperti Ireneus, Leo Agung dan Hieronymus, Peristiwa Pentakosta dianggap sebagai awal lahirnya Gereja. Jemaat yang lahir setelah Pentakosta ini bersekutu membentuk sebuah “communio” dan yang mempersatukan mereka adalah iman akan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit (bdk Kis 2:42-47; 4:32-35; 5:12-16). Jemaat ini berasal dari Roh dan kuasa Tuhan Yesus, dan diutus untuk menjadi saksi wafat dan kebangkitan Kristus Yesus.

Gereja ini mempunyai relasi yang khusus dengan Kristus yaitu Tubuh Kristus. St. Agustinus menyatakan bahwa kepala dan anggota membentuk satu Kritus, bukan karena Kristus tidak lengkap, tetapi karena ia menghendaki membentuk satu kesatuan dengan para pengikutNya. Dengan demikian sejak semula Gereja tidak pernah terpisah dari Kristus. Gelar Kristus hanya bermakna kalau mempunyai relasi yang erat dengan komunitas Kristiani, sebab “tidak ada Gereja tanpa Kristus, tidak ada Kristus tanpa Gereja”.[2] Dokumen Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 1, menyatakan relasi yang kuat antara Gereja dan Kristus sendiri: “Gereja dalam Kristus bagaikan sakramen, yaitu adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. 

Hakekat atau jati diri Gereja itu secara jelas dinyatakan juga dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 204 § 1: “Melalui sakramen Baptis, Kaum beriman Kristiani diinkorporasikan dengan Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Imami, Kenabian, dan Rajawi Kristus.” Hal ini mau menegaskan bahwa pembaptisan merupakan manusia ambil bagian dalam tugas misi Kristus di dunia. Dengan pembaptisan  umat beriman kristiani juga disatukan dengan Kristus didalam tubuhNya yakni Gereja (unsur “communio”). Dalam Persekutuan umat beriman tampak adanya perpaduan unsur manusiawi dan Ilahi.

 

  1. TUGAS PERUTUSAN GEREJA DI DUNIA: MEWARTAKAN INJIL

Perutusan Gereja adalah perutusan Para Rasul yang mereka terima dari Kristus, sebagaimana Kristus diutus oleh Bapa untuk mewartakan kebenaran yang menyelamatkan manusia (LG 17). Sebab seperti Putra diutus oleh Bapa, begitu pula Ia sendiri mengutus para Rasul (bdk. Yoh 20:21).  Gereja menerima perutusan Ilahi yang dipercayakan kepada para Rasul itu untuk mewartakan Kerajaan Kristus serta Misteri Allah, dan untuk menyinari dunia dengan amanat Injil, untuk menyalurkan kasih Allah terhadap semua orang dan segala bangsa, terutama di bidang rohani, dan bukan politik, ekonomi dan sosial (bdk GS. 42). Meski demikian Perutusan Gereja itu berlangsung di tengah dunia, dan harus menanggapi situasi khas dunia zaman sekarang (bdk. LG. 33, 36). Perutusan Gereja itu bersifat keagamaan dan jasmani, dan menyangkut keselamatan rohani maupun jasmani (bdk. GS. 11, 42).[3]

 

  1. MEMBANGUN BONUM COMMUNE DALAM MASYARAKAT
    • Pengertian Bonum Commune

Bonum Commune adalah kata dalam bahasa Latin yang dapat diterjemahkan secara literal sebagai “Kebaikan atau Kesejahteraan Umum”. Kompendium Ajaran Sosial Gereja no. 164 menyatakan bahwa berdasarkan artinya yang utama dan luas diterima, kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”.[4] Pengertian ini berkembang dalam sejarah Gereja yang berakar dalam tradisi teologi politik Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas.[5]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Agustinus

Agustinus dari Hippo mengungkapkan gagasannya tentang bonum commune atau the common good yang tertuang dalam bukunya De Civitate Dei. Buku ini merupakan sebuah jawaban apologetik bagi mereka yang menyalahkan Kristianitas sebagai penyebab kekacauan di kekaisaran Roma pada tahun 410. Agustinus berpendapat bahwa selain perbedaan dalam kebudayaan, bangsa, dan bahasa, perbedaan mendasar dalam diri manusia adalah dua kelompok yang ia sebut sebagai Kota Allah (City of God) dan Kota Duniawi (Eartly City). Menurut Agustinus umat manusia digerakkan oleh apa yang disebutnya “cinta”. Maka kedua kota ini dibentuk oleh dua jenis cinta yang berbeda: cinta pada diri sendiri (yang bahkan dapat mengingkari Allah) dan cinta pada Allah (yang mengingkari diri sendiri).[6]

Kota Allah ini adalah dunia spiritual yang warga negaranya yang berusaha mewujudkan nilai-nilai keutamaan Kristiani. Hanya umat Kristen saja, karena rahmat Allah, dapat sukacita menjadi warga kota Allah ini. Sementara mereka yang lain, yang bukan Kristen, adalah warga kota dunia yang penuh konflik politik[7].  Meski demikian, Agustinus juga menyatakan bahwa para anggota dari kedua kota itu juga ada dalam Gereja yang kelihatan. Pembedaan antara kedua kota itu adalah lebih bersifat eskatologis dari pada politis. Para anggota kedua kota itu bercampur baur dalam apa yang disebut Agustinus sebagai saeculum, bidang realitas temporal di mana unsur-unsur politik itu berada.[8]

Paham bonum commune  dalam pemikiran Agustinus terletak pada dua tesis dasar. Pertama, berangkat dari etika kebaikan (eudamonia) yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para filsuf Yunani. Agustinus menyakini bahwa kebaikan individual tidak akan mungkin terwujud tanpa kebaikan bersama yang datang dari keluarga, negara dan kerajaan. Kedua, karena tiap individu adalah bagian dari negara atau kerajaan, maka seseorang perlu menganggap dengan jujur apa yang baik dirinya sesuai dengan kebaikan bagi orang banyak.[9]

 

  • Bonum Commune dalam gagasan Thomas Aquinas

Gagasan Thomas Aquinas tentang Bonum Commune di pengaruhi oleh aliran Aristotelian. Menurut Aristoteles, ”kebaikan” (bonum) adalah apa yang diinginkan oleh segala makhluk. Dengan dasar inilah Thomas menegaskan bahwa “kebaikan” adalah kodrat semua ciptaan. Kodrat semua makhluk hidup adalah kebaikan yang dicari dengan kebaikan dan cinta kasih, serta bertujuan untuk sampai dan bersatu dengan Allah, sang Kebaikan Tertinggi.

Bonum commune hanya dapat terwujud bila tiap individu yang membentuk satu masyarakat, satu Tubuh itu, berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain dalam kebaikan. dua sumbangan besar Aquinas dalam pemikirannya tentang bonum commune. Pertama, dengan pendasaran bonum commune sebagai hukum kodrat, Thomas Aquinas memberi dasar filosofis-teologis yang kuat untuk kepentingan sosiologis, yaitu: keterlibatan warga negara dalam membangun negaranya. Kedua, cita-cita persatuan dengan Allah – Sumber Kebaikan – sebagai tujuan negara memungkinkan pendasaran moral bagi laku para warga negara.

 

  • Bonum Commune dalam Konsili Vatikan II

Gereja juga menegaskan dirinya dalam hubungannya dengan Negara. Dalam masyarakat majemuk, perlu dipahami secara tepat dan jelas hubungan antara Gereja dan negara. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya, gereja sama sekali tidak dapat dicampur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik manapun. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi manusia. Negara dan Gereja bersifat otonom dan tidak saling tergantung dalam bidangnya masing-masing (LG 76). Gereja hendak menegaskan dirinya sebagai institusi spiritual dan bukan sebagai institusi kekuasaan duniawi.

Pada prinsipnya, Gereja Katolik melarang para Pejabat Hirarki Gereja tidak diperkenankan untuk terlibat dalam politik praktis (bdk.  KHK 1983 kan. 287 § 2). Jelasnya, mereka tidak boleh mencalonkan dan dicalonkan sebagai anggota legislatif atau jabatan publik seperti Bupati, Gubernur, atau Presiden dan wakil presiden. Namun, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.

Menurut Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 74, “Negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya”. Hal ini mau menyatakan bahwa kesejahteraan umum (bonum commune) adalah Hakekat dan Tujuan Negara.

Gereja juga melihat dirinya harus untuk terlibat dalam mewujudkan bonum commune dalam masyarakat. Maka, Gereja memandang perlu untuk menjalin kerjasama dengan Negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum dalam masyarakat. Gereja dan negara dapat secara lebih efektif menunaikan pelayanan ini “demi kesejahteraan umum jika semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat”. Peran gereja ini dijalankan oleh kaum awam. Gereja justru mendorong kaum awam Kristiani untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial terutama dalam bidang-bidang keluarga, kebudayaan, kerja, ekonomi dan politik sesuai dengan kemampuannya. Justru dalam bidang inilah yang menjadi ciri khas kaum awam, yang terlibat dalam urusan keduniawian. Disitulah mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas mereka dengan dijiwai semangat Injil, ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia (LG 31).

 

  1. GEREJA SEBAGAI NABI CINTA KASIH DAN PELAYAN PENDAMAIAN

Lantas, bagaimana Gereja ikut serta membangun bonum commune dalam masyarakat? Salah satu hal yang dapat dibuat Gereja adalah menjadi Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Penulis terispirasi dari Konstitusi Kongregasi Imam-imam Hati Kudus no. 7b yang berbicara mengenai Nabi-nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian. Dalam Konstitusi itu dinyatakan bahwa, “Pater Dehon mengharapkan dari para religiusnya supaya menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian manusia dan dunia dalam Kristus (2Kor 5:18)”.

Tentu saja, panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih dan pelayan pendamaian harus ditempatkan dalam rangka misi Gereja jaman ini. Saat ini pelaksanaan karya kenabian bukan dengan mewartakan rencana Allah yang diterima secara langsung lewat pewahyuan, melainkan dengan mewartakan sabda Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa yang lampau. Menurut Al. Purwahadiwardaya, untuk menjadi nabi jaman ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu: pertama, sungguh-sungguh memahami rencana dan kehendak Allah yang telah diwahyukan kepada para nabi di masa lampau. Kedua, memahami rencana dan kehendak Allah bagi dunia pada jaman modern ini, di mana kita saat ini ada dan hidup dalam dinamikanya.[10]

 

  • Gereja sebagai Nabi Cinta Kasih
    • Nabi dalam Perjanjian Lama

Penggunaan istilah “Nabi” sering muncul dalam dunia Perjanjian Lama. Beberapa istilah tentang Nabi (Prophet) diambil dari prophētēs (Yunani) berarti berbicara di depan, berbicara sebelumnya dan berbicara atas nama seseorang; nabu (Akkadia) berarti memanggil, naba’a (Arab) berarti mewartakan.[11] Nabi adalah perantara antara Allah dan manusia untuk membangun Yudaisme yang ketat. Dengan kata lain, nabi adalah “penyambung lidah” HYWH kepada umat Israel.

Perjanjian Lama menampilkan para nabi dalam konteks kekuasaan raja. Secara khusus masalah yang dihadapi para nabi yakni adanya berbagai bentuk ketidakadilan dalam hal politik, ekonomi dan militer. Tugas para nabi yakni membawa pesan YHWH bagi kesejahteraan seluruh rakyat yang seringkali bertentangan dengan raja yang berkuasa.[12] Keontentikan seorang nabi (nabi sejati) dinilai berdasarkan  kebenaran isi nubuatnya; apakah berasal dari YHWH atau tidak. Mereka menyuarakan perubahan sosial-politik dengan melontarkan kritik terhadap bentuk penindasan dan ketidakadilan yg terjadi atas nama YHWH dan dengan demikian menyatakan bahwa YHWH hadir di dalam kehidupan umat sehari-hari.

 

  • Nabi Cinta Kasih

Paham nabi dalam Konstitusi SCJ agak berbeda. Nabi dalam Konstitusi SCJ bukanlah sekelompok orang tertentu saja, tetapi semua orang diutus untuk meneruskan karya para nabi dan “Sang Nabi” Tuhan Yesus sendiri dengan menjadi Nabi-nabi cinta kasih. Panggilan menjadi nabi Cinta kasih mencakup suatu tindakan untuk menyebarluaskan kasih Allah kepada setiap orang. Panggilan itu berpangkal dari pengalaman akan Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia, dan manusia dipanggil untuk menjadi pelayan cinta kasih sebagai bentuk balasan kasih kepada Allah dan sesama. Kita mencintai sesama kita karena Dia pertama-tama telah mencintai kita (bdk. I Yoh 4:11-19). Dia telah mengasihi kita, dan inilah perintahNya supaya kita saling mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi kita (bdk. Yoh 15:7-17)[13].

Gagasan Konstitusi SCJ ini sejalan dengan apa yang diwartakan oleh Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menegaskan apa tugas Kenabian Gereja Umat Allah yang kudus. Lumen Gentium (LG) 12 menyatakan bahwa “Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentangNya, terutama melalui hidup iman dan cintakasih”. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes 12, menyatakan bahwa Cinta kasih Kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku bangsa, keadaan sosial dan agama, tanpa mengharapkan keuntungan dan ungkapan terima kasih.

Bagaimana peran sebagai nabi cinta kasih itu dapat diwujudkan Gereja? Panggilan menjadi nabi-nabi cinta kasih ini menjadi jelas melalui tindakan dan karya sosial karitatif Gereja.

Kompendium Ajaran sosial Gereja no 5 menegaskan bagaimana cinta kasih itu dilaksanakan: “Cinta kasih menghadap medan kerja yang luas dan Gereja berhasrat untuk memberi andilnya dengan ajaran sosialnya, yang berkenaan dengan seluruh pribadi dan ditujukan kepada semua orang.” Begitu banyak saudara dan saudari yang berkekurangan yang sedang menantikan pertolongan, begitu banyak orang tertindas yang sedang menantikan keadilan, begitu banyak orang menganggur yang sedang menantikan pekerjaan, begitu banyak orang yang sedang menantikan penghargaan. Maka menjadi nabi cinta kasih adalah berani berjuang bersama saudara-saudara yang menderita dan mengembangkan semangat solidaritas.

 

  • Pelayan Pendamaian (2 Kor 5:18)

Tema pendamaian dan panggilan menjadi pelayanan pendamaian muncul karena situasi dunia yang penuh dengan ketidakadilan, dan adanya ketidakharmonisan hubungan antar manusia.

Dalam 2 Kor 5: 18, Paulus menyatakan bahwa Allah melalui perantaraan Kristus telah mendamaikan manusia dengan diriNya, dan kini Allah telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Paulus ingin menyatakan bahwa proses pendamaian yang terjadi antar manusia itu bukanlah melulu usaha manusia semata, tetapi berdasarkan inisiatif Allah. Pendamaian dan upaya-upaya pendamaian dan kerjasama antara bangsa-bangsa merupakan tanda kehadiran Allah yang berkarya dalam setiap hati manusia.

Berpangkal dari kasih Allah yang mendamaikan dunia dengan diriNya melalui darah Kristus, Gereja hendaknya menjadi pelayanan pendamaian. Keterlibatan sebagai pelayan pendamaian dimulai dengan ikut serta merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain, tanpa memnandang identitas. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 1 secara jelas menyatakan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Hal ini berarti bahwa Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari dunia, namun bukan milik dunia ini, dan diutus kepada dunia (bdk. Yoh 17:14-18).

Gereja mesti juga terlibat dalam masalah-masalah dunia, khususnya dalam hal perdamaian. Menurut Konsili, damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula sekadar menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Memajukan perdamaian di tengah dunia adalah bagian terpadu dari misi Gereja melanjutkan karya penebusan Kristus di muka bumi. Sesungguhnya, Gereja adalah, dalam Kristus, “‘sakramen’ atau tanda dan sarana perdamaian di tengah dunia dan bagi dunia”. Gereja mengajarkan bahwa perdamaian yang sejati dimungkinkan hanya melalui pengampunan dan rekonsiliasi. Gereja juga menetapkan adanya Hari Perdamaian Sedunia sebagai saat-saat khusus untuk mendaraskan doa bagi perdamaian dan bagi komitmen untuk membangun sebuah dunia yang damai. Paus Paulus VI meresmikan hari tersebut untuk mempersembahkan pikiran dan tekad tentang Perdamaian sebuah kebaktian khusus pada hari pertama tahun baru.

 

 

 

 

[1] Bdk. http://www.kabar24.com/international/read/20140609/10/220555/paus-fransiskus-minta-presiden-israel-palestina-ciptakan-perdamaian, diakses pada Selasa 30 September 2014.

 

[2] J.-M. R. Tillard, Church of Churches The Ecclesiology of Communion, diterjemahkan dari Église d’églises oleh R. C. De Peaux, The Liturgical Press, Minnesota 1994, 20-22.

[3] R. Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II, Indeks Analitis, Obor, Jakarta, 1993, 685.

[4] Lihat juga dalam Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 26: AAS 58 (1966), 1 046; bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1 905-1912; Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra AAS 53 (1961), 417-421; Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris: AAS 55 (1963), 272-273; Paulus VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens, 46: AAS 63 (1971), 433-435.

 

[5] bdk. Gregory M. Scott, Political Science: Foundations for a Fifth Millenium, Prentice Hall, New Jersey 1997, 33-35

 

[6] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy” dalam The Cambridge Companion to Augustine, Cambridge University Press, 2006, 236-237.

[7] bdk. J.H. Rapar, Filsafat Politik Agustinus, CV Rajawali, Jakarta 1989, 65-67

 

[8] Paul Weithman, “Augustine’s political philosophy”, 237.

[9]  Bdk. Agustinus dari Hippo, Confessiones, III, 8

[10] Al. Purwahadiwardaya, “Menggemakan Suara Nabi Pada Zaman Ini”, dalam Orientasi Baru, Jurnal Filsafat dan Teologi, 22 (2013:1) 32.

[11] Indra Sanjaya, The Prophetic Literature Diktat Kitab Nabi-nabi, pro manuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2008, 9.

[12] The Prophetic Literature, Indra Sanjaya, 15.

[13] Albert Bourgeois, Our Rule of Life, diterjemahkan dari Notre Regle De Vie oleh Guiseppe Manzoni, General Center of Studies, Roma 1987, 543.

WHY PRIEST? IMAM SEBAGAI SATU-SATUNYA PELAYAN SAKRAMEN REKONSILIASI


Pendekatan Historis, Biblis-Teologis, Yuridis dan Pastoral

Pengantar

Dewasa ini, pertanyaan mengenai sakramen Rekonsiliasi, khususnya diantara kaum muda dan terpelajar semakin kritis. Tidak jarang ada orang-orang yang mempertanyakan kegunaan Sakramen rekonsiliasi dan peran imam sebagai satu-satunya pelayan Sakramen Rekonsiliasi. “Mengapa harus mengaku dosa kepada imam? Bukankah yang mengampuni dosa itu hanya Allah? Mengapa kita tidak cukup mengaku dosa kepada Allah langsung? Apa istimewanya seorang imam dibandingkan orang-orang kebanyakan? Bukankah mereka juga manusia biasa?” pertanyaan-pertanyaan demikian adalah sebagian dari pertanyaan yang muncul mengenai Sakramen Rekonsiliasi.

Paper ini mencoba mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penulis mencoba menguraikan gagasan dan argumentasi berdasarkan beberapa pendekatan, sehingga penjelasan itu diharapkan lebih komprehensif. Ada empat pendekatan yang penulis coba uraian, yaitu pendekatan Historis, Biblis-teologis, Yuridis dan Pastoral.

1. Pendekatan Historis

Pelayan Sakramen Imamat dalam Sejarah Gereja

Dalam Gereja Kuno, pengakuan dosa secara privat seperti yang dilakukan sekarang ini belum dikenal. Jemaat-jemaat perdana hanya mengenal pengakuan dosa dan tobat secara terbuka di hadapan umum. Secara umum, perlakuan jemaat perdana terhadap anggota-anggotanya yang berdosa muncul dalam bentuk pelaksanaan kasih persaudaraan (exercitio caritatis fraternae). Perlakuan itu diwujudkan dalam dua bentuk yaitu tindakan pencegahan (forma preventiva), dan tindakan penyembuhan (forma curativa). Tindakan pencegahan berkaitan dengan usaha-usaha pastoral untuk membina, mendukung dan menguatkan para anggota untuk tetap bertahan dalam iman Kristiani dan peri hidup yang baik, berupa doa-doa bersama, nasihat-nasihat dan usaha-usaha untuk menjauhkan diri dari kesempatan bertindak dosa. Tindakan penyembuhan berupa pengucilan dari komunitas jemaat, terutama mereka yang berdosa berat (murtad, membunuh dan berzinah). Tujuan pengucilan adalah menghindari bahaya kontaminasi seluruh jemaat, mengoreksi dan menyelamatkan si pendosa sendiri dan memberi kesempatan kepadanya untuk bertobat dan memperbaiki cara hidupnya.[1]

Tindakan-tindakan jemaat perdana itu terekam dalam surat-surat Paulus. Misalnya, Paulus menasehatkan jemaat untuk tidak bergaul dengan saudara (Kristen) yang berbuat dosa, “Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.” (1Kor 5:11). Paulus juga menegaskan bahwa jemaat Kristen punya otoritas atau kuasa  untuk menjatuhkan hukuman resmi (hanya) kepada para saudara Kristen yang berdosa. “Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat?… Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.” (1Kor 5:12c-13).

Bagaimana tindakan dan sikap Jemaat perdana bagi mereka yang bertobat dan ingin kembali dalam persekutuan jemaat Kristen? Dalam Gereja Perdana, para pendosa mengakukan dosanya secara terbuka kepada uskup, atau -di mana umat terlalu besar- kepada penatua jemaat yang ditunjuk secara khusus untuk itu. Sejauh mana hal itu didengar dan diketahui umat tidak jelas. Selanjutnya pendosa itu mendapat tempat khusus, dan diberi pakaian khusus (misalnya dari kulit kambing) sebagai simbol terpisah dari Kristus. Selama masa tobat dan mati raga, para pendosa tidak boleh ikut ibadat jemaat, khususnya perayaan Ekaristi. Mereka diperlakukan juga seperti calon baptis. Mereka juga diwajibkan untuk berpuasa, berdoa banyak dan memberi sedekah. Pada suatu hari tertentu (biasanya pada hari Kamis Putih) mereka diterima kembali ke pangkuan Gereja.[2]

confession

Dalam proses ini, Intervensi Uskup perlu karena ia menerima kuasa dari Kristus atas nama komunitas umat beriman yaitu Gereja untuk mengampuni dosa. Bahkan Cyprianus menegaskan intervensi Uskup atas nama Gereja merupakan syarat yang penting dan perlu (conditio necessaria) untuk memperoleh pengampunan Ilahi. Cyprianus mengatakan “Orang tidak dapat menerima pengampunan dari Allah sebagai Bapa jika ia tidak memperoleh pengampunan dari Gereja sebagai ibu.”[3]

Pada perkembangan selanjutnya mulai akhir abad VI, Rahib-rahib dari Irlandia dan Skotlandia menyeberang dan hadir sebagai misionaris ke daratan benua Eropa. Mereka membawa tradisi penerimaan tobat dan pengampunan dosa yang baru dan lain sama sekali. Mereka datang bukan hanya berkotbah tentang pertobatan, melainkan mereka membawa serta suatu bentuk pertobatan yang lebih sesuai dengan situasi konkret Kekristenan waktu itu dan yang kita kenal sekarang ini, yaitu pengakuan dosa privat atau pribadi. Orang mengaku dosa secara pribadi dan rahasia di hadapan imam, dan setelah menjalankan denda yang dibebankan kepadanya, ia mendapat pengampunan dosa. Praktek ini segera diterima dengan cepat di kalangan jemaat karena sesuai dengan aspirasi mereka. Mereka malu mengakui dosanya di depan publik sehingga pengakuan dosa pribadi dirasakan lebih baik. Praktek ini menuntut para imam untuk menjadi bapa pengakuan dan pembimbing jiwa-jiwa yang cakap. Para imam ini dibekali buku panduan sehingga dapat menentukan denda sesuai dengan dosa para peniten.

Aneka praktek pengakuan dosa pribadi pada abad VI dan sesudahnya adalah sebatas masalah pastoral dan belum menjadi masalah dogmatis hingga sampai pada Konsili Trente tahun 1545. Masalah pastoral berarti bentuk dan cara sakramen pertobatan dilakukan boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan umat. Pengakuan dosa dapat dilakukan secara publik yang dipimpin oleh Uskup atau secara pribadi di hadapan imam (dan uskup). Ada juga cara lain dari bentuk pertobatan yaitu berziarah ke makam orang-orang kudus atau pellegrinaggio penitenziale.[4]

Pada tahun 1215, Konsili Lateran IV menetapkan: “setiap orang beriman, baik pria maupun wanita, kalau telah menjadi akil-balig, paling sedikit setahun sekali harus mengaku dengan jujur segala dosanya secara privat kepada bapa pengakuan dosanya sendiri, dan sedapat-dapatnya menjalankan denda yang dibebankan kepadanya” (DS 437/812; ND 1608). Inilah ketetapan resmi Gereja yang pertama mengenai sakramen tobat secara pribadi dalam bentuk sebagaimana kita mengenalnya sekarang ini.[5]

Pengakuan dosa secara privat itu kemudian semakin berkembang dan mendapat ketetapan kembali dalam konsili Trente dalam upaya menghadapi tentangan kaum reformis yang menolak sakramen tobat. Konsili Trente kembali menegaskan bahwa pelayan sakramen ini adalah imam dan absolusi yang diberikan oleh seorang imam benar-benar infficax (effective) untuk menghapus dosa, bukan sekedar pernyataan atau deklarasi bahwa dosa sudah diampuni, seperti yang diajarkan kaum reformis (bdk. Kanon 9: DS 1709). Absolusi adalah bentuk sententia (eksekusi atau pelaksanaan) suatu otoritas. Kuasa yang dimiliki oleh uskup dan para imam yang telah mereka terima dari Kristus berkat tahbisan Imamat. Kuasa itu termasuk in ordine iurisdictionis yang berkaitan dengan kekuasaan karena adanya tanggung jawab.[6]

Konsili Vatikan II juga memberi peneguhan mengenai Imam sebagai pelayan sakramen Rekonsiliasi. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa para uskup adalah mengurus dan mengatur tata tertib pertobatan (bdk. LG 26); para imam harus memberikan pelayanan kepada mereka yang bertobat (LG 28); melalui sakramen rekonsiliasi ini, para imam mendamaikan para pendosa dengan Allah dan GerejaNya (PO 5).

2. Pendekatan Biblis Teologis

Dasar Teologis: Hanya Allah yang berkuasa Mengampuni Dosa

Gereja mengajarkan bahwa yang berkuasa mengampuni dosa hanya Allah. Gereja mengafirmasi dan meneruskan gagasan perjanjian Lama yang meyakini bahwa Allah adalah Allah pencemburu (bdk. Kel 20: 5) sekaligus Allah yang bersedia mengampuni. Meskipun Israel berulangkali menyimpang dan melanggar perjanjian yang telah diikatnya dengan Allah sendiri, dan selayaknya untuk dimusnahkan, Allah tetap berbelaskasih dan menampakkan kerahimanNya (bdk. Kel 32: 30-35). Allah menampakkan kesediaanNya untuk mengampuni para pendosa, asal mau mengakukan kesalahannya (Mzm 32: 38); pun Allah tidak menghendaki kebinasaan mereka (Mzm 78:38). Bahkan Allah sendiri yang menyucikan hati mereka dan memenuhi hati mereka yang datang kepadaNya penuh sesal dengan sukacita dan kegembiraan (Mzm 51:10-14, 19).

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: jika Allah yang mengampuni dosa mengapa peniten tidak secara langsung mengaku dosa kepada Allah saja? Mengapa harus mengaku dosa kepada imam? Ini terkait dengan Karya Keselamatan Allah yang memuncak dan mewujud nyata dalam diri Kristus, dan diteruskan oleh Para Rasul dan GerejaNya.

Belas kasihan dan Kerahiman Allah benar-benar nyata dan memuncak dalam kehadiranNya dalam diri Kristus yang berkuasa mengampuni dosa. Dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1441, Gereja mengajarkan bahwa “hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa. Karena Yesus itu Putera Allah, Ia mengatakan tentang diriNya, ‘bahwa Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa’ (Mrk 2:10). Ia melaksanakan kuasa Ilahi itu: ‘dosamu sudah diampuni’ (Mrk 2:5; Luk 7:48)”. Kedatangan Kristus bukan ditujukan kepada orang-orang yang benar, namun justru bagi mereka yang berdosa (Mrk 2:17). Ia mengajar banyak orang supaya bertobat (Luk 5:32) dengan mewahyukan bahwa Allah itu Bapa yang berkehendak mengampuni (Luk 15) dan tidak menginginkan manusia mengalami kebinasaan (Mat 5:32). Bahkan Yesus sendiri mengkonkretkan sabda dan karyaNya mengenai pertobatan dan pengampunan itu dalam seluruh hidup dan tindakanNya, terutama secara lebih jelas dalam peristiwa Salib, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:24). Dalam Katekismus Gereja Katolik 1442, Gereja mengajarkan:

“Kristus menghendaki bahwa Gereja secara keseluruhan dalam doanya, dalam kehidupannya, dan dalam kegiatannya adalah tanda dan alat pengampunan dan perdamaian, yang telah Ia beroleh dengan harga darah-Nya. Namun Ia mempercayakan pelaksanaan kuasa absolusi ini kepada jabatan apostolik. Kepadanya dipercayakan “pelayanan pendamaian” (2 Kor 5:18). Rasul diutus “dalam nama Kristus”; melalui dia Allah sendiri menasihati dan memohon: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah (2 Kor 5:20).”

Kristus Mempercayakan Kuasa “Mengikat” dan “Melepaskan” kepada Gereja

Lantas, kepada siapa kuasa Kristus untuk mengampuni dosa itu diserahkan? Data dari Perjanjian Baru memberi petunjuk bahwa Gereja telah menerima kuasa untuk mengampuni dosa itu dari Kristus. Kristus menghendaki bahwa Gereja dapat menjadi tanda dan sarana pengampunan dan belas kasihan Allah. Yesus Kristus menghendaki adanya praktek pengampunan diantara para muridNya. Yesus berkehendak untuk membuat atau mengadakan suatu tanda pengampunan bagi para murid yang berdosa. Dalam teologi Kristiani yang berkembang selanjutnya, tanda pengampunan itu ditafsirkan sebagai tanda sakramental, yaitu sarana keselamatan yang dengannya Allah mengerjakan atau mewujudkan kehendakNya untuk menyelamatkan manusia.[7]

Kehendak tersebut diwujudkan dengan pendelegasian kuasa untuk “mengikat” dan “melepaskan”. Kepada Petrus, kepala Para Rasul Yesus bersabda, “kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini, akan terlepas di surga” (Mat 16:19). Kuasa itu tentunya juga dipercayakan Kristus kepada para rasul yang lain. Pendelegasian kuasa pengampunan itu pun dipertegas Yesus sebelum Ia naik ke Surga. Yang menarik adalah, pendelegasian kuasa itu bersamaan dengan pencurahan Roh Kudus. “terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jikalau kau menyatakan dosa, orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh:20-23). Perlu dipahami bahwa, para murid yang hanyalah manusia biasa, sebenarnya tidak mampu menerima tanggungjawab sebesar itu menurut ukuran manusia, namun dipercaya Yesus Kristus dan diberi olehNya komunikasi khusus dengan Roh Kudus (pneuma) untuk karya khusus ini. Dalam tradisi biblis, hanya ada dua contoh dimana Allah menghembusi nafasnya kepada manusia; pertama, saat Allah menghembusi manusia untuk memberi manusia jiwa yang hidup saat kisah Penciptaan (bdk. Kejadian 2:7), kedua saat Kristus menghembusi para Rasul, sebelum Ia naik ke surga itu. Hal  ini mau menegaskan betapa pentingnya sakramen rekonsiliasi ini. Dalam Katekismus Gereja Katolik 1445, Gereja menjelaskan makna mengikat dan melepaskan:

“kata-kata mengikat dan melepaskan berarti: siapa pun yang akan kamu kucilkan dari persekutuan, maka Allah pun akan mengucilkannya dari persekutuan dengan diri-Nya; siapa pun yang akan kamu terima kembali dalam persekutuanmu, maka Allah pun akan menerima-Nya kembali dalam persekutuan dengan diri-Nya. Perdamaian dengan Gereja tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dengan Allah.”

Para Rasul tentus saja paham bahwa Yesus Kristus telah memberi tugas untuk melaksanakan kuasa pengampunan itu. Paulus, dalam nama Yesus, melaksanakan kuasa untuk mengikat dan melepaskan dari dosa dan akibat-akibat dosa dalam kasus perilaku jemaat di Korintus. Paulus menyatakan, “sebab barangsiapa yang kamu ampuni kesalahannya, aku mengampuninya juga. Sebab jika aku mengampuni, – seandainya ada yang harus kuampuni-, maka hal itu kubuat oleh karena kamu di hadapan Kristus (2 Kor 2:10). Paulus melanjutkan:

“Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:18-20).

Selanjutnya, kuasa untuk mengikat dan melepaskan ini diyakini Gereja sebagai dasar legitimasi teologis dan yuridis bagi imam untuk mengampuni dosa.

Imam Sebagai Representasi Gereja

Mengapa harus imam? Pertanyaan itu muncul karena adanya pemahaman bahwa keselamatan itu menyangkut hal personal atau pribadi belaka. Padahal, karya keselamatan itu juga menyangkut relasi manusia dengan Allah, serta relasinya dengan komunitas Keselamatan, yakni Gereja (sosial). Dosa tidak hanya menyangkut rusaknya relasi manusia dengan Allah tetapi juga menyangkut relasi dengan Gereja. Dosa menghambat kesatuan dan harmoni Gereja.[8] Gereja adalah Tubuh Kristus; satu anggota tubuh menderita, maka semua anggota tubuh juga ikut menderita (bdk 1Kor 12:26). Dosa itu juga melukai Gereja dan melalui pertobatan, relasi pendosa dan Gereja itu disembuhkan dan dipulihkan. Pemulihan relasi itu terjadi secara nyata dalam sakramen rekonsiliasi di hadapan imam. Istilah Imam tentu saja merujuk pada Uskup dan Para Imam. Imam (sacerdos) terdiri dari Uskup (episcopos) dan para imam sendiri (presbyteros). Melalui sakramen ini, para pendosa tidak hanya didamaikan dengan Allah, tetapi juga dengan GerejaNya. Uskup, sebagai kepala Gereja lokal yang kelihatan, yang sejak dulu kala sudah dipandang sebagai tempat pertama yang mempunya wewenang untuk pelayanan perdamaian; ia mengatur disiplin pertobatan (bdk. LG 26). Rekan kerjanya, para imam, yang ambil bagian dalam imamat Uskup, melaksanakan pelayanan ini sejauh mereka menerima tugas ini dari Uskupnya (atau dari pembesar tarekat) atau dari Paus, sesuai dengan hukum Gereja (Bdk. Katekismus Gereja Katolik 1462).

Imam sebagai pelayan Sakramen rekonsiliasi dalam Gereja adalah Representasi Gereja itu sendiri. Dia adalah pelayan Gereja (RP 6) dan Pelayan Allah sendiri (RP 6,10d), bertindak dalam pribadi Kristus atau persona Christi (RP 6,9). Allah menganugerahkan pengampunan kepada Gereja, melalui pelayan sakramen itu yaitu para imam (Uskup dan Imam).[9] Hal ini bukan berarti mereduksi imam sebagai sekedar “juru bicara” Gereja. Imam adalah pemimpin komunitas. Imam adalah simbol Kristus karena dia adalah pemimpin komunitas yang mempresentasikan Allah dan Tubuh Kristus. “Dalam Gereja, para imam adalah representasi Yesus Kristus- Sang Kepala dan Gembala- dengan penuh kuasa mewartakan SabdaNya, mengulangi kembali karya-karya pengampunanNya, khususnya dalam Sakramen Baptis, Rekonsiliasi dan Ekaristi, yang menunjukkan cintaNya yang total kepada domba penggembalaanNya, yang mengumpulkan mereka dalam satu kawanan dan memimpin mereka pada Bapa melalui Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus”.[10]

Dalam peristiwa pendamaian yang berlangsung dalam sakramen rekonsiliasi, Kristus sendirilah yang sebenarnya bertindak. Ia mengikutsertakan pendosa dalam misteri kematianNya untuk mengikutsertakannya pula dalam misteri kebangkitanNya. Peristiwa pendamaian sakramental ini berlangsung ex opera operato.[11]

Dalam konteks ini, Imam, dalam sakramen Rekonsiliasi sejatinya tidak melepaskan dosa kita dalam arti sesungguhnya; imam hanyalah perantara dari satu-satunya Pengantara, ia diangkat dan diberi wewenang oleh satu-satunya Pengantara keselamatan, yaitu Yesus Kristus. Katekismus Gereja Katolik 1461 mengajarkan:

“Karena Kristus telah mempercayakan pelayanan perdamaian kepada Rasul-rasul-Nya Bdk. Yoh 20:23; 2 Kor 5:18., maka pengganti-penggantinya, para Uskup dan rekan kerja mereka, para imam, terus melaksanakan pelayanan ini. Para Uskup dan imam telah menerima wewenang, berkat Sakramen Tahbisan, untuk mengampuni segala dosa atas nama Bapa dan Putera, dan Roh Kudus”.

Maka demi kelayakan dirinya, para imam diundang untuk menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka. Para imam juga diundang untuk menggunakan kesempatan bagi diri mereka sendiri untuk melaksanakan sakramen ini bagi mereka sendiri, yang adalah jaminan hidup spiritual mereka. Para imam semakin dipersatukan mesra dengan dengan Kristus Sang Penyelamat dan gembala melalui penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima Sakramen Tobat, yang bila disiapkan melalui pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan (Bdk, PO 18).

3. Pendekatan Yuridis

Dasar Yuridis Imam sebagai Pelayan Sakramen Rekonsilisiasi

Pada tahun 1983, Gereja Katolik memberlakukan Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) yang mengatur gerak kehidupan Gereja Katolik, termasuk landasan yuridis mengenai sakramen tobat atau rekonsiliasi. Beberapa kanon secara khusus menyatakan mengenai kedudukan penting para imam sebagai satu-satunya pelayan Sakramen Rekonsiliasi. Kanon 965 menyatakan, “Pelayanan Sakramen Tobat hanyalah imam”. Tentu saja dalam hal ini adalah para imam dan para uskup.

Secara Yuridis, Imam yang kompeten sebagai pelayan Sakramen Rekonsiliasi adalah imam yang mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk memberikan absolusi, baik yang didapat melalui tahbisan, maupun kecakapan yang menjamin kelayakan sebagai seorang konfesor melalui kuasa yang diberikan oleh Uskup.[12] Hal ini diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK )1983 kanon 966 yang menyatakan bahwa demi sahnya absolusi dosa dituntut bahwa , di samping kuasa tahbisan, juga kewenangan melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman yang diberi absolusi. Kewenangan itu dapat dapat dimiliki oleh imam, entah berdasarkan hukum entah berdasarkan pemberian oleh otoritas yang berwewenang sebagaimana dinormakan dalam kanon 969. Kewenangan seorang imam untuk menerima pengakuan dosa dari peniten itu hanya diberikan ketika para imam itu terbukti cakap melalui ujian atau melalui cara lain yang ditentukan oleh yang berwewenang (bdk Kanon 970). Hal ini penting dilakukan demi menjadi kualitas imam dan sakramen rekonsiliasi itu sendiri.

Kewajiban Imam Menjaga Rahasia Pengakuan Dosa Peniten

Seorang imam juga mempunyai kewajiban untuk menjaga rahasia pengakuan Dosa Peniten. Mengenai Kerahasiaan pengakuan dosa sebenarnya sudah muncul sejak Konsili Lateran IV tahun 1215, yang dipertahankan sampai sekarang. Konsili ini menghasilkan keputusan yang mewajibkan para imam secara berat dan ketat untuk merahasiakan apapun yang ia ketahui dari pengakuan dosa yang dilayaninya. Imam yang membocorkan rahasia pengakuan dosa mendapat saksi yang berat dari pemimpin Gereja, yaitu dijebloskan dalam penjara biara tertutup untuk melakukan penitensi seumur hidup.[13]

Kanon 983 § 1 menyatakan secara tegas bahwa kerahasiaan sakramental dari pengakuan dosa peniten tidak dapat diganggu gugat, karena ini tidak dibenarkan imam sebagai seorang konfesor dengan kata-kata atau dengan cara lain atas dasar apapun mengkhianati peniten.

Gereja menindak tegas dan tidak mentolerir para imam yang menyalahgunakan wewenang dan membocorkan rahasia pengakuan dosa para peniten ini. Dalam kanon 1388 § 1, Gereja menegaskan bahwa barangsiapa imam, yang bertindak sebagai bapa pengakuan secara langsung melanggar rahasia sakramental ini, terkena hukum ekskomunikasi secara langsung (latae sententiae) yang direservasi oleh Tahta Suci; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum juga menurut besarnya tindak pidana, misalnya terkena suspensi.

4. Pendekatan Pastoral

Kecakapan Imam sebagai seorang Konfesor

Menurut Kurt Stasiak, OSB., perayaan Sakramen rekonsiliasi adalah saat perjumpaan yang paling berarti, paling pribadi, dan paling dituntut antara seorang imam dan jemaatnya. Menurutnya dalam sakramen ini, seorang imam akan mengenal lebih dekat jemaatnya dan melihat sisi kehidupan yang baik, sekaligus sisi kehidupan yang paling buruk mereka. Ini adalah saat-saat dimana peniten membuka diri mereka yang paling dalam bagi dari segi spiritual, emosional maupun psikologis, yang hanya terungkap pada seorang imam. Oleh karena itu, dalam perayaan ini, seorang peniten butuh didengarkan sungguh-sungguh.[14]

Oleh karena itu, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan seorang imam sebagai seorang konfesor dalam perjumpaan dengan peniten.

Prinsip pertama, seorang imam harus menyadari bahwa sakramen ini adalah perjumpaan antara Kristus, dengan GerejaNya dan dengan PelayanNya. Kadang para peniten datang kepada konfesor dengan perasaan takut sekaligus menaruh kepercayaan. Oleh karena itu, imam harus membantu peniten untuk menyadari bahwa dalam sakramen ini, seorang peniten diundang untuk bertemu dan disentuh oleh Kristus sendiri. Jika seorang peniten sampai pada kesadaran bahwa ini adalah saat perjumpaan dengan Kristus sendiri, maka akan tercipta sebuah dialog yang bijak dan efektif yang membantu buah-buah rohani bagi peniten sendiri. Kurt mengutip kata-kata Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam seruan Apostoliknya  “Reconciliatio et Paenitentia” yang menegaskan bahwa tugas seorang imam adalah memahami kelemahan dan kejatuhan mereka, membantu  peniten membangun kehendak untuk melakukan pembaruan diri, melihat gerakan Roh Kudus dalam hati mereka, memberi pemahaman kepada mereka bahwa Allah sendiri yang dapat menganugerahkan pengampunan, merayakan pendamaian antara peniten dengan Allah sebagaimana digambarkan dalam perumpaan Anak Yang Hilang, mengembalikan kembali para pendosa yang tertebus itu dalam komunitas eklesial bersama saudara-saudara lainnya, dan mengingatkan para peniten secara bersahabat layaknya seorang bapa, “jangan berbuat dosa lagi”.[15]

Prinsip Kedua, seorang imam harus sungguh-sungguh memberi perhatian pada kata-kata para peniten. Menjadi seorang konfesor berarti harus mendengarkan pengakuan para peniten dengan baik. Seorang konfesor harus memberi kesempatan paniten untuk mengungkapan segala apa yang ada dalam pikiran dalam isi hati mereka. Agar dapat menangkap persoalan dengan baik, seorang imam boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai bentuk klarifikasi. Hal ini bukan berarti melanggar privasi dan kebebasan para peniten. Dialog yang terjadi bertujuan untuk menemukan akar permasalahan sesungguhnya, sehingga dapat membantu peniten menyadari sungguh perbuatan yang telah dilakukannya.[16]

Prinsip Ketiga, seorang imam harus menyampaikan “kata-kata Kristus dan GerejaNya” sendiri, kata-kata pengampunan, damai, dan rekonsiliasi. Kata-kata yang disampaikan oleh seorang konfesor kepada umatnya adalah ungkapan belaskasihan Allah yang senantiasa mengampuni mereka yang datang kepadaNya. Kata-kata yang terungkap oleh konfesor hendaknya bukan kata-kata yang menuduh atau menghakimi, tetapi justru meneguhkan dan membangunkan dalam hati para peniten semangat untuk memperbarui diri di hadapan Allah.[17]

Refleksi: Tantangan di Masa Depan

Dari penjelasan mengenai jati diri imam sebagai pelayanan Sakramen Rekonsiliasi dari berbagai pendekatan itu, dapatlah ditarik kesimpulan betapa istimewanya seorang imam. Tidak semua orang diberi rahmat dan karunia sebagaimana yang diterima oleh para imam.

Namun, di masa-masa yang akan datang, tantangan seorang imam sebagi seorang pelayan sakramen rekonsiliasi akan semakin kompleks. Oleh karena itu, kualitas, kapabilitas dan kompetensi seorang imam sebagai seorang konfesor mesti terus menerus diperbarui. Sebagaimana prinsip Gereja yang fenomenal “Ecclesia semper reformanda est”, begitu pula para imam. Dunia semakin membutuhkan imam yang mempunyai segala kapasitas dan kompetensi seorang imam dari berbagai aspek, terutama dalam bidang rohani.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Albertus Sujoko,

2008    Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Al. Purwa Hadiwardaya,

2007    Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Bert van der Heijden,

1985    Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta.

George V. Lobo,

1976    Renewal of The Sacrament of Reconciliation, Sint Paul Publications, Allahabad.

James Dallen,

1974    The Reconciling Community: The Rite of Penance, Pueblo Book  The Liturgical Press, Minnesota.

Kongregasi untuk para Klerus,

2011    The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan.

Kurt Stasiak,

1999    A Confessors’s Handbook, Paulist Press, New York.

Tom Jakobs (ed.),

1987    Rahmat Bagi Manusia Lemah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Dokumen:

Dokumen Konsili Vatikan II

Katekismus Gereja Katolik

Kitab Suci Katolik.

[1] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2008, 37-38.

[2] Tom Jakobs (ed.), Rahmat Bagi Manusia Lemah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1987, 72.

[3] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 47.

[4] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 59-60.

[5] Tom Jakobs (ed.), Rahmat Bagi Manusia Lemah, 71.

[6] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 72.

[7] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik, 43.

[8] George V. Lobo, Renewal of The Sacrament of Reconciliation, Sint Paul Publications, Allahabad, 1976, 31.

[9] James Dallen, The Reconciling Community: The Rite of Penance, Pueblo Book  The Liturgical Press, Minnesota 1974, 304-305.

[10] Kongregasi untuk para Klerus, The Priest, Minister of Divine Mercy, An Aid for Confessors and Spiritual Directors, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan 2011, 11.

[11] Bert van der Heijden, Sakramen Tobat; Kumpulan Karangan, pro manuscripto diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta 1985, 33.

[12] James Dallen, The Reconciling Community The Rite of Penance, 305.

[13] Al. Purwa Hadiwardaya, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2007, 30.

[14] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, Paulist Press, New York 1999, 1-2.

[15] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 12.

[16] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 14.

[17] Kurt Stasiak, A Confessors’s Handbook, 15.