GEMBALA BERSABDA DAN DOMBA-DOMBA PUN MENDENGARKAN

 

Pentingnya kemampuan public speaking bagi seorang pewarta sabda

  1. Pengantar

Pada jaman ini, pesatnya perkembangan dunia, tak dapat dielakkan. Mau tak mau setiap orang seakan ditarik untuk masuk dalam pusaran perkembangan dunia yang memberi banyak warna dalam kehidupan dunia. Dalam situasi semacam ini orang membutuhkan pegangan dan bantuan untuk berjalan di tengah arus yang kuat ini, termasuk dalam hidup beriman. Pada posisi ini kedudukan seorang gembala atau pemimpin umat amat penting sebagai seorang yang dianggap mumpuni dalam segi iman, sehingga mampu menemani orang-orang dalam peziarahan di dunia kokret saat ini.

Masalahnya, saat ini banyak kalangan umat mengeluhkan mengenai profil gembalanya. Mereka menganggap gembala mereka kurang capable dalam memuaskan kerinduan mereka untuk menemukan kepastian dalam beriman dengan menimba dari sabda Ilahi. Petuah-petuah dan ulasan sabda Ilahi yang mereka lontarkan mereka terasa hambar dan seringkali dipandang sebagai common sense, ibarat masakan daging mahal tanpa bumbu. Isi kotbah yang mendalam, tak dibarengi oleh kemampuan berbicara yang menarik, kemampuan public speaking yang baik. Mereka merindukan gembala yang mampu juga mengobarkan semangat iman mereka, sehingga mereka pun terbakar dalam iman, sehingga dapat melangkahdengan pasti, menuju pada sang Sumber Kesegaran Ilahi.

            Berangkat dari keprihatinan ini penulis mencoba mengungkapkan pentingnya kemampuan public speaking yang baik bagi seorang gembala, sang pewarta sabda. Semoga tulisan ini semakin membantu para pewarta sabda untuk mampu menyampaikan sabda bagi umat yang haus akan sabda Ilahi.

  1. Public Speaking dan Gembala
  2. Profil sebagai Gembala dan Realita Kini

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, seorang Gembala atau pemimpin jemaat harus mampu menguasai kemampuan untuk mewartakan apa yang baik, sebagai cara untuk memuaskan dahaga para domba gembalaannya, dalam hal ini umat. Seorang pemimpin harus mampu menjadi pemimpin yang baik, dalam hal ini menghantar umat pada Allah, yang menjadi sumber kerinduannya. Ibarat, seorang gembala yang harus mampu menghantar domba-dombanya ke padang yang hijau dan sumber air yang segar dengan selamat, meski bahaya seperti serigala, senantiasa mengancam (bdk. Mazmur 23). Begitu pula dalam kehidupan beriman, seorang pemimpin harus mampu menghantar umatnya untuk sampai kepada Allah, Sang Sumber hidup mereka, meski bahaya duniawi, senantiasa menggoda iman.

Kotbah menjadi salah satu cara bagaimana seorang pemimpin dapat membawa orang-orang sampai kepada kerinduan itu. Kotbah menjadi ruang yang baik, untuk mengolah sabda Ilahi sehingga umat mempunyainya sebagai bekal dalam kehidupan sehari-hari. Kotbah menjadi semacam pewartaan resmi yang menjadi media pemimpin berkomunikasi dengan umat. Kotbah menjadi sarana untuk meneguhkan iman umat, yang seringkali harus berhadapan realita kehidupan yang sulit. Maka, seorang pengkotbah mesti memiliki kemampuan untuk menyakinkan para jemaat. Dalam hal ini, public speakingmemainkan peran sebagai dasar pewartaan. Public speaking, sangat menentukan apa yang diwartakan oleh pemimpin dapat sampai kepada jemaat. Kemampuan public speaking menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan dalam pewartaan.

Faktanya seringkali para pengkotbah kurang mampu menguasai kemampuan public speaking yang memadai dalam pewartaan. Apa yang diwartakan seringkali terasa kering, melayang-layang pada tataran tafsir biblis yang kurang mendarat dalam kehidupan jemaat. Bahkan dalam kotbah, terkesan ada jarak antara gembala dan umat sebagai dombanya. Padahal, umat merindukan komunikasi yang dekat, kotbah yang mengenai dalam kehidupan mereka, sehingga mereka tersapa. Umat merasa masalah mereka tak terpahami, dan mereka “terpaksa” mendengarkan kotbah yang baik dari tataran akademik, namun tak mampu memuaskan kebutuhan atau menyapa problem mereka secara personal.

  1. Model komunikasi umum public speaking dalam kotbah

Ada model komunikasi yang biasa digunakan dalam Kotbah. Pertama, komunikasi yang  bersifat komunikasi tradisional, yaitu linear atau satu arah. Pola itu adalah seperti diagram di bawah ini:

       
 

Saluran

 

   

Saluran

 

 
       
 
   
 

 

Model Komunikasi linear [1]

Dalam model komunikasi ini, Pembicara sebagai pengkotbah adalah seseorang yang menyampaikan pesan. Pembicara mengambil sebuah ide kotbah dan mengubahnya dalam bentuk saluran yang dia anggap mampu mempresentasikan gagasannya, dalam arti umum yang dapat dimengerti baik oleh dia sendiri maupun umat sebagai audien. Saluran itu adalah kata-kata. Makin konkret kata-kata itu, makin mudah ide kotbah dapat dimengerti oleh keduanya.

 Selanjutnya, Pesan atau ide yang ingin disampaikan. Agar pesan itu dapat sampai kepada pendengar, pesan itu harus diteruskan melalui sebuah saluran pula. Saluran ini berkaitan dengan cara meyampaikan pesan, baik berupa dinamika suara maupun mimik dan gesture tubuh. Selain itu saluran itu dapat berupa media-media yang tepat. Model komunikasi dalam kotbah seperti ini kadang kurang mempedulikan respon dari audien. Pengkotbah seringkali jatuh pada pembicaraan satu arah, dimana hanya ia yang berbicara dan pihak lain harus menerima secara pasif segala apa yang dikatakannya. 

  1. Gembala Bersabda dan Domba-domba pun mendengarkan

Melihat realita dan tuntutan jaman ini, kiranya ada beberapa tawaran solusi bagi problem-problem di atas.

  1. Identifikasi sebagai Jalan Gembala Mendekati Domba

Dalam berkotbah, pengkotbah perlu mengidentifikasi diri dengan para pendengar. Seorang ahli pidato modern yang cukup terkenal, Kenneth Burke, menyebutkan bahwa identifikasi sebagai konsep kunci dalam retorika yang berhasil.[2]Artinya, jika seorang pengkotbah ingin kotbahnya mengena dan didengarkan umat dengan antusias, maka ia perlu mengidentifikasi atau mengidentikkan diri dengan mereka. Secara sederhana pengkotbah seolah mau mengatakan “Masalahmu adalah masalahku!” Umat merasa dipahami dan disapa.

Identifikasi berarti pengkotbah sungguh-sungguh memiliki perhatian terhadap umat sebagai pendengar, merasakan penderitaan dan kegembiraan bersama mereka. Jika ini dilakukan, seorang pengkotbah akan berusaha sepenuh hati untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan rohani umat, yaitu membawa pada penyembuhan dan penghiburan. Di lain pihak, umat akan sadar bahwa gembala mereka mengasihi mereka dan memberi perhatian. Seorang pengkotbah yang mampu mengidentifikasi diri akan menjadi gembala yang penuh pengertian pada dombanya. Ia akan mencerminkan cinta kasih Kristus yang mengatakan “Datanglah kepadaKu, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).[3]

Bagaimana proses identifikasi itu dilakukan? Ada beberapa cara:

Pertama, identifikasi diri dengan kehendak mereka untuk melakukan sesuatu yang baik.[4] Pengkotbah harus menyadari bahwa setiap orang sesungguhnya menghendaki segala yang baik, namun dalam mengejar kebaikan itu mereka seringkali jatuh karena kelemahan, bukan karena kehendak jahat mereka. Maka, seorang pengkotbah diharapkan untuk tidak mengadili kesalahan umat, karena itu berarti mereka ditolak atau tidak diterima. Untuk itu, pengkotbah mesti berbicara tentang “kita” sesering mungkin dan menghindari kata “kamu atau kalian”. Kata ganti ini secara eksplisif menadakan pengkotbah solider, sekaligus mengidentifikasi dengan pendengar. Dengan demikian, umat tidak merasa digurui atau diadili, namun diajak bersama untuk penyadaran diri.

Kedua, identifikasi dalam cara pikir pengkotbah untuk melihat benda-benda dengan cara yang sama seperti yang dilihat orang lain. Artinya, jika ingin kotbah dapat berdaya guna, pengkotbah harus menemukan bidang yang sama dan umum. Hal ini dapat lebih mudah dibuat, jika titik tolaknya adalah sebuah masalah. Titik tolak kotbah berdasarkan satu masalah ini menandakan ada sebuah kebutuhan yang nyata sesuatu yang riil atau nyata, sehingga  umat merasa mempunyai pengalaman yang sama.

Ketiga, melibatkan emosi atau perasaan pendengar lewat berbagi pengalaman.[5] Bila pengkotbah membagikan pengalaman manusiawi, pengalaman yang menyangkut hati, maka pengalaman itu juga akan menyentuh dan merangsang emosi pendengar. Umat akan merasa dilibatkan dalam pengalaman manusiawi itu, dan akan ikut juga merasakan pengalaman orang lain, sehingga pengalaman umat juga makin diperkaya.

  1. Membangun saluran pesan menjadi lebih menarik

Dalam model komunikasi linear di atas, dibutuhkan suatu saluran, yang diharapkan mampu membahasakan ide dalam bentuk suatu pesan, sekaligus mampu ditangkap oleh audien. Begitu juga dalam kotbah. Seorang pengkotbah membutuhkan saluran yang tepat berupa pilihan kata yang mampu mengungkapkan gagasan dan ide kotbah dalam bentuk pesan, sekaligus memanfaatkan saluran bagaimana pesan itu dapat sampai kepada audien.

Pertama, mengenai pilihan kata. Hendaknya dalam berkotbah, pengkotbah mesti memilih kata yang tepat sesuai dengan laar belakang umat atau audiens. Tentu saja pilihan untuk umat di daerah pedesaan berbeda dengan umat di daerah perkotaan. Penggunaan bahasa yang sesuai memampukan pesan yang disampaikan semakin mendarat dalam hati umat.

Kedua, mimik wajah dan gesture tubuh. Seorang pengkotbah harus mampu menguasai teknik-teknik verbal, penguasaan publik penguasaan gerak dan gestulasi. Jika itu dikuasai dengan baik umat semakin tertarik dengan apa yang pengkotbah sampaikan, sehingga pesan itu dapat sampai kepada umat. Umat tidak hanya diajak mendengarkan apa yang disampaikan (sisi auditif atau pendengaran) namun juga makin diperkaya dengan memperhatikan dengan sama (sisi visual).

Ketiga, penggunaan media-media. Hidup kita tidak dapat lepas dari perkembangan teknologi, sehingga mau tak mau setiap orang hidup dalam dunia teknologi. Penggunaan teknologi dalam pewartaan semakin memampukan pengkotbah menghadirkan iman lebih mendarat dan aktual. Saat ini dibutuhkan pengkotbah yang mampu memadukan kebutuhan untuk mewartakan sabada dengan sarana komunikasi yang modern yang tidak pernah diimpikan oleh santo Paulus.[6]

Tentu saja, proses mengembangkan kemampuan menggunakan saluran dalam berkotbah bukan sekali jadi. Ada sebuah pepatah klasik yang berbunyi “Practice Makes Perfect (PMP)” atau “latihan membuat makin sempurna”. Maka diharapkan seorang Pengkotbah untuk terus menerus belajar dan berlatih untuk menyempurnakan diri dalam pewartaan iman kepada umatnya.

  1. Model Kotbah Feedback sebagai alternatif

Pada jaman ini, ada sebuah model komunikasi public sepeaking yang menawarkan sesuatu yang baru yaitu model umpan balik atau feedback.

Saluran

 

           

                                                              Pesan       

                                    Pembicara                                  Pendengar                

       
 
   
 

 

                                                               Feedback

                                                            (umpan-balik)

Model Komunikasi dengan Lingkaran Feedback[7]

Biasanya tipe kotbah ini efektif terjadi di mana jumlah umat yang hadir lebih kecil. Dalam model ini pembicara dapat melihat efektifitas pembicaraan melalui tanggapan yang diberikan oleh umat dalam pendengar. Pendengar sungguh-sungguh memberi tanggapan. Mereka dapat mengungkapkan suka atau tidak suka, terispirasi atau malah bingung. Proses ini mesti melewati 4 langkah[8]:

  1. Watching atau melihat respon dari pendengar misalnya pendengar memberikan senyuman.
  2. Interpretating atau menafsirkan feedback atau umpan balik. Apa arti mereka tersenyum, setuju atau mengejek?
  3. Analyzing atau menganalisis tanggapan mengapa tanggapan itu terjadi, apa yang menyebabkannya.
  4. Responding atau menanggapi feedback sebagai contoh bertanya kepada umat.

Melalui model komunikasi ini, pesan itu tidak hanya ditujukan pada pendengar saja, namun Pengkotbah dapat mengalami umpan balik atau feedback yang berguna untuk makin mempertajam kecakapan dalam berkotbah dan mewartakan iman.

  1. Penutup

Dari uraian diatas jelas bahawa sosok Gembala amat dibutuhkan umat untuk menuntuk mereka kepada kebenaran iman yang menyakinkan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kotbah-kotbah merupakan sarana yang baik untuk menjadi pemuas dahaga iman umat yang haus akan kebenaran sabda Ilahi yang konkret, yang dekat dengan hidup mereka. Faktanya tidak banyak pengkotbah memilikinya.

Maka dibutuhkan kiat-kiat atau cara-cara bagaimana seorang gembala mampu bersabda, sehingga domba-domba mampu mendengarkan. Ilmu Public speaking menjadi penting dalam pewartaan sabda. Public speaking diharapkan dapat semakin membantu para pengkotbah yang notabene adalah seorang gembala, semakin mampu menghadirkan sabda Allah ditengah dunia konkret yang dialami oleh para dombanya. Dengan demikian, gembala dapat semakin mampu mendekati domba-dombanya, mewartakan sabda yang diterima baik oleh mereka, sehingga mampu membimbing mereka menuju pada sang sumber Air Abadi yang memuaskan dahaga hidup mereka. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, Patricia Bradley,

1985    Basic Public Speaking, Harper & Row Publishers, Inc., New York

Burghardt, Walter J.,

1987  Preaching: The Art and The Craft, Paulist Press, New York

Nutt, Mc,

1974    Teknik Mempersiapkan kotbah, Penerbit Nusa Indah, Ende

[1] Patricia Bradley Andrews, Basic Public Speaking, Harper & Row Publishers, Inc., New York 1985, 5.

[2] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, Penerbit Nusa Indah, Ende 1974, 44.

[3] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 48.

[4] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 49.

[5] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 54.

[6] Mc Nutt, Teknik Mempersiapkan kotbah, 71.

[7] Patricia Bradley Andrews, Basic Public Speaking, 6.

[8] Patricia Bradley Andrews, Basic Public Speaking, 7.

EDMUND HUSSERL

 

  1. Husserl: Biografi
  2. Husserl : Kritik terhadap Idealisme dan Psikologisme

Idealisme dan Psikologisme dari Immanuel Kant dan Hegel ditolak Edmund Husserl. Baginya pandangan Kant bisa melahirkan dualisme antara phenomenon dan noumenon, seakan sebagai dua kenyataan atau realitas yang berbeda.

Bagi Kant, Phenomenon adalah penampakan atau gejala dalam kesadaran, dan berbeda dengan noumenon yang merupakan kenyataan itu sendiri sebagai benda dalam dirinya (das Ding an sich). Artinya, semua pengetahuan hanya phenomenon sebab kesadaran memang hanya mampu menangkap gejala dari sesuatu hal sementara hal itu sndiri tetap merupakan sesuatu yang gelap bagi pengetahuan manusia.

Ia juga menolak pandangan Hegel sebab terlalu ambisius seolah kenyataan diciptakan atau ditentukan oleh kesadaran subyek.

Bagi Hegel dalam bukunya Phanomenologie des Geistes (1807), fenomena diterima sebagai gejala yang nampak dalam kesadaran, namun sudah memadai untuk dijadikan dasar dalam melihat realitas yang sedang berkembang dalam sejarah. Akhirnya Hegel mengakui bahwa keseluruh apa yang napak dalam kesadaran atau idealitas menjadi sama dengan apa yang nyata dalam realitas. Kenyataan mendapat pembenaran dalam idealitas (Selbstbewuβtsein: penampakan tentang dan dalam diri sendiri).

Pandangan Psikologisme juga ia tolak sebab mengajarkan bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil dari penangkapan manusia dari pengalaman-pengalaman empiris. Bagi Husserl pandangan ini sempit dan tidak mendalam, sebab jika pandangan ingin mempertahankan konsistensinya, maka setiap orang yang berbeda pengalamannya akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda pula. Ini berarti pengetahuan itu bersifat subyektif tergantung dari masing-masing orang.

Posisinya inging meneruskan gagasan Neo Kantinisme yang mencoba tidak tergeret pada dua ekstrim, terlalu idealisme (tekanan pada peran akal budi dan pembenaran atas kenyataan-kenyataan ideal) atau juga realisme (pengakuan adanya realitas diluar kesadaran).

  1. Gagasan Husserl mengenai zuruck zu den Sachen selbst (kembali kepada dirinya/benda-benda sendiri)

Kenyataan memang terwujud dalam fenomen/ gejala, namun di situ sudah termuat hakekat dari apa yang ada. Fenomen ialah realitas sendiri yang nampak. Jika orang menerima fenomen dan menangkap hakekat dai yang ada, maka seseorang mengetahui apa yang paling pokok/inti/penting dari kenyataan itu. Kesadaran menurut kodratnya terarah pada relaitas Apa yang ada diluar kesadaran tidak relevan lagi untuk dibicarakan. Kesadaran akan hakekat kenyataan itu sudah memadai untuk pengetahuan. Namun, dengan pengetahuan Husserl tidak bermaksud menjelaskannya sebagai rekayasa pikiran dalam memahami sesuatu dibalik fenomen itu,. Pengetahuan itu menerima gejala apa adanya dan menangkap hakekat kenyataan yang ditampakkan berkat intuisi budi. Kita harus kembali pada halnya dan menangkap apa saja yang ditampakkan kepada kita. Inilah inti faham fenomenologi Husserl.

  1. Gagasan tentang Intensionalitas

Untuk memahaminya, kita perlu bertolak dari gagasan Descartes yang mencari kepastian dalam hal pengetahuan. Descartes memulainya dengan pengadaian awal yang meragukan pengetahuan yang diperolehnya selama ini (skeptisisme metodologis). Meragukan pengetahuan empris, Descartes sampai pada kepastian “aku” sebagai kebenaran pertama yang tak bisa diragukan. Istilah Cogito ergo sum mau menegaskan “aku” sebagai kesadaran (res cogitans). Selanjutnya ia merunut kepastian selanjutnya yang tahan terhadap kritik rasio. Maka ia sampai pada dua kenyataan lain yang tak dapat diragukan “materi (res extensa)” dan “Tuhan”. 3 hal ini menjadi substansi dasar bagi pemikiran-pemikiran selanjutnya. Namun ia menyamakan susbstansi dengan Idea, kenyataan diluar kesadaran tidak bisa ada. Ia meragukan segala sesuatu diluar kesadarannya.

Husserl berpendapat justru sifat kesadaran itu mengarah keluar dari dirinya dan berhubungan dengan obyek-obyek entah berupa persepsi, konsepsi, mitos dan lain sebagainya. Husserl mau mengatakan bahw kesadaran itu bersifat intensional; yatu rekaitas menampakkan diri dan senantiasai ditemukan dalam hubungannya dengan obyek-obyek. Tidak pernah ada kesadaran tanpa obyek.

  1. Gagasan mengenai Reduksi fenomenologis

Gagasan ini bertujuan untuk menjawab persoalan bagaimana obyek itu menampakkan diri.

Reduksi fenomenologis adalah pembeberan atau lukisan (description) mengenai kesadaran yang disadari dan bukan penjelasan (explanation) rasional. Artinya, kesaran memerima dan mengolah data, bukan merekayasa atau menjelaskan. Ada tiga tahap agar fenomen menampakkan diri dalam kesadaran

  1. Tahap Reduksi psikologis. Realitas/kenyataan dikupas sehingga kelihatan apa yang ada dalam hubungan antara kesadaran dan obyeknya.unsur-unsur psikologis empiris seperti perasaan, kesan sepintas ingatan yang subyektif dibuang.
  2. Tahap reduksi eiditis. Kesadaran selanjutnya membuang operasi/rekayasa rasional yang sudah mengendap dalam kesadaran seperti teori-teori, spekulasi, hipotese, dan membiarkan obyek menampakkan hakekatnya sebagai eidos.
  3. Tahap Reduksi Fenomenologis. Kesadaran akan kenyataan sebagai hubungan subyek-obyek yang tak terpisahkan. Kenyataan ini merupakan obyek murni sebagai fenomen yang senantiasa terkait dengan subyek murni yang dihasilkan dari reduksi yang tuntas.

Metode ini bukan kesangsian seperti metode Descartes tapi netralisasi.

  1. Ephoche (kurun waktu/periode)

Merupakan isitilah untuk melukiskan bagaimana unsur-unsur sunbyektif itu misalnya kepercayaan dan keyakinan pribadi harus di singkirkan. Memang keyakinan pribadi yang paling mendasar tidak munkin dilepaskan dari suyek, tapi setidaknya kyakinan pribadi itu bisa dikesampingkan senetara waktu atau dimasukkan antara tanda kurung (Einklammerung), sehingga penampakan eidos (tanpa ragu) itu dimungkinkan. Inilah proses epoche. Dengan menundas segal bentuk subyektivitas yang menghalangi penampakan fenomen, reduksi fenomenologis mengakhiri proses penyadaran dengan penampakan subyek murni.

Sumber: Disarikan dari Diktat Mata kuliah Filsafat kontemporer Prof. A. Sudiarja SJ, dengan editing seperlunya.

MAX SCHELER

 

Max Scheler: nilai material

Dalam Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik(1913), Scheler membedakan antara nilai material dan nilai formal sebagaimana diajarkan Kant.

Scheler berpendapat bahwa etika yang mendasarkan diri pada nilai material di luar perintah moral itu tidak harus bersifat relatif. Perintah moral bukanlah forma kosong, melainkan berelasi dengan nilai di luarnya. Maka nilai di luar itulah yang sebenarnya mendorong tindakan etis. Perbuatan baik bukan sekedar menuruti perintah bukta, melainkan perbuatan yang ditarik kepada nilai material di luar kita. Obyek yang menjadi pamrih seperti yang dinilai Kant bisa saja bersifat independen, tak berubah, obyektif yang dapat menempati obyek apapun. Nilai itu disebut indah, baik, benar. Dsb.

 

Teori Scheler tentang (tataran) nilai.

Karena nilai mandiri atau independent, maka ia punya tingkatan-tingkatan.

  1. Nilai kesenangan atas dasar penangkapan inderawi
  2. Nilai vital yang mendukung kehidupan dan peradaban, menyangkut pengalaman yang lebih mendalam seperti rasa takut, lemah, kekasaran, kehalusan, kekuatan dan kelemahan, kesehatan, kesakitan dsb.
  3. Nilai-nilai rohani, seperti nilai esteti menyangkut rasa keindahan nilai epistemologis yang menyangkut benar salah, rasa keadilan dan ketidak adilan
  4. Nilai religius, berkaitan dengan yang kudus.
  5. Nilai rohani dan religius berlaku untuk makluk manusiawi sebagai ukuran pribadi. Nilai tidak tergantung bendanya, namun memberi kualifikasi/sifat pada benda/kegiatan.

Moral diluar tataran itu, namun pencerapan dari manusia terhadap nilai tu dan perwujudan nilai dalan tindakan manusia. Tidak dalam hirarki tapi dalam realisasinya. Nilai moral menumpang pada nilai itu dan tidak dapat berdiri sendiri. Suatu tindakan baik secara moral jika dijalankan dalam rangka memilih nilai yang lebih tinggi atau sebaliknya.

 

Ajaran Scheler tentang cinta.

Menurut Scheler ada tiga macam kegiatan manusia yang memeri ciri khasn kemanusiaanya sebagai pribadi

  1. Refleksi yaitu kegiatan membuat dirinya sebagai obyek pemikiran
  2. Abstraksi atau ideasi, menangkap hakekat dari keberadaan di luar dirinya (eksistensi).
  3. Cinta. Cinta merupakan kegiatan paling penting sebagai pribadi. Cinta dan benci dalah tindakan primordial manusia yag mendasarsi tindakan lain. Pribadi dapat diukur dari cintanya.

Ajaran mengenai cinta ini dipengaruhi Plato dan Agustinus yang menampakkan sifat mistis dan religius. Pengetahuan penting yang melibatkan pribadi berpartisipasi dengan yang esensial/hakiki. Berfilsafat bukan pertama-tama abstraksi tapi moral yaitu cinta.

Cinta merupakan bagian pribadi manusia yang diarahkan  kepada nilai absolut. Cinta ini megarahkan pribadi melampaui keterbatasannya (unsur transendensi). Yang diperlukan adalah penyerahan diri, kesetiaan pada institusi dengan melepaskan segala a priori. Bukan kenginan untuk menguasai. Perlu kerendahan hati dan penguasaan diri.

Ia menemukan tiga kenyataan filsafat:

  1. Ada sesuatu
  2. Ada yang absolut
  3. Ada itu punya hakekat/esensi (Wesen) dan eksistensi (Dasein), yang ada selalu diketahui.

FRATER SEBAGAI KONSELOR

Peran Kecakapan Konseling bagi Pengembangan Sisi Pastoral Seorang Frater

  1. Pengantar

Beberapa waktu silam, seorang kenalan muda pernah datang kepada penulis. Waktu itu penulis belum genap satu tahun menjadi seorang frater. Orang muda ini datang dan bermaksud mencurahkan perasaannya. Ternyata orang ini sedang mengalami masalah. Selanjutnya ia meminta nasehat atau bimbingan dari penulis. Tentu sajapenulis merasa belum mampu, dan secara halus dan jujur mengakui bahwa penulis belum mempunyai kapasitas untuk memberi bimbingan, karena baru saja menjadi seorang frater.

Berangkat dari pengalaman tersebut, penulis sadar bahwa status penulis sebagai seorang frater, membuat penulis menjadi berbeda di mata orang lain. bagi mereka seorang frater tentu mempunyai kecakapan untuk mendengarkan berbagai macam problem, dan harapannya mampu membantu proses penyelesaian problem-problem tersebut. Maka mata kuliah bimbingan dan konseling ini terasa perlu dan berguna bagi penulis. Memang disadari bahwa, porsi pengalaman dan pendidikan bimbingan dan konseling yang hanya satu semester tidaklah cukup banyak waktu untuk memberikan banyak hal mengenai bimbingan dan konseling itu. Namun, waktu yang singkat ini dapat menghantar penulis, paling tidak mempunyai dasar-dasar untuk memberikan bimbingan dan koseling bagi orang-orang yang membutuhkan.

  1. Konseling dan Sosok Frater dalam Proses Formatio Calom Imam

Berdasarkan Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembinaan Imam tertulis,”…Hendaknya mereka (calon imam) dididik dengan seksama untuk memberikan bimbingan rohani supaya mereka mampu membina semua putra-putri Gereja, … kemampuan untuk mendengarkan orang lain dan untuk dalam semangat cinta kasih membuka hati bagi macam-macam segi kebutuhan manusia”.[1] Dari kutipan ini jelas bahwa dalam proses pendidikan dan pembinaan, para calon imam atau frater perlu dibekali dengan kemampuan untuk memberi bimbingan dan konseling, paling tidak kepada umatnya. Kemampuan membimbing ini dibarengi dengan kemampuan untuk mendengarkan orang lain dan membuka hati terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka. Atas dasar inilah peran Ilmu Konseling dan bimbingan diperlukan bagi seorang frater atau calon imam.

Ilmu Konseling dan bimbingan, diharapkan mampu memberi sumbangan yang memadai dalam membekali sekaligus mengasah ketrampilan bagi seorang calon imam. Keterlibatan dalam pendampingan umat dengan berbagai macam dinamika dan problem yang dihadapi, tentu membutuhkan suatu keahlian, dan ilmu Konseling merupakan pelengkap yang penting dalam pengembangan sisi humaniora, khususnya bagi seorang calon gembala. Asumsi dan kepercayaan yang diberikan umat kepada para imam dan calon imam yang dinggap mempunyai kapabilitas dan kompetensi mestinya juga direspon dengan baik pula. Ilmu Konseling membantu menyiapkan seorang calon imam menuju kualifikasi ini.

  1. Kecakapan konseling bagi seorang calon imam

Dalam proses selanjutnya, seorang frater diharapkan mempunyai kecakapan yang memadai sebagai seorang konselor dan pembimbing. Maka dasar-dasar  yang harus dimiliki seorang konselor ini perlu ditanamkan. Dasar-dasar itu harus dimulai dari hal yang paling sederhana hingga sampai pada hal yang kompleks.

  1. 1 Pengertian dan Tujuan Bimbingan-Konseling

Sebagai seorang Frater sekaligus konselor, pertama-tama yang perlu diketahui adalah apa pengertian  dan konseling itu sendiri. Ada berbagai macam definisi mengenai bimbingan dan konseling yang ditawarkan dengan berbagai kelengkapannya dan sudut pandang. Namun penulis memilih satu pengertian yang kiranya cukup representatif. Penulis memilih H. Prayitno dan Erman Amti, yang kiranya cocok sesuai dengan konteks lokal. Mereka mendefinisikan bimbingan sebagai “proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh para ahli kepada seseorang atau beberapa individu, baik anak-anak, remaja maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri…”.[2] Sedangkan Konseling sendiri adalah “proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara oleh seorang ahli yang disebut konselor kepada individu yang sedang mengalami masalah (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi”.[3]

Pada awalnya pelayanan bimbingan belum mencakup pelayanan konseling. Pada proses selanjutnya, bentuk ini berkembang, di mana konseling merupakan salah satu bentuk pelayanan bimbingan. Kemudian, pelayanan bimbingan dan konseling itu saling berhimpitan. Pada akhirnya, pelayanan konseling menyangkut seluruh pelayanan yang dulu dipisahkan antara konseling dan bimbingan.

Dari pengertian konseling dan bimbingan menurut H. Prayitno dan Erman Amti tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ada kesamaan unsur antara bimbingan dan konseling. Unsur itu adalah sebuah proses, melibatkan dua pihak, yaitu Konselor/Pembimbing dan klien/binimbing, adanya kebutuhan entah untuk penyelesaian masalah atau pengembangan pribadi, dan terakhir tercapainya kebutuhan itu secara mandiri.

 Seorang Frater mestinya mempunyai kemampuan untuk membantu individu untuk mengatasi masalahnya dan memenuhi kebutuhannya untuk berkembang secara optimal, tentu bukan dengan cara “menyuap” namun membimbing ke arah kemandirian. Selain itu, individu perlu dibantu untuk memahami dan melaksanakan tugas perkembangannya sesuai dengan perkembangan usia. Tujuannya, mereka makin mandiri dan berkembang optimal.

Dalam proses selanjutnya, seorang konselor dalam hal ini seorang frater, perlu juga memperhatikan asas-asas bimbingan. Sebagai seorang frater, asas mendasar dan yang kiranya paling relevan dan yang perlu sungguh ditanamkan dewasa ini adalah asas kerahasiaan dan kesukarelaan. Pada jaman ini, orang mengalami kesulitan untuk menjaga kerahasiaan dan kesukarelaan. Pada calon imam, kedua hal ini menyangkut ciri khas imam khususnya berkaitan dengan “pastoral kamar pengakuan”. Seorang imam harus mampu menjaga rahasia umat yang berbagi pengalaman atau problem padanya, karena ia pun terikat pada janji imamatnya. Umat mempunyai persepsi bahwa seorang imam mampu menjaga rahasia, sehingga mereka dengan nyaman berbagi pengalaman dan problem. Selain itu, asas kesukarelaan itu perlu diperhatikan sungguh. Saat ini, banyak imam maupun calon imam sulit untuk mempunyai semangat sukarela dalam melayani. Bahkan ada kecenderungan imam mempunyai syarat-syarat tertentu dalam melayani. Maka, setiap calon imam perlu disadarkan pula bahwa kesukarelaan merupakan ungkapan bentuk penghayatan injili yang harus menjadi keutamaan hidup, khususnya dalam melayani umat.

  1. 2 Kecakapan berkomunikasi seorang Frater: Hambatan dan Kekuatannya

Sebagai seorang frater sekaligus konselor, penulis juga harus mengetahui dan memahami secara mendalam bagaimana menjalin hubungan manusiawi yang bersifat interpersonal terhadap orang lain. Pengetahuan dan pemahaman ini tidak hanya berguna bagi pribadi penulis semata, tetapi dapat dibagikan kepada orang yang datang untuk berkonsultasi dengan penulis yang notabene adalah seorang frater. Ada beberapa dimensi yang harus diketahui oleh seorang konselor mengenai komunikasi yang meliputi, pemahaman mengenai tahap-tahap komunikasi, kesadaran akan adanya hambatan komunikasi, dan menemukan pelancar komunikasi.

  1. Tahap-tahap Komunikasi

Ada beberapa tingkatan atau taraf komunikasi atau hubungan interpersonal itu menurut Powell[4]:

Pertama, tahap Clinche Coversation. Pada tahap ini orang menjalin komunikasi tingkat dasar. Orang menjalin relasi interpersonal di mana masing-masing pribadi berbicara dalam bentuk sapaan. Pada tahap ini orang tidak perlu saling mengenal, tanpa memandang tempat. Komunikasi ini bisa terjadi di mana saja, misalnya menyapa orang di jalan dengan mengucap “selamat pagi…?”, meski tidak pernah ketemu atau tidak saling mengenal. Komunikasi ini lebih bersifat basa-basi, sekedar memenuhi etika pergaulan semata.

Kedua, Reporting the fact about the others. Pada tahap ini orang sudah mencapai tahap pengenalan satu sama lain sebagai pribadi. Namun dalam taraf ini, orang bahkan tidak membuka diri untuk diketahui oleh orang lain, tapi malah membicarakan orang lain di luar pribadi yang sedang berkomunikasi. Dalam bahasa jawa masing-masing pribadi yang berelasi dan berkomunikasi cenderung ngrasani (membicarakan) orang lain. Ngrasani ini biasanya membicarakan hal-hal negatif dari pribadi orang lain, meski tak menutup kemungkinan ada juga pembicaraan tentang hal-hal positif.

Ketiga, My ideas and judgments. Pada taraf ini relasi mulai terjalin lebih mendalam. Orang yang menjalin relasi mulai berani membuka diri, menyatakan gagasan, perasaan, keputusan, opini pribadi meski prinsip kehati-hatian cukup kuat. Pada tahap ini orang lebih menonjolkan sisi-sisi positif pribadinya sendiri, dan lebih pada tataran rasional (ide-ide).

Keempat, Gut level. Pada tahap ini orag mulai berani mengungkapkan isi hati dan perasaannya, karena telah mempunyai pengenalan yang cukup lama sekaligus mendalam. Orang mulai membuka diri untuk diketahui oleh orang lain, karena dengan jalan demikian orang makin mengenal dirinya sendiri. Ini selaras dengan apa yang diucapkan oleh seorang filsuf terkenal, yaitu Levinas mengenai hubungan antarsubyek Model Moral. Ia berpendapat bahwa dalam proses relasiku dengan orang lain, orang lain memanggilku untuk keluar dari ke-aku-an-ku dan secara radikal menghormati dan menerimanya serta memusatkan perhatian kepadanya. Semakin ia membuka atau menyingkapkan diri pada orang lain, justru ia semakin mengenal siapa dirinya.[5]

Kelima, Peak Communication. Pada taraf ini ada persatuan emosional satu sama lain, hubungan yang sungguh-sungguh terbuka jujur dan membahagiakan. Taraf ini banyak tercapai pada tingkat persahabatan yang akrab atau hubungan pria dan wanita dalam ikatan perkawinan (bisa juga saat pacaran). Hubungan ini merupakan hubungan komunikasi tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap orang karena melibatkan afeksi dan emosi yang mendalam, sehingga orang semakin mengenal dan memahami orang lain secara lebih tepat. Hal ini, selaras dengan gagasan hubungan antar subjektif model Cinta yang diungkapkan seorang filsuf Prancis, Gabriel Marcel. Menurut Marcel, relasi antar pribadi untuk hidup bersama (co-entre) dalam ikatan cinta merupakan ciri khas manusia. Cinta ini mendorong manusia untuk menerobos selubung pribadi dan membiarkan orang dibawa pada sikap kesiapsediaan (disponibilite), penerimaan (receptivite), keterlibatan (engagement) dan kesetiaan (fidelite).[6]

Oleh karena itu, seorang konselor harus dapat membantu orang sampai pada taraf komunikasi dari Hati/perasaan dan melibatkan afeksi dan emosi. Sebab dengan demikian, membiarkan diri dikenal oleh orang lain, membantu orang makin mengenal diri dan dapat melihat berbagai problem dengan lebih jernih, sehingga pintu solusi atasnya, makin terbuka lebar.

Membangun relasi dan komunikasi sejatinya adalah seperti Jendela Johari.[7]  Artinya, relasi itu semakin memperluas ruang terbuka kita, di mana diketahui juga oleh orang lain dan mengurangi daerah buta yang dapat dilihat orang lain saja, dan daerah tersembunyi yang hanya diketahui kita saja. Dengan demikian kedewasaan kita makin terbangun dan mempengaruhi masing-masing pribadi untuk berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya.

  1. Hambatan komunikasi

Dalam perkembangan selanjutnya, faktanya orang masih saja mengalami kesulitan berkomunikasi karena adanya penghalang atau hambatan berkomunikasi. Hambatan ini lebih dikenal dengan istilah the Roadblocks to communication (perintang komunikasi) atau the typical Twelve/ The Dirty Dozen (duabelas/selusin tipe tanggapan verbal).[8] Hambatan ini merupakan disposisi batin yang membuat orang kesulitan dalam menjalin komunikasi intersubyek/interpersonal. Dua belas tanggapan ini terbagi menjadi 3 bagian besar.

Pertama, pesan pemecahan (solution messages) di mana orang sebagai pengirim pesan merasa lebih tahu dari pada penerima pesan. Bentuknya adalah mengatur, memperingatkan, berkotbah, memberi nasehat, dan memberi argumen logis.

Kedua, pesan yang meremehkan (belittle messsages) di mana pengirim pesan bernada meremehkan penerima sebagai pribadi dengan menonjolkan kelemahannya, dan menonjolkan penilaian kepribadiannya. Bentuknya adalah menyalahkan, memberi julukan dengan tujuan mencemooh, dan membuat diagnosis.

Ketiga, adalah pesan berisi penyangkalan terhadap adanya masalah (manipulation of problem messages) di mana pengirim pesan berusaha membuat penerima menyangkal atau merasa tidak mempunyai masalah. Bentuknya adalah memuji, memberi simpati, menginterogasi, dan mengalihkan perhatian.

  1. Pelancar Komunikasi

Sebagai seorang frater, kebijaksanaan dari kedalaman batin pribadi berperan aktif dalam memberikan bimbingan kepada umat. Maka sedapat mungkin, ungkapan-ungkapan Roadblocks to comunication yang seringkali menghambat orang untuk menyingkapkan masalahnya harus dihindari. Pilihan kata-kata seorang frater itu menentukan pada proses bimbingan atau konseling selanjutnya. Maka, untuk membuat komunikasi relasi antar pribadi itu makin lancar dibutuhkan kiat-kiat yang relevan sesuai kebutuhan. Dr. Thomas Gordon menawarkan sebuah gagasan mengenai Pelancar Komunikasi lewat Tanggapan yang lebih Kontruktif atau membangun pribadi (Communication Facilitators).[9]

Pertama, Mendengarkan pasif/diam (silence). Bentuk ini, pihak klien atau pribadi yang bermasalah diberi kesempatan untuk mengungkapkan masalahnya, meluapkan perasaan atau emosinya. Dengan cara ini klien disadarkan bahwa ia diterima. Sebaliknya sebagai pihak konselor, cukup mendengarkan dengan seksama, sehingga dapat memahami sungguh problem yang dihadapi, dan memberikan kesempatan sepenuhnya untuk klien. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan mendengarkan tidak dengan telinga semata, namun lebih pada mendengarkan dengan hati (heart listening). Dengan demikian, klien merasa dihargai dan didengarkan secara penuh.

Kedua, Tanggapan Pangakuan-Penerimaan (Acknowledgment responses). Sebagai seorang Konselor, tanggapan sebagai bentuk pengakuan dan penerimaan, membuat klien atau orang lain merasa nyaman untuk mengungkapkan problem yang dihadapinya. Bahasa tubuh verbal maupun non verbal dapat menjadi tanggapan yang kotruktif. Memandang dengan penuh perhatian, tersenyum, mengerutkan dahi, atau mengungkapkan “Oh… begitu!” mendorong orang makin terbuka karena merasa diterima.

Ketiga, ajakan untuk melanjutkan (door openers, invitations to talk). Pertanyaan, ajakan atau pernyataan bernada undangan untuk melanjutkan dengan bahasa yang santun, juga membantu orang merasa sungguh diperhatikan.

Keempat, Mendengarkan Aktif (active listening). Berbeda dengan tiga bentuk sebelumnya di mana konselor lebih cenderung pasif, mendengarkan secara aktif ini berarti kedua belah pihak, secara aktif terlibat dalam proses penyelesaian masalah. Konselor tidak hanya mendengarkan secara penuh perhatian apa yang diungkapkan klien, tetapi memberikan umpan balik atau feed back dari apa yang diungkapkan klien. Umpan balik ini bukan pesan baru dari konselor sendiri tetapi pesan dari klien yang bermasalah dikembalikan dengan dirumuskan lebih baik, tapi dengan esensi yang sama. Manfaat dari proses ini, munculnya sikap katarsis di mana perasaan negatif berkurang, mengembangkan hubungan yang lebih hangat, pemecahan masalah terasa lebih mudah, dan melatih orang untuk mengarahkan dirinya bertanggung jawab dan berdiri sendiri.

  1. Penutup

dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa cukup banyak ilmu konseling yang penulis pelajari selama satu semester ini, diiringi kesadaran bahwa konseling ini amat berguna untuk membekali seorang calon imam atau dalam mempersiapkan diri sebagai calon pemimpin umat. Tentu semuanya itu tidaklah cukup untuk membekali dan menjadikan seorang frater  ahli atau mahir menggunakan ilmu konseling dan bimbingan. Namun, ilmu ini telah menyumbang sisi humaniora seorang frater yang berguna untuk pendampingan umat. Dibutuhkan sikap mencari, mengeksplorasi terus-menerus sehingga lambat-laun menjadi terlatih dan makin terampil dalam berkarya.

Satu semester berlalu. Penulis berharap ilmu yang telah dipelajari ini cukup untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaan selanjutnya sebagai seorang frater. Tentu saja, penulis mesti membuka ruang agar terbuka dalam menambah referensi kemampuan dan praktek yang berkesinambungan sehingga ilmu itu tidak hanya semata-mata teoritis, namun bergerak lincah menuju dunia praksis, khususnya sebagai seorang calon imam yang harus siap melayani.

DAFTAR PUSTAKA

Clinebell, Howard,

2002    Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

           

Sinurat,  R.H.Dj.,

2011    Handout Bimbingan dan Konseling, pro manuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Mulyatno, CB.,

2009   Menguak Misteri Manusia, Pokok-pokok Gagasan Filsafat Manusia, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Dokumen Konsili Vatikan II

[1] Optatam Totius (OT) no. 19

[2] R.H.Dj. Sinurat, Handout Bimbingan dan Konseling, pro manuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2011, 17.

[3] R.H.Dj. Sinurat, Handout Bimbingan dan Konseling, 18.

[4] R.H.Dj. Sinurat, Handout Bimbingan dan Konseling, 34.

[5] CB. Mulyatno, Menguak Misteri Manusia, Pokok-pokok Gagasan Filsafat Manusia, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2009, 55.

[6] CB. Mulyatno, Menguak Misteri Manusia, Pokok-pokok Gagasan Filsafat Manusia, 54.

[7] R.H.Dj. Sinurat, Handout Bimbingan dan Konseling, 59.

[8] R.H.Dj. Sinurat, Handout Bimbingan dan Konseling, 41.

[9] R.H.Dj. Sinurat, Handout Bimbingan dan Konseling, 47.

GABRIEL MARCEL: FILSAFAT KONKRET.

GABRIEL MARCEL

Gabriel Marcel (menyebut dirinya Socratisme Kristen)  menggunakan Istilah Fisafat Konkret untuk membedakan dengan filsafat yang ada, yang dianggapnya terlalu abstrak dengan pemikiran yang sulit. Fisafat ini mengulas peristiwa konkret manusiawi, dan mengaitkannya dengan kenyataan manusia sebaga “Ada yang menjelma” (L’etre incarne). Bukan berarti konkret yang mondial belaka, namun unsur rohani tetap penting, namun kerohanian yang konkrit bukan abstrak. Berkembanglah refleksinya tentang tubuh manusi sebagai perwujudan rohani.

 Baginya,kekonkritan itu mengisyaratkan manusia yang hidup didunia (bdk. Heidegger). Tapi konsekuensinya, eksistensi manusia yang konkret harus selalu berupa eksistensi bersama yang lain (coexistence). Disinilah berkembang filsafat dialog dan hubungan intersubyektif.

  1. Perkembangan cinta filsafat G. Marcel.

Meski ciri eksistensial manusia di dunia adalah bertubuh, namun ini bukan satu-satunya. Eksistensi ini lebih dari pengalaman ragawi, sebagai sumber kemandirian, darimana memancar semua hubungan. Eksistensi bersama tidak boleh disederhanakan sebagai hubungan dalam taraf fisik yang nampak saja, namun lebih pada dasarnya yaitu Cinta. Cintalah yang memanggil pribadi untuk mengadakan hubungan eksistensial. Cinta bukan perasaan emotif belaka, namun inti kehidupan yang berproses. Ada 4 tahap cinta

  1. Kerelaan (disponibilite)  keterbukaan, agar orang lain masuk dalam hubungan denganku.
  2. Penerimaan (receptivite) inisiatif, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan orang lain memasuki duniaku, mendengarkan yang lain
  3. Keterlibatan (engagement) sikap yang lebih mendalam lagi karena ikut ambil bagian dalam keprihatinan yang lain, memberi perhatian positif sehingga dapat berjalan seiring
  4. Kesetiaan (fidelite) sikap total, bukan ikut-ikutan, tapi terlibat bersama dengan segala resiko yang ada.

Cinta ini bersifat netral. Hubungan intersubyektif antara Aku dan Engkau menjadi satu komunio menjadi Kami. Cinta sebagai sesuatu yang transenden mengatasi Aku dan Engkau. Cinta adalah panggilan eksistensi manusia dan perwujudan cinta adalah “realitas tertinggi dari eksistensi manusia” di mana ia keluar dari dirinya dan memeluk yang transenden.

  1. Kreativitas cinta ala G. Marcel.

Cinta itu juga menunjukkan sebuah kreativitas. Dalam teologi Kreatif berkaitan dengan Allah pencipta, dari ketiadaan. Bila sktivitas manusia mampu mengadakan sesuatu yang baru, maka cinta dalam hubungan Aku-Engkau mempunyai daya kreatif yang sungguh. Ada taraf kerativitas

  1. Kreatif paling sederhana, yaitu karya-karya manusia, menghasilkan kebudayaan. Misal petani mengerjakan sawah
  2. Kreatif yang menyangkut hubungan manusia yang waja. Misal rakyat memilih presiden. Bisa juga negatif, mengecap orang seagai penghianat. Kreatif ini mengadakan kondisi, membuat keadaan baru bagi orang lain, mempengaruhi adanya.
  3. Kreativitas cinta, melahirkan kebebasan. Berkat cinta, seseorang justru merasa terbebas, mampu bergerak, dan merealisasikan diri karena diterima, didukung. Kreativitas ini bukan semata proses sebab akibat, yang bisa diduga hasilnya, namun menunjuk pada subyek sendiri, apa adanya. Kerativitas cinta menumbuhkan kreativitas subyek yang dicintainya itu.

KARL BARTH DAN TEOLOGINYA

 

Teologi Dialektika sebagai Jalan

Dalam mengembangkan teologinya, Barth menggunakan gaya paradoksal “atau-atau”, atau orang menyebutnya sebagai teologi dialektika, yang bertitik tolak dari peristiwa Yesus. Dalam diri Yesus dinyatakan perbedaan antara manusia dengan Allah sekaligus menjadi jembatan definitif bagi manusia dengan Allah.

Barth menegaskan bahawa Yesus Kristus Tuhan kita. Itulah dan makna historis. Dalam nama itu dua dunia bertemu sekaligus terpisah, dua taraf yang bersimpangan, yang pertama dapat diketahui dan yang lain tak dapat diketahui. Yang dapat diketahui adalah ciptaan Tuhan,  berlawanan dari persatuannya dengan Allah, sehingga dunia “daging”, dunia manusia, dunia waktu, dunia benda-benda atau dunia kita membutuhkan penebusan. Dunia yang dapat diketahui terpisah oleh dunia yang tak dapat diketahui yaitu Dunia Bapa, dunia terpenting dan Penebusan final (terakhir).

Dalam diri Yesus, dunia ilahi dan dunia manusiawi bersimpangan, dan perbedaan keduanya disingkapkan. Yesus adalah Pewahyuan karena Dia adalah Kebangkitan. Didalamnya dua dunia tersentuh, sekaligus belum tersentuh. Kebangkitan adalah penebusan yang menyingkapkanYesus sebagai Kristus, penampakan Allah. Sebagai Kristus, sebagai Pewahyuan, Yesus tidaklah historis. Manusia Yesus, Hidup Yesus yang historis, bukanlah pewahyuan tetapi era pewahyuan, kekosongan di mana pewahyuan disingkapkan ke dalam dunia sejarah, di mana kerajaan Allah telah datang, di mana terang bercahaya.[1]

Dalam diri Yesus, dua dunia yang bertemu seperti yang terpisah, kekuatan krisis manusiawi sekaligus gerak penebusan, akhir sekaligus awal, mati dan hidup dalam satu hal, “Tidak”nya Tuhan sekaligus “Ya”nya Tuhan. Kematiannya sekaligus hidup, disalibkan sekaligus dibangkitkan, hukuman dan pengampunan, neraka sekaligus surga, Allah yang ditakuti sekaligus Allah yang mencintai seperti Bapa yang menerima anak yang hilang dalam pelukannya.[2]

“Biarkan Allah menjadi Allah- dalam Yesus Kristus”[3]

Dalam berbagai cara, konteks historis di mana Karl Barth muda mencoba menghidupi hidup Kristianinya dan mengembangkan teologinya, sebenarnya mirip dengan kita. Sekitar tahun 1920an dan 1930an adalah saat perkembangan gagasan-gagasan baru tapi sama halnya dengan banyaknya ketidak pastian dan kegelisahan perkembangan. Barth telah belajar dengan memimpin “teolog-teolog liberal” pada jamannya dan memadukan usaha-usaha mereka untuk menyesuaikan Kristianitas dengan Humanisme abad Pencerahan. Dia telah tersapu oleh ide-de baru yang datang dari Ilmu pengetahuan dan studi agama-agama “Oriental atau timur”.

Dia menggunakan banyak talentanya untuk menunjukkan keterkaitan antara pengalaman-pengalaman manusia dan pesan Yesus. Tetapi itu semua tidak berjalan. Ini ia temukan tidak dalam menara-menara gading dari sebuah universitas, namun dari mimbar gereja kecilnya di Swiss di mana ia tinggal sebagai gembala. Teologi liberal yang baru tidak menyentuh hati umatnya, atau hatinya sendiri. Hal itu nampaknya berkaitan dengan banyaknya ide dan sudut pandang yang membingungkan orang dengan banyak sekali kemungkinan dan arah yang tidak jelas.  Orang-orang tidak dapat membuat pilihan, mengikatkan diri mereka sendiri pada  sesuatu yang jelas dan pasti. Dan yang paling menakutkan lagi, teologi liberal gagal dalam menghadapi realita kejahatan, khususnya seperti kejahatan yang sangat mengerikan dalam kebodohan dan pembantaian Perang Dunia I. Bagi Barth dan orang-orangnya,” anggur keras optimisme abad ke-19, kemajuan evolusioner, dan persaudaraan universal dengan jelas menjadi hambar di atas lapangan Flander dan Verdun”.[4]

Maka dalam kotbah-kotbahnya, khususnya dalam sebuah buku yang ia tulis, Barth mengubah jalan pemikiran  bagi dirinya dan selanjutnya bagi Protestantisme seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Tulisannya “Commentary on Romans” menjadi sebuah gerakan revolusioner yang cepat dan berhasil.  Dalam uraiannya dan sesudah itu dalam 12 volume bukunya yang berjudul Church Dogmatics, pesan Barth, yang ia anggap sebagai pesan Injil dan santo Paulus, sejak saat itu bergemuruh: manusia tidak dapat bertindak bersama sendiri. Tetapi dengan Allah, mereka bisa. Untuk mencapainya, manusia harus mundur dan membiarkan Allah menjadi Allah. artinya Allah justru menjadi Allah karena Dia menjadi manusia, yaitu dalam Yesus Kristus. Pada awal Barth menekankan Allah yang tak bisa dikuasai manusia, kemudian ia menekankan bahwa cintaNya juga tak dapat dikuasai manusia. titik beratnya kemudiaan adalah pada transendensi, kebebasan Allah. Hanya saja, kini “kebebasan terbesar Allah adalah kebebasanNya untuk mencintai manusia dalam Yesus Kristus”.[5]

Bagi Karl Barth, pesan itu tidak lain adalah Kabar gembira dalam Perjanjian Baru, khususnya seperti yang diwartakan oleh Paulus dan para Reformator. Paling tidak ada empat hal  yang menginspirasi Kristianitas Protestan, yang terumus dalam 4 kata “semata”:[6]

  1. “Kita hanya diselamatkan oleh Rahmat semata”

Bagi Barth, ini bukanlah sesuatu yang sederhana sebagaimana yang ia baca dalam Perjanjian Baru. Gagasan itu juga telah terpatri dengan jelas dalam hidupnya, dan dalam dunia yang kacau balau, penuh kekerasan dan penderitaan di sekitarnya;  manusia berada dalam sebuah ruang, dan mereka tidak dapat keluar dari ruang itu dengan mengandalkan diri sendiri. Mereka tertancap.  Istilah-istilah biblis dan teologis untuk menjelaskan pernyataan itu adalah “ dosa asal”. Jika manusia ingin keluar dari lubang yang mereka gali sendiri, mereka harus mengakui “Kekuatan yang lebih tinggi”. Barth dan Paulus menyebutnya Rahmat.

  1. “Kita hanya diselamatkan oleh Iman semata”

Secara negatif ”oleh rahmat saja” dapat diartikan sebagai “bukan oleh perbuatan-perbuatan”. Untuk membuat ruang agar rahmat dapat masuk, kita harus mundur, keluar dari jalan kita, mengakui ketidakmampuan kita dalam mengarahkan hidup kita sendiri. Tetapi kita hanya dapat melakukannya jika kita percaya. Dan itulah yang disebut “hanya dengan rahmat saja”. Seperti seorang anak kecil yang jatuh dalam lengan orang tua mereka, kita melompat dari jurang dan jatuh dalam lengan cinta dan rahmat Allah. Kemungkinan, hal ini adalah bagian yang paling sukar dalam proses, bagian di mana manusia menemukan diri mereka sendiri gagal karena mereka takut dan tidak mampu. Namun, untuk percaya dan berbalik kepada pada “Seseorang” yang lain secara penuh itu, bagi Barth tidak mungkin. Maka diperlukan “semata” yang ketiga.

  1. “Kita hanya diselamatkan oleh Kristus semata”.

Hanya dalam Yesus Kristus, Allah telah bertindak dan menyatakan dasar segala sesuatu yang sejati; bahwa Allah siap mencintai kita, mengakui kita, dan menolong kita semata-mata dengan cinta ilahi, bukan karena kita berhak dan pantas mendapatkannya. Faktanya, manusia berusaha melakukan sesuatu agar berhak mendapat rahmat yang didapat lewat pencurahan cinta Allah yang berlimpah. Hal ini tidak “menghargai” rahmat. Inilah apa yang diwujudkan dan dinyatakan dalam Yesus Kristus. Inilah warta yang luar biasa, sesuatu yang tidak pernah dapat kita bayangkan. Kita hanya dapat mengetahui dan mempercayainya jika kita mendengarkan warta ini. Oleh karena itu, akhirnya “semata” yang keempat.

  1. “Kita hanya diselamatkan oleh Kitab Suci semata”.

Dalam Kitab suci dan dalam pengajaran berdasarkan kitab sucilah, pesan dan realitas Yesus dikomunikasikan kepada kita. Di sinilah pewahyuan dalam kata yang paling tepat, memberitakan kepada kita sesuatu yang sebaliknya tidak dapat kita bayangkan,  kita percayai, atau kita imani. Barth menegaskan bahwa “dalam Pewahyuan” Allah menyatakan kepada manusia bahwa Ia adalah Allah. Pewahyuan menyatakan kepada manusia sesuatu yang sepenuhnya baru, sesuatu di mana manusia tidak tahu dan tidak dapat menceritakan dirinya sendiri dan juga orang lain jika terlepas dari pewahyuan.

Agama bukanlah kepercayaan

            Atas dasar penilaian dari situasi manusia itu, yang dinyatakan dalam Kitab Suci dan ditegaskan oleh pandangan Barth mengenai situasi dunia, Barth merumuskan pandangannya yang terkenal mengenai agama, yang bergaung di banyak gereja dan seminari Protestan seabad yang lalu. Ini adalah sebuah pandangan yang menampar muka kita dan memutar balik pengertian normal kita mengenai agama. Meskipun semua “ yang benar, yang benar, yang baik, yang indah akan dinyatakan dalam hampir seluruh agama” Pandangan akhir Barth adalah “ Keputusan pewahyuan ilahi di atas semua agama”.[7]

Bagi Barth agama bukanlah kepercayaan. Agama sesungguhnya adalah sebuah keprihatinan yang besar, dari manusia tak bertuhan.  Dari sudut pandang pewahyuan, agama dengan jelas dilihat sebagai usaha manusia untuk mengharapkan apa yang Allah akan dan sedang kerjakan dalam pewahyuanNya. Agama adalah usaha manusia untuk mengganti karya ilahi dengan tindakan manusia. Realitas ilahi yang ditawarkan dan dimanifestasikan pada kita dalam pewahyuan diganti oleh konsep tentang Allah yang dikembangkan manusia dengan sewenang-wenang dan sengaja.

Ringkasnya, dalam agama dan karena agamalah manusia tidak melakukan apa yang mereka perlu untuk buat: berbalik, beriman, dan membiarkan Allah menjadi Allah dalam Yesus Kristus.  Dalam agama manusia berusaha untuk bertindak, dengan kata-kata, keyakinan-keyakinan, ritus-ritus dan aturan-aturan mereka – dan akhirnya mengacaukan karya Allah. Maka agama sesungguhnya berlawanan dengan apa yang nampak dalam pewahyuan; agama lebih nampak sebagai buatan manusia daripada karya-karya ilahi. Tuhan memasuki hidup kita untuk menolong kita bukan melalui “karya-karya agama” tetapi melalui kekuatan personal dari rahmat.

            Pandangan Barth mengenai agama terdengar amat kasar dan sepenuhnya negatif. Namun perlu disadari bahwa ia menunjuk bukan hanya “agama-agama lain” namun juga Kristianitas. Dalam beberapa hal, Barth setuju akan pandangan bahwa “semua agama sesungguhnya sama”. namun, bukan karena semua agama mewahyukan yang Ilahi tetapi karena semua agama termasuk Kristianitas sampai pada jalan dari yang Ilahi. Oleh karena itu, Barth berusaha melawan usaha untuk membandingkan Kristianitas dengan agama lain- bukan karena Kristianitas lebih superior dari agama lain, namun justru tidak ada satu pun perbedaan yang dapat dibandingkan. Saat kita memandang segala sesuatu yang membuat Kristianitas seperti sebuah agama – teologinya, ibadat, struktur gereja, moralitas, seni, etika – kita akan menemukan “pemujaan berhala dan mengakui kebenarannya sendiri”[8] yang sama yang merajalela dalam agama-agama lain. Oleh karena itu bagi Barth, tidak ada bukti empiris yang membuktikan bahwa Kristianitas lebih baik dari pada agama lain di dunia.

Kristianitas sebagai Agama Sejati

Meskipun tidak ada bukti empiris, Barth punya alasan untuk membuktikan bahwa Kristianitas dapat dinyatakan sebagai satu-satunya agama sejati di antara agama-agama lain. Di sinilah kita memasuki pengertian Bart mengenai dasar yang berlawanan dari pengalaman akan Allah “oleh iman, oleh rahmat, oleh Kristus semata”. Kristianitas adalah satu-satunya agama sejati  karena Kristianitas adalah satu-satunya agama yang mengetahui dirinya sebagai agama yang salah; dan Kristianitas paham bahwa meskipun merupakan agama yang salah dan berhala, Kristianitas telah diselamatkan oleh karena Yesus Kristus. Bagi Barth, dan juga seperti semua orang Kristen Fundamentalis atau Evangelist, kedudukan Kristianitas yang diistimewakan tidak bisa melakukan apapun saat Kristianitas sebagai sebuah agama. Kristianitas bisa melakukan apa pun saat bersama Kristus. Kristuslah yang membuat Kristianitas menjadi agama yang sejati, karena hanya orang-orang Kristen, lantaran Yesus, memahami secara jelas bahwa karya-karya baik dari agamanya tidak berguna. Selanjutnya, untuk merasakan sungguh kekuatan Allah dalam hidup mereka, orang-orang Kristen harus percaya saja dan berbalik kepada cinta dan rahmat yang diberikan kepada  mereka dalam Yesus Kristus dan Roh KudusNya. Tanpa Yesus, rahmat ini tidak tersedia; tanpa Yesus, pemahaman ini dan iman ini di atas kemampuan manusia.

Berdasarkan penilaian Barth mengenai agama, lantas jenis relasi apa yang mungkin dibuat antara Kristianitas dengan tradisi-tradisi agama-agama lain? Tentu saja Barth akan mempersilahkan orang-orang Kristen untuk menghargai kehendak baik, ketulusan, dan kebebasan religius dari orang beriman lain. Namun karena matahari Kristus bersinar hanya atas dan dengan satu agama, dan hanya dalam matahari itu seseorang dapat hidup oleh “iman dan rahmat semata” maka tidak orang Kristen perlu berhubungan dengan agama lain; tidak ada pewahyuan, tidak ada rahmat yang menyelamatkan, karena tidak ada Yesus Kristus.[9] Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan untuk dialog. Barth bahkan mengingatkan kepada para misionaris untuk melawan usaha-usaha pencarian “titik temu” dalam agama lain. Semua yang orang-orang Kristen dapat sungguh buat adalah mewartakan Injil dengan penuh cinta dan hormat dan membiarkan cahaya Kristus mengusir kegelapan.

[1] Colm O’Grady MSC, The Church in the Theology of Karl Barth volume One, Geoffrey Chapman Ltd, London 1968, 14-15

[2] Colm O’Grady MSC, The Church in the Theology of Karl Barth volume One, 17.

[3] Paul F Knitter, Theologies of Religions, Orbis Book, New York 2002, 24.

[4] Paul F Knitter, Theologies of Religions, 24.

[5] Horst G. Poelhmann, Allah itu Allah, Potret 6 Teolog Besar Kristen Protestan Abad ini, Penerbit Nusa Indah, Ende 1998, 18.

[6] Paul F Knitter, Theologies of Religions, 24.

[7] Paul F Knitter, Theologies of Religions, 25.

[8] Paul F Knitter, Theologies of Religions, 26.

[9] Paul F Knitter, Theologies of Religions, 26.

RESENSI FILM TWILIGHT

 

 


TWILIGHT

Twilight is a film about love story between a beautiful and young girl and a vampire. The story was begun with a family of Isabella Swan that was broken. She and her father, Charlie, a police chief, had to move from Arizona to Forks, a little town in Washington. Her mother got married again with Phil a Baseball player.
Bella (Isabella Swan) had to adapt in both new place and new school. An orange old van accompanied her everyday wherever she wanted to go. The first day in her study, she got a good appreciation from some friends that regarded her. But, her encounter with Cullen family took her in a mystery and darkness experience. The members of Dr Cullen family were Rosalie, Emmett, Alice, Jasper, and Edward that always gathered together. Bella was interested in Edward on the first sight. But, her friends had reminded her about strange thing of this family.
Bella, herself, felt this experience too when she was in Biology class and she sat beside Edward Cullen. Edward seemed to dislike her existence. So, Bella felt not comfort and wanted to ask for explanation from Edward. But day by day after that he was absent for studying. One day, when it was raining, this mysterious man appeared and tried to ask her make a conversation and
Isabella saw a strange thing from Edward. First time she met him, she could see that the color of his eyes were black, but now she saw his eyes changed to be golden eyes. When she asked for explanation, Edward avoided.
When Bella wanted to go home, suddenly, a black car slipped down and come close to crash her. But, unimaginably, Edward appeared beside her and stopped the car by his hand. It was unbelievable by human mind! His hand left a print and made a dent at the car.
Isabella tried to look for information by his old friend, Jacob, the Quileute Tribe or Wolf Tribe. Jacob told her an old history where Quileute tribe had made a covenant with Cullen family to keep their own districts. But this information still had a mystery.
When Isabella and her two friends were in Port Angel town, she was disturbed by a gangster and Edward came to save her. In the car, Edward honestly told her that he couldn’t let her alone and said that he could know the mind of everything except Bella’s mind. Bella touched his hand and felt it very cold. She felt admired…
So, Bella looked in Google for information about the Cold One and found a fact that they were strength, immortal, cold-skin, and drank blood! Bella made conclusion that Edward was a vampire!!!!
Next day, she expressed all of her all of her suspicions lately, and shouted loudly that she really was sure that Edward was a vampire. Finally, Edward admitted honestly that he was a vampire. He shared about the Cullen family life and their efforts to be “vegetarian” according to vampires. It meant that they drank blood of animal only, not to human blood.
At that time, the expressed their feelings one another that they were falling in love. These feelings grew beautifully, in their heart. Then, they introduced their family to one another, and their family could receive their relation.
One day, Cullen family would play baseball because there was lighting storm. Edward invited Bella to go with him, and Bella agreed it. When they were enjoying their games, suddenly, three other vampires appeared and came in. the situation was to be strained. They introduced themselves as Lauren, Victoria, and James. They were vampires that had killed Waylon, the Charlie friend and drank his blood. They intended to join with them in the games. But, when wind blew, they could smell the blood of Bella and could taste how delicious the blood was! Cullen family tried to protect Bella quickly. James and friends left the field by treating them.
Cullen family knew and realized that James never stopped wanting Bella because he was a wild vampire and tracker. So, they arranged a strategy how to save Bella. Alice and Jasper were asked to bring Bella go, and Rosalie, Emmett, and Edward tried to deceive James, by leaving false print. Unfortunately, James knew that they deceived and tricked him. So, he changed his hunter route and turned back.
James successfully framed Bella, tortured her and broke her leg. But, Edward who was the quickest of the Cullen family came to save Bella by fighting with James.

BLOOD DIAMOND

Blood Diamond adalah sebuah kisah yang yang bercerita dengan latar belakang berlian-berlian mahal di Benua Hitam Afrika. Danny Archer adalah seorang pemburu berlian di daerah konflik berdarah Sierra Leone dengan cara menukarnya dengan senjata pada para pemberontak RUF. Petualangannya ini membawanya bertemu dengan seorang kulit hitam penemu berlian terbesar yang pernah ada, Salomon Vandy, dan seorang wartawan cantik yang mencoba mengusut peredaran berlian selundupan, Maddy Bowen. Perjumpaan, pengalaman dan petualangannya bersama kedua orang ini membawanya pada sebuah titik balik dari orientasi ekonomi pribadi menjadi kemanusiaan, meski nyawa sebagai taruhannya.

            Setelah menonton film ini, saya mencoba menemukan konsep-konsep iman yang ada pada film ini, khususnya pada para tokoh utamanya. Setidaknya ada beberapa point yang menarik bagi saya terkait dengan konsep-konsep iman dalam film ini. Ada sebuah proses iman yang secara dinamis sekaligus tak terduga khususnya pada diri Danny Archer. Ada beberapa adegan yang menurut saya menunjukkan proses iman itu.

Pertama, saat dialog singkat yang terjadi antara Danny Archer dengan Benjamin Kapanay. Benjamin Kapanay adalah seorang tokoh cukup disegani, dan ia mengumpulkan anak-anak korban penculikan dan perang saudara di Sierra Leone, dan mendidiknya. Dalam percakapan itu, Danny bertanya kepada Kapanay apakah ia yakin dengan niatnya yang baik para pemberontak akan membiarkannya hidup. Kapanay dengan bijak menjawab. “Hatiku mengatakan pada bahwa dasarnya semua orang baik. Tapi pengalamanku mengatakan sebaliknya…. Perbuatanlah yang membuat mereka baik atau jahat. Dengan sedikit cinta, orang jahat sekalipun bisa memberi arti dalam hidup”. Ini merupakan pengalaman yang mungkin masih bersifat religius yang dialami oleh Danny.

Kedua, dialog antar Danny dan Maddy, menjadi puncak permenungannya. Sharing masa lalu yang gelap antara keduanya mampu membangkitkan pengalaman iman berkaitan pencariannya dengan sang Ilahi. Pertanyaan reflektifnya dibangkitkan oleh kerinduannya akan yang ilahi “Apakah Tuhan mau memaafkan kita atas perbuatan kita pada sesamanya?” Pengalaman aktualnya membawa kesimpulan bahwa Tuhan sudah meninggalkan tanah itu. Ketidakmampuanya menemukan Tuhan dalam penderitaan membuatnya frustasi.

Ketiga, tindakan nyata yang membawa pada perubahan sikap yang revolusioner. Danny merelakan berliannya menjadi sarana bagi Salomon untuk bertemu dengan keluarganya dan barang bukti atau fakta tak terbatahkan bagi tulisan Maddy, yang mampu menghentikan curahan darah perang saudara di tanah “berlian darah” atau Sierra Leone itu. Danny pun rela tetap tinggal di tanah Afrika dan melepaskan nyawanya.

Pengalaman iman Danny Archer sungguh nyata dan sangat eksistensial. Pengalamannya menunjukkan iman yang berproses yang membawanya pada usaha mencari kebaikan Allah di tengah kejahatan manusia. Pengalaman penderitaan dan pengalaman kasih yang ia saksikan dan alami membawanya pada iman yang terwujud dalam tindakan. Secara tersirat, meski tak nampak jelas, Danny mengalami pengalaman kasih, di mana proses pewahyuan itu terjadi, lewat pengalaman konkret. Unsur fides qua creditur nampak kuat dalam pengalaman iman Danny. Iman yang dialami Danny  dibentuk oleh pengalaman cinta kasih dan mendasari tumbuhnya harapan baru bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Iman itu menjadi hidup (fides formata caritate).

LUDWIG WITTGENSTEIN: UJUNG TOMBAK NEO-POSITIVISME

Biografi

Ia dilahirkan di Wina Austria pada tanggal 26 April 1889. Peran ayah dan ibunya , khususnya pada bakat mereka dibidang music, membawa peranan penting pula dalam kehidupan Ludwig. Pada tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar teknik di Berlin dan tahun 1908 melanjutkan studinya di Manchester, Inggris. Atas anjuran G. Frege Ahli matematika Jerman untuk berguru pada Bertrand Russell, ia masuk Universitas Cambridge tahun 1912 dan belajar filsafat dibawah bimbingan Russell.

Waktu Perang Dunia I pecah, ia kembali ke tanah Austria dan menjadi tentara untuk membela tanah airnya itu. Selama tahun-tahun itu ia mulai menulis buku filsafat. Setelah sempat menjadi tawanan perang Italia, atas bantuan Russell pada tahun 1919 ia dibebaskan. Ia kembali belajar dan menelurkan karyanya yang terkenal pada 1922 “Tractatus logico-philosophicus” yang membuatnya meraih gelar dotoralnya di bidang filsafat. Ia mengajar juga pula di Trinity College.

Pada tahun 1947 ia meninggalkan tugasnya sebagai pengajar dan meninggalkan profesoratnya di Cambridge dan menyelesaikan karya terkenal lainnya, Philosophical Investigatitons. Pada tanggal 29 April 1951 ia meninggal dunia di Cambridge akibat kanker yang ia derita selama 2 tahun.

Berkaitan dengan pemikirannya, Fase hidupnya dibagi dalam dua peroide:

  1. Periode pertama (Wittgenstein I)

Pada periode pertama ini pandangannya dalam buku yang berjudul Tractatus logico-philosophicus, dapat dirangkum dalam sebuah teori yaitu “Picture Theory” atau Teori Gambar. Teori ini menjelaskan peran bahasa yang melukiskan kenyataan yang ada secara tepat dan konsekuen. Sesuatu yang tidak nyata, atau non pengalaman indrawi tidak dapat diungkapkan dalam bahasa. Baginya, gambar bukan sesuatu yang dapat melukiskan kesamaan material belaka, melainkan kesamaan struktural. Jadi sesuatu yang tak dapat dilukiskan, bukan merupakan sebuah kenyataan atau fakta. Dengan kata-kata seseorang ingin melukiskan kata-kata.

Wittgenstein berpendapat bahawa fakta merupakan hal yang kita alami (bdk. pandangan Aguste Comte). Setiap fakta adalah “primitive sign” di mana kehadirannya menjadi petunjuk atau tanda. Setiap kata dalam bahasa menerangkan fakta. Dengan demikian kumpulan kata menerangkan fakta yang lebih besar. Menurutnya pula, konsep “Ada” bisa dinyatakan dalam pernyataan atau preposisi dan setiap preposisi bernilai sama.

Berkaitan dengan bahasa, Wittgenstein yakin bahawa filsafat bertugas menjelaskan fungsi dan peran bahasa dan bahasa itu bisa dijelaskan jika merupakan hasil pengalaman inderawi. Maka berbicara mengenai fakta dalam bahasa harus berasal dari realitas riil. Suatu bahasa jika tidak ada kenyataan bukanlah sebuah deskripsi atau penjelasan namun sebuah ajaran yang spekulatif.

Pandangannya ini mempunyai konsekuensi logis. Karena fakta itu adalah kenyataan, maka pembicaraan mengenai fisafat spekulatif atau metafisika bukanlah sebuah kenyataan. Memang ia menerima agama, namun hanya sebatas sebuah fakta sosial karena secara inderawi ada. Namun isi ajaran agama atau morallah yang hanya omong kosong, karena bersifat spekulatif karena berangkat dari penalaran. Konsep Tuhan. Surga, neraka, malaikat bukanlah fakta hanya omong kosong belaka karena bersifat spekulatif.

  1. Periode kedua (Wittengenstein II)

Sekembali dari Cambridge, Wittgenstein mulai memunculkan gagasan baru mengenai bahasa, karena ia menyadari pandangannya pada periode pertama kurang berhasil. Bahasa mulai dipahami dalam konteks pemakaiannya, tidak sebagai hukum yang terlepas atau terpisah dari kondisi aktual. Pemikirannya ini ia rumuskan dalam bukunya Philosophical Investigations dengan istilah Language Games atau Permainan Bahasa. Menurut pandangan ini, bahasa berperan tergantung dimana ia digunakan. Misalnya aturan bahasa permainan Basket yaitu menggunakan tangan dan tidak boleh menggunakan kaki, hanya akan berperan efektif jika diterapkan dalam pertandingan atau permainan bola basket. Aturan ini tidak akan efektif atau baik jika digunakan pada pertandingan atau permainan sepakbola, karena Sepakbola mempunyai aturan atau bahasanya sendiri.

Dengan demikian, bahasa tidak lagi hanya ditangkap dalam pengertian semantik sempit dalam batasan morfem, melainkan dalam keseluruhan kekayaan ekspresi manusia, termasuk yang di luar logika atau penalaran. Hal ini berarti Wittgenstein menghargai penggunaan bahasa sehari-hari yang mempunyai nuansa yang kaya.

Diposkan 7th March 2011 oleh Edy Prasetyo

TUBUH: BAHASA CINTA TERAGUNG

 

“Sleepless in Seattle” merupakan sebuah kisah inspiratif mengenai cinta. Bagi saya adegan film yang menarik saat Sam Baldwin mengisahkan bagaimana keajaiban dan kesempurnaan pernikahannya dengan mendiang istrinya, Maggie dalam sebuah talk show di malam Natal. Talk show ini merupakan inisiatif putranya Jonah, yang merasa bahwa ayahnya terlalu larut pada kesedihan dan membutuhkan seorang pendamping yang baru. Kisah Sam Baldwin ternyata mampu menarik simpati ribuan wanita di seluruh negeri, salah satunya Annie Reed. Yang menarik adalah, bahwa Sam mencintai sepenuh hati Maggie, bukan semata-mata karena segi fisik, atau sesuatu pemberian namun keajaiban cinta saat hadir didekatnya, “hanya” mengenggam tangannya, seakan waktu menjadi relatif. Anne Reed menjadi begitu tersentuh dan terharu, dan seakan menemukan cinta impian seperti dalam film favoritnya ”An Affair to Remember”.

Memang, apa yang dialami oleh Sam sebagai cinta sejati, untuk saat ini agaknya berbeda. Dewasa ini, banyak sekali simbol-simbol cinta yang dihadirkan, apa lagi berkaitan dengan Valentine’s day. Cokelat, Mawar merah, boneka, dan pemberian-pemberian lain menjadi simbol untuk mengungkapkan rasa cinta. Simbol-simbol ini seakan-akan mempresentasikan cinta yang ingin diungkapkan dan dihadirkan bagi pasangannya. Bahkan Valentine’s day yang diidentikkan dengan hari kasih sayang, selau mengandaikan adanya hadiah atau pemberian sebagai simbol atau bahasa cinta.  Tanpa bermaksud mengadili, saat ini cinta nampaknya harus diungkapkan lewat simbol berupa hadiah atau pemberian. “No gift, no love!”

Bagi saya, film ini mau menunjukkan bahwa cinta tidak semata-mata diungkapkan dalam pemberian berupa benda-benda materi, namun lebih pada tindakan gerakan tubuh, sebagai bahasa cinta yang paling berkesan dan menggetarkan jiwa. Keajaiban cinta yang lahir dari bahasa tubuh, misalnya, genggaman tangan menjadi lebih hidup dan membekas, karena merupakan repesentasi seluruh tubuh dan jiwa yang dihadirkan. Pengalaman kasih, yang diungkapkan oleh tubuh, nampaknya lebih bersifat setia dan selalu dikenang, bahkan saat orang yang dicintai itu telah pergi atau tidak disisi kita lagi. Bahasa gerakan tubuh manusia lebih mampu berbicara karena keseluruhan jiwa dan perasaan terwakili, termasuk untuk menyatakan cinta.