Pentingnya kemampuan public speaking bagi seorang pewarta sabda
- Pengantar
Pada jaman ini, pesatnya perkembangan dunia, tak dapat dielakkan. Mau tak mau setiap orang seakan ditarik untuk masuk dalam pusaran perkembangan dunia yang memberi banyak warna dalam kehidupan dunia. Dalam situasi semacam ini orang membutuhkan pegangan dan bantuan untuk berjalan di tengah arus yang kuat ini, termasuk dalam hidup beriman. Pada posisi ini kedudukan seorang gembala atau pemimpin umat amat penting sebagai seorang yang dianggap mumpuni dalam segi iman, sehingga mampu menemani orang-orang dalam peziarahan di dunia kokret saat ini.
Masalahnya, saat ini banyak kalangan umat mengeluhkan mengenai profil gembalanya. Mereka menganggap gembala mereka kurang capable dalam memuaskan kerinduan mereka untuk menemukan kepastian dalam beriman dengan menimba dari sabda Ilahi. Petuah-petuah dan ulasan sabda Ilahi yang mereka lontarkan mereka terasa hambar dan seringkali dipandang sebagai common sense, ibarat masakan daging mahal tanpa bumbu. Isi kotbah yang mendalam, tak dibarengi oleh kemampuan berbicara yang menarik, kemampuan public speaking yang baik. Mereka merindukan gembala yang mampu juga mengobarkan semangat iman mereka, sehingga mereka pun terbakar dalam iman, sehingga dapat melangkahdengan pasti, menuju pada sang Sumber Kesegaran Ilahi.
Berangkat dari keprihatinan ini penulis mencoba mengungkapkan pentingnya kemampuan public speaking yang baik bagi seorang gembala, sang pewarta sabda. Semoga tulisan ini semakin membantu para pewarta sabda untuk mampu menyampaikan sabda bagi umat yang haus akan sabda Ilahi.
- Public Speaking dan Gembala
- Profil sebagai Gembala dan Realita Kini
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, seorang Gembala atau pemimpin jemaat harus mampu menguasai kemampuan untuk mewartakan apa yang baik, sebagai cara untuk memuaskan dahaga para domba gembalaannya, dalam hal ini umat. Seorang pemimpin harus mampu menjadi pemimpin yang baik, dalam hal ini menghantar umat pada Allah, yang menjadi sumber kerinduannya. Ibarat, seorang gembala yang harus mampu menghantar domba-dombanya ke padang yang hijau dan sumber air yang segar dengan selamat, meski bahaya seperti serigala, senantiasa mengancam (bdk. Mazmur 23). Begitu pula dalam kehidupan beriman, seorang pemimpin harus mampu menghantar umatnya untuk sampai kepada Allah, Sang Sumber hidup mereka, meski bahaya duniawi, senantiasa menggoda iman.
Kotbah menjadi salah satu cara bagaimana seorang pemimpin dapat membawa orang-orang sampai kepada kerinduan itu. Kotbah menjadi ruang yang baik, untuk mengolah sabda Ilahi sehingga umat mempunyainya sebagai bekal dalam kehidupan sehari-hari. Kotbah menjadi semacam pewartaan resmi yang menjadi media pemimpin berkomunikasi dengan umat. Kotbah menjadi sarana untuk meneguhkan iman umat, yang seringkali harus berhadapan realita kehidupan yang sulit. Maka, seorang pengkotbah mesti memiliki kemampuan untuk menyakinkan para jemaat. Dalam hal ini, public speakingmemainkan peran sebagai dasar pewartaan. Public speaking, sangat menentukan apa yang diwartakan oleh pemimpin dapat sampai kepada jemaat. Kemampuan public speaking menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan dalam pewartaan.
Faktanya seringkali para pengkotbah kurang mampu menguasai kemampuan public speaking yang memadai dalam pewartaan. Apa yang diwartakan seringkali terasa kering, melayang-layang pada tataran tafsir biblis yang kurang mendarat dalam kehidupan jemaat. Bahkan dalam kotbah, terkesan ada jarak antara gembala dan umat sebagai dombanya. Padahal, umat merindukan komunikasi yang dekat, kotbah yang mengenai dalam kehidupan mereka, sehingga mereka tersapa. Umat merasa masalah mereka tak terpahami, dan mereka “terpaksa” mendengarkan kotbah yang baik dari tataran akademik, namun tak mampu memuaskan kebutuhan atau menyapa problem mereka secara personal.
- Model komunikasi umum public speaking dalam kotbah
Ada model komunikasi yang biasa digunakan dalam Kotbah. Pertama, komunikasi yang bersifat komunikasi tradisional, yaitu linear atau satu arah. Pola itu adalah seperti diagram di bawah ini:
|
|||
|
|||
Model Komunikasi linear [1]
Dalam model komunikasi ini, Pembicara sebagai pengkotbah adalah seseorang yang menyampaikan pesan. Pembicara mengambil sebuah ide kotbah dan mengubahnya dalam bentuk saluran yang dia anggap mampu mempresentasikan gagasannya, dalam arti umum yang dapat dimengerti baik oleh dia sendiri maupun umat sebagai audien. Saluran itu adalah kata-kata. Makin konkret kata-kata itu, makin mudah ide kotbah dapat dimengerti oleh keduanya.
Selanjutnya, Pesan atau ide yang ingin disampaikan. Agar pesan itu dapat sampai kepada pendengar, pesan itu harus diteruskan melalui sebuah saluran pula. Saluran ini berkaitan dengan cara meyampaikan pesan, baik berupa dinamika suara maupun mimik dan gesture tubuh. Selain itu saluran itu dapat berupa media-media yang tepat. Model komunikasi dalam kotbah seperti ini kadang kurang mempedulikan respon dari audien. Pengkotbah seringkali jatuh pada pembicaraan satu arah, dimana hanya ia yang berbicara dan pihak lain harus menerima secara pasif segala apa yang dikatakannya.
- Gembala Bersabda dan Domba-domba pun mendengarkan
Melihat realita dan tuntutan jaman ini, kiranya ada beberapa tawaran solusi bagi problem-problem di atas.
- Identifikasi sebagai Jalan Gembala Mendekati Domba
Dalam berkotbah, pengkotbah perlu mengidentifikasi diri dengan para pendengar. Seorang ahli pidato modern yang cukup terkenal, Kenneth Burke, menyebutkan bahwa identifikasi sebagai konsep kunci dalam retorika yang berhasil.[2]Artinya, jika seorang pengkotbah ingin kotbahnya mengena dan didengarkan umat dengan antusias, maka ia perlu mengidentifikasi atau mengidentikkan diri dengan mereka. Secara sederhana pengkotbah seolah mau mengatakan “Masalahmu adalah masalahku!” Umat merasa dipahami dan disapa.
Identifikasi berarti pengkotbah sungguh-sungguh memiliki perhatian terhadap umat sebagai pendengar, merasakan penderitaan dan kegembiraan bersama mereka. Jika ini dilakukan, seorang pengkotbah akan berusaha sepenuh hati untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan rohani umat, yaitu membawa pada penyembuhan dan penghiburan. Di lain pihak, umat akan sadar bahwa gembala mereka mengasihi mereka dan memberi perhatian. Seorang pengkotbah yang mampu mengidentifikasi diri akan menjadi gembala yang penuh pengertian pada dombanya. Ia akan mencerminkan cinta kasih Kristus yang mengatakan “Datanglah kepadaKu, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).[3]
Bagaimana proses identifikasi itu dilakukan? Ada beberapa cara:
Pertama, identifikasi diri dengan kehendak mereka untuk melakukan sesuatu yang baik.[4] Pengkotbah harus menyadari bahwa setiap orang sesungguhnya menghendaki segala yang baik, namun dalam mengejar kebaikan itu mereka seringkali jatuh karena kelemahan, bukan karena kehendak jahat mereka. Maka, seorang pengkotbah diharapkan untuk tidak mengadili kesalahan umat, karena itu berarti mereka ditolak atau tidak diterima. Untuk itu, pengkotbah mesti berbicara tentang “kita” sesering mungkin dan menghindari kata “kamu atau kalian”. Kata ganti ini secara eksplisif menadakan pengkotbah solider, sekaligus mengidentifikasi dengan pendengar. Dengan demikian, umat tidak merasa digurui atau diadili, namun diajak bersama untuk penyadaran diri.
Kedua, identifikasi dalam cara pikir pengkotbah untuk melihat benda-benda dengan cara yang sama seperti yang dilihat orang lain. Artinya, jika ingin kotbah dapat berdaya guna, pengkotbah harus menemukan bidang yang sama dan umum. Hal ini dapat lebih mudah dibuat, jika titik tolaknya adalah sebuah masalah. Titik tolak kotbah berdasarkan satu masalah ini menandakan ada sebuah kebutuhan yang nyata sesuatu yang riil atau nyata, sehingga umat merasa mempunyai pengalaman yang sama.
Ketiga, melibatkan emosi atau perasaan pendengar lewat berbagi pengalaman.[5] Bila pengkotbah membagikan pengalaman manusiawi, pengalaman yang menyangkut hati, maka pengalaman itu juga akan menyentuh dan merangsang emosi pendengar. Umat akan merasa dilibatkan dalam pengalaman manusiawi itu, dan akan ikut juga merasakan pengalaman orang lain, sehingga pengalaman umat juga makin diperkaya.
- Membangun saluran pesan menjadi lebih menarik
Dalam model komunikasi linear di atas, dibutuhkan suatu saluran, yang diharapkan mampu membahasakan ide dalam bentuk suatu pesan, sekaligus mampu ditangkap oleh audien. Begitu juga dalam kotbah. Seorang pengkotbah membutuhkan saluran yang tepat berupa pilihan kata yang mampu mengungkapkan gagasan dan ide kotbah dalam bentuk pesan, sekaligus memanfaatkan saluran bagaimana pesan itu dapat sampai kepada audien.
Pertama, mengenai pilihan kata. Hendaknya dalam berkotbah, pengkotbah mesti memilih kata yang tepat sesuai dengan laar belakang umat atau audiens. Tentu saja pilihan untuk umat di daerah pedesaan berbeda dengan umat di daerah perkotaan. Penggunaan bahasa yang sesuai memampukan pesan yang disampaikan semakin mendarat dalam hati umat.
Kedua, mimik wajah dan gesture tubuh. Seorang pengkotbah harus mampu menguasai teknik-teknik verbal, penguasaan publik penguasaan gerak dan gestulasi. Jika itu dikuasai dengan baik umat semakin tertarik dengan apa yang pengkotbah sampaikan, sehingga pesan itu dapat sampai kepada umat. Umat tidak hanya diajak mendengarkan apa yang disampaikan (sisi auditif atau pendengaran) namun juga makin diperkaya dengan memperhatikan dengan sama (sisi visual).
Ketiga, penggunaan media-media. Hidup kita tidak dapat lepas dari perkembangan teknologi, sehingga mau tak mau setiap orang hidup dalam dunia teknologi. Penggunaan teknologi dalam pewartaan semakin memampukan pengkotbah menghadirkan iman lebih mendarat dan aktual. Saat ini dibutuhkan pengkotbah yang mampu memadukan kebutuhan untuk mewartakan sabada dengan sarana komunikasi yang modern yang tidak pernah diimpikan oleh santo Paulus.[6]
Tentu saja, proses mengembangkan kemampuan menggunakan saluran dalam berkotbah bukan sekali jadi. Ada sebuah pepatah klasik yang berbunyi “Practice Makes Perfect (PMP)” atau “latihan membuat makin sempurna”. Maka diharapkan seorang Pengkotbah untuk terus menerus belajar dan berlatih untuk menyempurnakan diri dalam pewartaan iman kepada umatnya.
- Model Kotbah Feedback sebagai alternatif
Pada jaman ini, ada sebuah model komunikasi public sepeaking yang menawarkan sesuatu yang baru yaitu model umpan balik atau feedback.
|
Pesan
Pembicara Pendengar
Feedback
(umpan-balik)
Model Komunikasi dengan Lingkaran Feedback[7]
Biasanya tipe kotbah ini efektif terjadi di mana jumlah umat yang hadir lebih kecil. Dalam model ini pembicara dapat melihat efektifitas pembicaraan melalui tanggapan yang diberikan oleh umat dalam pendengar. Pendengar sungguh-sungguh memberi tanggapan. Mereka dapat mengungkapkan suka atau tidak suka, terispirasi atau malah bingung. Proses ini mesti melewati 4 langkah[8]:
- Watching atau melihat respon dari pendengar misalnya pendengar memberikan senyuman.
- Interpretating atau menafsirkan feedback atau umpan balik. Apa arti mereka tersenyum, setuju atau mengejek?
- Analyzing atau menganalisis tanggapan mengapa tanggapan itu terjadi, apa yang menyebabkannya.
- Responding atau menanggapi feedback sebagai contoh bertanya kepada umat.
Melalui model komunikasi ini, pesan itu tidak hanya ditujukan pada pendengar saja, namun Pengkotbah dapat mengalami umpan balik atau feedback yang berguna untuk makin mempertajam kecakapan dalam berkotbah dan mewartakan iman.
- Penutup
Dari uraian diatas jelas bahawa sosok Gembala amat dibutuhkan umat untuk menuntuk mereka kepada kebenaran iman yang menyakinkan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kotbah-kotbah merupakan sarana yang baik untuk menjadi pemuas dahaga iman umat yang haus akan kebenaran sabda Ilahi yang konkret, yang dekat dengan hidup mereka. Faktanya tidak banyak pengkotbah memilikinya.
Maka dibutuhkan kiat-kiat atau cara-cara bagaimana seorang gembala mampu bersabda, sehingga domba-domba mampu mendengarkan. Ilmu Public speaking menjadi penting dalam pewartaan sabda. Public speaking diharapkan dapat semakin membantu para pengkotbah yang notabene adalah seorang gembala, semakin mampu menghadirkan sabda Allah ditengah dunia konkret yang dialami oleh para dombanya. Dengan demikian, gembala dapat semakin mampu mendekati domba-dombanya, mewartakan sabda yang diterima baik oleh mereka, sehingga mampu membimbing mereka menuju pada sang sumber Air Abadi yang memuaskan dahaga hidup mereka. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, Patricia Bradley,
1985 Basic Public Speaking, Harper & Row Publishers, Inc., New York
Burghardt, Walter J.,
1987 Preaching: The Art and The Craft, Paulist Press, New York
Nutt, Mc,
1974 Teknik Mempersiapkan kotbah, Penerbit Nusa Indah, Ende
[1] Patricia Bradley Andrews, Basic Public Speaking, Harper & Row Publishers, Inc., New York 1985, 5.
[2] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, Penerbit Nusa Indah, Ende 1974, 44.
[3] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 48.
[4] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 49.
[5] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 54.
[6] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 71.
[7] Patricia Bradley Andrews, Basic Public Speaking, 6.
[8] Patricia Bradley Andrews, Basic Public Speaking, 7.